Kisah Soesilo Toer, Doktor Ekonomi Politik yang Hidup sebagai Pemulung

Kerap Bertanya, Apa Saya Harus Makan Gelar? Makan Ijazah?

MEMILIH BARANG BEKAS. Soesilo Toer (kiri) saat memulung sampah ditemani wartawan Jawa Pos Radar Kudus, di Blora, baru-baru ini. Radar Kudus Photo
MEMILIH BARANG BEKAS. Soesilo Toer (kiri) saat memulung sampah ditemani wartawan Jawa Pos Radar Kudus, di Blora, baru-baru ini. Radar Kudus Photo

Anda percaya seorang doktor ekonomi politik hidup sebagai pemulung? Lulusan Rusia lagi. Ada! Dan Wartawan Jawa Pos Radar Kudus mengikutinya. Berikut tulisannya secara bersambung.

NOOR SYAFAATUL UDHMA, Blora

eQuator.co.id – MALAM itu pukul 19.23. Saat sebagian besar orang beristirahat bersama keluarga, Soesilo Toer siap dengan dua keranjangnya di atas motor. Adik Pramoedya Ananta Toer, penulis yang karyanya menjadi bacaan wajib di sejumlah sekolah di Amerika Serikat itu, memulung sampah.

Dia hendak meninggalkan wartawan Jawa Pos Radar Kudus Noor Syafaatul Udhma yang berjanji ke rumahnya setelah isya. ”Saya sudah gelisah ketika Anda tidak datang sesuai jadwal. Mau saya tinggal tadi. Eh, tiba-tiba muncul,” kata Soesilo yang sudah siap di atas motor bututnya.

Dia mengenakan celana krim, kaos, dan jaket hitam. Di keremangan malam itu, kelihatan pakaiannya sudah lusuh. Helm cakil (helm dengan lingkaran bawah sampai dagu) yang menutup kepalanya juga kelihatan kotor. Greng, reng, reng, reng… Soesilo melesat meninggalkan rumahnya di Jalan Sumbawa, Kauman, Blora, Jawa Tengah (Jateng).

Tujuan pertama Jalan Mister Iskandar. Sekitar 100 meter dari rumahnya. Wartawan koran ini mengikuti di belakang. ”Beberapa hari lalu ada orang meninggal. Saya sudah tunggu sampahnya. Ternyata malam ini baru dibuang,” ujarnya ketika berhenti.

Ada keranjang sampah di depan rumah warga kelihatan penuh. Bungkusan-bungkusan tas plastik hitam berserakan.

”Wah dapat kardus,” pekiknya.

Mata lelaki itu berbinar. Tertuju pada kardus bekas yang bersandar di pagar dekat keranjang sampah. Dia pungut kardus itu, lantas memeluknya erat-erat. Baginya kardus bekas pembungkus kulkas itu adalah rezeki nomplok.

Kardus itu dia masukkan ke dalam keranjang di motornya. Mula-mula, dia meletakkan kardus itu di keranjang kanan. Ternyata terlalu tinggi. Lantas dia meletakkan di bagian tengah. Namun tidak jadi. Takut terjatuh. Beberapa saat kemudian, dia melipat kardusnya.

”Begini saja,” katanya setelah memastikan kardus itu tidak akan jatuh.

Soesilo bukan pemulung sembarangan. Selain adik Pramoedya Ananta Toer yang sastrawan, dia adalah doktor ilmu ekonomi politik. Lulusan Rusia (ketika masih bergabung dengan Uni Soviet) lagi. Dia juga penulis. Bukunya yang telah terbit sekitar 20. Masih ada belasan yang antre dicetak.

Sampai sekarang penjualan buku-bukunya masih berjalan. Sesekali dia juga diundang untuk berceramah di kampus. Tetapi dia senang memungut sampah. Untuk menutup kebutuhan hidup sehari-hari. Penghasilannya itu tentu tidak pasti.

”Semalam kadang-kadang bisa mendapat Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu,” katanya.

Sungguh penghasilannya sebagai pemulung amat kecil dibanding gelarnya. ”Tapi apa saya makan gelar? Untuk hidup sehari-hari apa harus makan ijazah?” ujarnya berkali-kali. Bagi dia, bisa menjadikan barang yang tidak bermanfaat menjadi bermanfaat itu luar biasa.

Soes -sapaan akrabnya- senang dipanggil rektor alias korek-korek barang kotor. Nyaris setiap malam dia keliling kota untuk mengais sampah. Dia mencari apa saja. Dia pungut kardus, aneka botol, plastik, dan barang pecah belah. Bahkan sisa makanan juga.

