Belajar dari Banyuwangi

Oleh: Dahlan Iskan

‘SEKOLAH KEHIDUPAN’. KIRI: Dahlan Iskan mengunjungi Ibu Tampani di Kabupaten Banyuwangi. KANAN: Dahlan Iskan di tempat Ibu Fitri, penyalur makanan untuk para Lansia tanpa pasangan hidup di Kabupaten Banyuwangi. Admin disway.id for Rakyat Kalbar

eQuator.co.id – Ada satu kelompok orang miskin yang tidak mungkin dientas. Mereka janda. Atau duda. Sudah tua. Tidak punya keluarga. Rumah juga tiada.

Diberi modal pun tiada guna. Apalagi diberi penataran.

Perkiraan saya jumlahnya 5 juta. Di seluruh Indonesia.

Bagi kelompok ini, yang penting adalah jaminan bisa makan. Setidaknya dua kali sehari. Kalau sakit bisa berobat. Gratis. Punya baju meski tidak baru. Punya selimut. Atau sarung yang multi guna.

Tapi yang terpenting sebenarnya keperluan jenis ini: teman bicara. Teman ngobrol. Teman curhat.

Inilah sebenarnya tujuan panti jompo. Agar punya banyak teman sebaya. Tapi dari namanya saja sudah begitu menghina. Siapa yang mau terhina tinggal di sana.

Di Banyuwangi saya melihat contoh ideal. Saat saya ke sana. Sabtu-Minggu kemarin. Bupati Banyuwangi Azwar Anas sudah punya datanya: 2.000 sekian. Lengkap dengan nama dan alamatnya.

Anas juga punya solusi: kirim makanan dua kali sehari. Tiap kali satu rantang berisi tiga.

Dia tahu birokrasi tak akan mungkin menanganinya. Maka dia tunjuk warung-warung terdekat.

Misalnya warung bu Fatimah. Saat saya ke warung itu rantang sedang dipersiapkan. Ada warna merah dan hijau. Untuk pengiriman sore.

Untuk makan malam. Bu Fatimah punya dua ‘loper’. Yang mengantar rantang itu. Sekaligus mengambil rantang kosong.

Setiap bulan Bu Fatimah menerima pembayaran dari Pemda. Serantang Rp 18.000. Juga bertanggung jawab atas mutu makanan.

Sore itu saya kunjungi Bu Tampani. Seorang janda. Umur 80 tahun. Punya tiga anak. Tapi semua  meninggal sebelum umur dua tahun.

Suaminya, seorang nelayan, juga sudah meninggal. Lebih dari 40 tahun lalu.

Tapi fisik Bu Tampani cukup baik. Pendengarannya masih ok. Ingatannya masih segar. Bicaranya masih jelas. Tidak pikun. Tidak tremor.

Dialah salah satu penerima rantang itu. Kebetulan tetangga-tetangganya masih sering mengajak dia ngobrol.

Saya yakin ada Pemda lain yang memiliki program seperti Banyuwangi. Hanya saja saya tidak tahu.

Tapi Pemda yang melakukannya seperti tidak mendapat nama. Seolah kurang berhasil dalam menangani kemiskinan.

Meski telah tertangani, tetap saja mereka  masuk kelompok miskin. Mereka tidak menjadi faktor pengurang angka kemiskinan.

Mungkin ada baiknya dilakukan begini: mereka yang sudah tertangani dari kelompok ini dikeluarkan dari angka kemiskinan. Bikinkan kategori khusus.

Mereka memang tidak mungkin dientas. Dalam pengertian dibuat kaya. Yang penting kebutuhan mereka terpenuhi.

Banyuwangi memang punya ribuan terobosan. Salah satunya pembentukan ‘smart kampung’. Anas melakukan revolusi digital mulai dari kampung.

Inilah kabupaten yang majunya sangat nyata. Dulu Banyuwangi sulit maju karena jauh dari mana-mana.

Anas bangun bandara. Kini sudah ada penerbangan langsung Jakarta-Banyuwangi. Tiga kali sehari. Juga dari Surabaya. Tak lama lagi dari Singapura dan Kualalumpur.

Banyuwangi yang bisa berbuat begini. Ekonominya tumbuh 6,7 persen. Angka yang sulit dicapai nasional. Bupati memang juga harus pabrik ide. Dan CEO yang handal.

Bahkan hal sepele pun dia perhatikan. Misalnya omongan yang bersifat tahayul. Tapi meluas. Menjadi kepercayaan umum. Merusak mental. Maklum Banyuwangi juga dikenal sebagai ibukota santet nasional. Dulu. Tidak pernah damai. Kisruh terus. Demo terus.

Masyarakat sudah sampai tingkat percaya Banyuwangi sulit maju. Kantor bupatinya saja menghadap makam besar. Taman makam pahlawan. Di halaman makam itu ada patung pedang dan tombak. Itu yang membuat kabupaten berdarah-darah.

Tentu Anas tidak percaya yang begituan. Tapi meluasnya kepercayaan seperti itu harus dibasmi. Bukan dengan khotbah atau kecaman. Tapi tindakan.

Patung senjata itu dia bongkar. Halaman makam itu dia mundurkan. Menjadi luas. Lalu dia hutankan. Dengan pohon sawit.  Rapat. Rindang. Dia buat plaza di bawahnya. Dia pasangi wifi.

Kini makam itu tidak terlihat dari luar. Yang tampak adalah hutan sawit yang rimbun dan indah. Anak-anak muda berwifi ria di naungannya.

Belum cukup. Dua kanon meriam dia pasang di depan kantor kabupaten. Meriam besar. Menghadap makam. Senjata yang lebih besar untuk menangkis pedang dan tombak yang sudah tidak ada.

Sudah tujuh tahun tidak ada demo di Banyuwangi. Bukan karena makamnya sudah ditutup hutan sawit. Tapi Anas membuat masyarakat sibuk berkarya.

Lebih 150 festival dia buat setiap tahun. Mulai dari tari ‘gandrung seribu’ sampai lari ke gunung Ijen.

Aneh sekali kalau kawasan Toba tidak bisa bangkit seperti Banyuwangi. Bandara Silangit harus bisa jadi bandara Banyuwangi. Tapi memang. Memang. Harus ada Azwar Anas di sana.

Itu pula yang membuat saya menyarankan pada bupati Sambas, Kalbar. H. Atbah Romin Suhaili LC. Saat beliau ke rumah saya. Mencari cara membangun Sambas. Yang begitu jauh. Yang bertetangga dengan Serawak.

Bangunlah bandara. Manfaatkan nilai jual tetangga: kota Singkawang. Bekerja samalah dengan walikota Singkawang. Jangan bersaing. Apalagi bertengkar. Hanya demi gengsi.

Begitu banyak orang ingin ke Singkawang. Apalagi saat Cap Go Meh. Atau Imlek. Atau ceng beng. Terlalu tersiksa untuk ke Singkawang. Harus lewat Pontianak. Banyuwangi literatur hidup untuk semua itu. (dis)