Janji Jera Jambret Muda di Pintu Penjara

TAK BERDAYA. Dio, terduga pelaku jambret yang tertangkap Tim Resmob 701, Reskrim Polres Mataram, belum lama ini. Fatih Kudus Jaelani-Lombok Pos
TAK BERDAYA. Dio, terduga pelaku jambret yang tertangkap Tim Resmob 701, Reskrim Polres Mataram, belum lama ini. Fatih Kudus Jaelani-Lombok Pos

Jambret, jambret, jambret…! Kata yang diteriakkan berulang kali oleh warga itu masih terngiang di telinga Dio (inisial, red). Dengan tubuh dipenuhi luka, tersangka aksi penjambretan di jalan Dakota, Kelurahan Rembiga, Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), itu meringis. Ia menahan sakit di tubuh yang baru saja beranjak dewasa. Setelah tangan diborgol, ia pun berjanji tak akan mengulangi lagi perbuatan dapat merugikan warga. Namun adakah yang hendak percaya?

Fatih Kudus Jaelani, Mataram

eQuator.co.id – 18 April 2018 merupakan hari yang tak baik bagi Dio. Remaja asal Mataram itu menemui jalan buntu saat melarikan diri dari kejaran warga dan Tim Resmob 701 Reskrim Polres Mataram. Boleh jadi hari itu, akan menjadi peristiwa yang tak akan terlupakan baginya.

Terlanjur basah. Dio yang masih berusia 17 tahun harus menerima sanksi akibat perbuatannya yang melanggar hukum. Terlalu dini baginya untuk menahan pukulan warga yang marah akibat aksi mengambil paksa tas seorang warga di jalan raya.

Akibat perbuatan itu, ia pun harus rela menerima memar di wajah dan luka di bagian tubuh yang lain. Termasuk lututnya yang kini terbalut perban putih. Keadaan lebih buruk bisa saja terjadi padanya. Bila saja polisi terlambat datang. Bisa jadi nyawanya sudah melayang. Ke udara atau entah ke mana.

Memang malang. Seharusnya saat ini Dio sedang menikmati manisnya usia 17 tahun dengan teman-teman seusianya. Mungkin jika dia berada di lingkungan pondok pesantren, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menggunakan otaknya menghafal banyak hal, termasuk ayat suci Alquran. Namun sayang, kenyataannya Dio tak lagi duduk di bangku sekolah.

“Saya tamat SMP,” katanya dengan suara yang ditahan.

Terlalu banyak alasan untuk menahan suara. Berulang kali ia diminta membesarkannya, tetap saja, suara si terduga jambret muda ini seperti tertahan di tenggorokan.

Selain suara yang kecil, ia juga tak bisa menjawab lebih dari lima kata. Paling banyak tiga, paling sering satu kata. Misalnya untuk pertanyaan yang berbunyi, ‘untuk apa uang yang dicuri’. Ia akan menjawabnya dengan singkat. ‘Belanja’. Itu saja.

Setelah itu pertanyaan harus datang menyusul. Beli apa, sama siapa, mengapa mencuri, dan berbagai pertanyaan lainnya. Untuk semua pertanyaan, Dio sangat hemat memberi jawaban.

“Minum,” katanya. “Apa juga?” tanya awak media. “Beli baju,” kata Dio lagi, menerangkan pengunaan uang yang ia dapatkan dari mencuri.

Begitu seterusnya. Pertanyaan dilontarkan satu persatu. Dio pun menjawab bahwa ia membeli minum dan baju dalam satu kalimat setelah mendengar pertanyaan lainnya yang berbunyi, ‘beli apa juga selain baju dan minuman’. Tentu itu bukan jawaban, melainkan penegasan atau pengulangan.

Dio tak bisa disalahkan atas caranya menjawab pertanyaan. Dengan luka di sekujur badan dan sesal yang datang terlambat sulit baginya menggerakkan lidah dengan lancar. Apalagi ia masih belia, berusia 17 tahun.

“Saya menyesal,” katanya.

Kepalanya terus merunduk. Kakinya sesekali gemetar menahan sakit. Sedang kamera para pewarta menyoroti segudang tato di tubuhnya. Di tangan, di kaki, penggung dan dadanya. Semua tubuhnya kebagian tempat untuk ditato.

Konon ia benar-benar menyesali malam itu. Itu bukan merupakan malam pertama. Sebelumnya, ia pernah beraksi dan sukses mengambil tas milik warga di beberapa jalan di Kota Mataram. Dalam setiap aksi, ia tak sendiri.

“Berdua,” katanya lagi dengan singkat.

Dio, bertugas menjadi joki. Tubuhnya yang kurus menjadi modal untuk dapat menancap gas dengan kencang. Tapi ia tak mengenderai motor balap. Melainkan motor matic keluaran Jepang 125 cc. Beberapa aksi berhasil sempurna. Tapi sepandai-pandai tupai melompat pasti jatuh juga. Pepatah lawas itu mau tidak mau dibenarkan juga oleh Dio.

Begitu juga dengan seorang kawannya yang bertugas sebagai ‘si tangan kilat’ di belakang. Belakangan, temannya yang pada saat Dio ditangkap berhasil melarikan diri, kabarnya sudah dibekuk polisi. Kini, dua partner in crime ini reuni di dalam bui.

Dio merupakan satu dari sekian banyak remaja yang kini hidup sebagai tahanan. Di saat anak-anak SMA menikmati masa-masa paling indah dalam hidupnya, di saat itu juga ia menyadari, betapa waktu tak bisa diulang kembali.

Namun apalah daya. Nasi sudah jadi bubur. Kini beberapa hukum Negara yang sudah ia langgar menyebabkan pintu jeruji terbuka lebar.

Lingkungan yang tak baik akan terus mempengaruhi remaja-remaja seperti Dio. Jika warga, masyarakat dan orang tua tak turun tangan membantu kepolisian dalam melakukan tindakan pencegahan.

“Tukang sapu,” kata Dio menerangkan pekerjaan orang tuanya.

Dengan pipi sebelah kanan yang membengkak, ia menerangkan keadaan keluarga yang tak mampu. Tapi apakah tak ada pilihan lain untuk bertahan hidup? Dio tak mengatakan bahwa ia mencuri untuk cari makan. Artinya, dia masih bisa hidup tanpa mencuri.

Namun ketika ia mengatakan untuk membeli minuman keras dan baju, jawaban itu mengarahkan kita pada gaya hidup remaja kota. Ingin bergaya memakai baju distro, bisa jadi menjadi alasannya. Sangat pribadi.

Selain itu, Dio juga bukan merupakan anggota sindikat jambret, atau semacam gangster seperti yang ada di kota-kota besar. Ia hanya seorang remaja yang ingin tampil gaya. Tak ada biaya dan gelap mata, hukum pun dilanggar semaunya.

Kini semua itu akan ia pelajari. Orang mengatakan pengalaman adalah guru terbaik. Tak selamanya pengalaman baik mengajarkan yang baik. Akan tetapi sebaliknya, pengalaman terburuk justru bisa menjadi guru terbaik dalam hidup. Ada baiknya kita berharap, semoga Dio benar-benar belajar dari setiap langkah yang sudah dijalaninya. (Lombok Pos/JPG)