”Untuk makan ayam.” ujarnya terkekeh ketika mengemasi makanan basi di dekat restoran.

Tangannya yang tak bersarung menggerayangi sisa-sisa nasi bercampur sayur, tisu, dan tulang ayam. ”Ini masih baru,” katanya.

Esok hari ayamnya berpesta. Di rumah dia memelihara ayam belasan ekor. Ada juga dua ekor kambing yang juga diberi makan dari hasil memulungnya. Beberapa hari sebelumnya, dia membawa pulang salak. Tentu yang sudah tidak layak dimakan manusia. Istrinya memberikannya ke kedua kambingnya. Lahap.

Pekerjaan Soes sangat berat. Wartawan koran ini yang ikut bersama Soes merasakannya. Saat itu Soes memunguti gelas pastik yang terselip di tumpukan sampah. Wartawan koran ini membantunya. Isi gelas itu tidak jelas. Warnanya kuning.  Antara makanan yang hancur atau muntahan. Atau bahkan kotoran manusia.

Tangan wartawan koran ini berlumuran cairan kuning. Beberapa kali ingin muntah. Muka rasanya pucat-pasi. Beruntung ada sisa air mineral untuk mengguyur. Sementara itu, Soes tenang saja.

”Tidak takut gudiken?” tanyanya. Wartawan koran ini menggeleng sambil menjawab, ”Saya pernah gudiken kok, Pak. Jadi aman.”

Tak hanya di depan rumah warga, Soes juga mengais di depan mini market. Di sana, sampahnya lebih ramah. Kebanyakan botol air mineral dan kaleng. Tidak ada makanan basi. Soes kelihatan lebih cekatan mengambil apa saja yang dianggap bernilai. Wartawan koran ini yang turut mulung merasa lebih enteng.

Setelah mengorek sampah di tiga jalan, Soes pamit pulang. Saat itu pukul 20.05. Berarti telah satu jam sejak dia berangkat. Tampak keranjangnya sudah penuh. Berkali-kali dia merapikannya.

”Tunggu di sini. Saya balik ke rumah dulu. Soalnya sudah penuh. Nanti saya kembali lagi,” ujarnya sambil menunjuk keranjang.

Pada putaran kedua, Soes menuju Pasar Pitik. Di sana dia makin keras mengais tumpukan sampah. Meski demikian, tak banyak yang didapat. Dia tidak putus asa. Dia terus membuka satu per satu plastik pembungkus sampah. Aromanya, hmm… jangan ditanya. Betul-betul busuk. Namun, wartawan koran ini tak mau menutup hidung. Khawatir menyinggung perasaan Soes. Untuk menghindari bau yang menyengat, terpaksa bernafas lewat mulut.

Wajah Soes yang sebagian tertutup helm baru kelihatan agak berbinar ketika melihat sebuah lampu. Entah masih hidup atau sudah mati. Lampu ini berbentuk huruf O berwarna putih. Terbungkus kertas dan plastik. Bulatannya sedikit lebih besar dibanding piring makan. Wartawan koran ini meraih dan menyodorkan kepada Soes. Dia amati sejenak lantas memasukkannya ke kantong.

Masih di lokasi yang sama, Soes belum mau beranjak. Dia terus mengaduk-aduk bak sampah. Meraba kantong-kantong plastik berwarna hitam. ”Tahu isinya apa?” tanya Soes. ”Tidak,” jawab wartawan koran ini. Lelaki bercambang putih itu, terus merogohkan tangannya ke kantong plastik. ”Hanya dengan meraba, saya bisa mengetahui isinya,” katanya. ”Semua butuh proses dan pengalaman. Tidak bisa instan,” tambahnya.

Di saat lagi serius itu, ada orang yang menegur. ”Wonten nopo kok foto-foto. Kulo sekalian difoto (Ada apa kok foto-foto. Saya sekalian difoto),” kata perempuan penjual sate kambing khas Blora itu. Dia tampaknya mengenal Soes dengan baik. ”Iya, Pak Soes biasa mundut sampah ten daerah mriki (Pak Soes biasa mengambil sampah di daerah sini),” katanya lalu tertawa.

Soes kemudian berpindah lokasi. Namun masih di sekitar pasar. Tepatnya di depan penjual pakaian. Endang, pemilik toko mengaku tahu sosok Soes. Saban hari, dia melihat lelaki tua itu memunguti sampah di sekitar tokonya. Kadang dapat, kadang juga tidak.

Endang mengaku, Soes adik dari Pramoedya Ananta Toer. Wajahnya juga mirip.

”Itu kan adiknya penulis. Namanya Pramu atau Ananta Tur itu kan. Aduh, saya kok lupa. Pokoknya sastrawanlah,” katanya lupa-lupa ingat. Lantas dia melanjutkan. ”Bapak itu juga penulis,” akunya meyakinkan.

Endang memastikan, sudah beberapa tahun terakhir Soes memungut sampah. Nyaris tiap malam dia melihatnya. Ada beberapa pemungut sampah yang dia hafal wajahnya. Salah satu adalah Soesilo.

”Saya sih tidak tahu kalau dia seorang doktor. Namun setahu saya, dia adik seorang penulis,” ujarnya.

Sampai di depan sebuah butik, Soes mengajak wartawan koran ini berhenti. Dia amati bagian dalam toko. Dia pandangi satu persatu pelayanannya. Pemilik toko itu, kata Soes, orangnya baik. Empat kali dia diberi uang. Bahkan, pernah juga diberi sarung. Belakangan dia tahu, pemilik toko itu bernama Ulfah. Namun, malam itu Ulfah tidak kelihatan.

”Lagi ngeloni anaknya,’’ kata seorang pelayan.

Sebagai ucapan terima kasih, suatu ketika Soes memberinya buku. Karyanya sendiri. Beberapa hari kemudian Ulfah sengaja mencegat Soes. Dia meminta maaf. Dia menyesal telah menganggap Soes sebagai pengemis. Dia tahu Soes seorang penulis hebat setelah membaca buku pemberiannya tersebut.

”Ya saya ini kan memang rektor. Korek-korek barang kotor. Jadi tidak masalah,” guraunya.

Lepas dari depan butik yang orangnya ramah, Soes dikejutkan munculnya seorang ibu dari balik pintu pagar. Saat itu Soes sedang mengais sampah di keranjang depan rumahnya.

”Kalian sedang apa?” tanya ibu itu. Agaknya dia curiga. Setelah dijelaskan ibu pun paham.

”Hidup itu romantika. Ada yang curiga, memaki, atau mencaci. Ada yang suka. Ada pula yang kasihan. Ya, begitulah romantika kehidupan,” kata bapak satu anak itu.

Dia sudah mengalami berbagai pahitnya hidup. Bahkan, dianggap anggota PKI seperti kakaknya. Dia sudah mengalami kecewanya menjadi tahanan politik.

Di balik itu semua, dia juga pernah merasakan disanjung sebagai narasumber di kampus-kampus. Baginya, romantika kehidupan ya memang begitu. Kadang senang, sedih, bahagia, bangga, kecewa, juga marah.

Ketika keranjang sampahnya sudah penuh lagi, Soes pamit pulang lagi. Wartawan disuruh menunggu. Tak sampai setengah jam, dia sudah balik. Pada babak ketiga itu, Soes mengajak ke sekitar Jalan Pemuda hingga Jalan Gunung Lawu. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 22.15.

Di malam yang semakin larut itu, sebagian besar toko sudah tutup. Bahkan warung, kafe, dan restoran sudah berkemas-kemas. Soes tetap saja melanjutkan pekerjaannya. Justru pada saat itulah banyak pelayan restoran, kafe, dan warung membuang sampah. Sehingga putaran ketiga itu tak membutuhkan waktu lama untuk mengisi keranjangnya.

Akhirnya dia mengakhiri pekerjaannya malam itu sekitar pukul 22.45. Semua hasil jerih payahnya ditumpuk di halaman rumah. Motornya, Surya Garuda, yang digunakannya sejak 2006 itu, digeletakkan begitu saja di teras rumah yang jauh dari bersih untuk ukuran orang awam.

Istrinya Suratiyem sudah tidur. Demikian juga anaknya. Soes baru benar-benar beristirahat ketika malam sudah beranjak dini hari.

Bagi Soes, memulung sampah bukanlah pekerjaan hina. Dia justru bangga dan menikmatinya. Sama bangganya dengan ketika dia meraih gelar sarjana ekonomi, master, dan doktor ekonomi politik. Sama bangganya juga ketika dia diundang untuk berceramah di kampus-kampus.

Baginya, kenikmatan itu hedonis. Apabila bisa menikmati hidupnya sendiri, berarti bisa memberikan kenikmatan kepada orang lain. (Radar Kudus/JPG/bersambung)