Tuhanku, lindungilah aku. Aku mau korupsi. Hanya kepada-Mu aku memohon. Hanya kepada-Mu aku memohon perlindungan. Tuhanku, lindungilah aku. Aku mau korupsi.
DINA ANGELINA, Balikpapan
eQuator.co.id – BEGITULAH puisi dari Jose Rizal Manua yang berjudul “Doa Orang Waras”. Puisinya terdengar lucu. Namun, sesungguhnya mengandung kritik tajam terhadap korupsi yang kian merajalela. Menggelitik sanubari.
Pria kelahiran Padang, Sumatra Barat, 14 September 1954, itu berbeda dengan para pujangga kebanyakan yang membawa puisi beraroma romantis dan serius. Jose justru muncul dengan karisma dan keunikan tersendiri, tampil dengan sajak humor dan lucu. Terkadang lengkap dengan senandungnya.
Puisi humor memang menjadi salah satu senjatanya untuk menembus jajaran penyair kondang. Meski kala itu, ada deretan nama-nama terkenal seperti WS Rendra, Hamid Jabbar, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Darmano. Mereka yang beken pada zamannya membuat ruang untuk penyair baru terasa sempit.
Supaya menarik perhatian, Jose memberanikan diri tampil dengan sesuatu yang baru. Dia mengeksplorasi puisi humor yang mampu membuat pendengarnya terpingkal-pingkal. Salah satu puisi yang tak kalah menggelitik berjudul Menghayal Jadi Presiden. Isinya, termenung di atas kloset. Menghayal, jadi Presiden. Plung!
Mungkin mendengar judulnya saja sudah membuat orang kaget. Tapi begitulah sajak humor. Jose dapat mengekspresikan diri dengan bebas. Pada awal masa sajak humor populer, ternyata menimbulkan kontroversi dan penolakan dari penyair lainnya. Mereka beranggapan puisi tak boleh tampil dengan cara seperti itu.
“Padahal saya tidak melucu, tapi mengekspresikan puisi. Jadi orang tertawa karena isi puisinya yang mengandung humor. Karena sense humor adalah sisi manusiawi dari manusia,” katanya kepada Kaltim Post (Jawa Pos Group) di Balikpapan pekan lalu. Ke Kota Minyak, dia menghadiri pernikahan anaknya, Sanca Khatulistiwa yang mempersunting Inez Inayah Adelia.
Alumnus S-2 Film Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta itu menuturkan, sesungguhnya kandungan humor sudah biasa berada di dalam karya-karya penyair lainnya. Contoh puisi Rendra dengan judul Pesan Pencopet kepada Pacarnya dan puisi Shanghai oleh Sutardji yang memiliki kekuatan humor dari bunyi.
“Berdasarkan itu, saya berusaha menguatkan kandungan humor. Jadi, puisi tidak selalu hal serius dan romantis,” imbuhnya.
Suami Nunum Raraswati itu memberi contoh puisi karyanya yang berjudul Doa Orang Waras. Dia mengaku, puisi tersebut bukan semata-mata humor. Jose menggambarkan bagaimana gejala korupsi pada medio ’80-an. Dengan humor, orang yang mendengar tertawa dan menyadari.
“Bagi saya, humor sesuatu yang serius sekaligus media kritik,” tutur pria 63 tahun itu.
PENDIRI TEATER ANAK
Jauh sebelum menjadi penyair, Jose lebih dulu mencicipi dunia teater. Saat itu, seni merupakan caranya mengalihkan diri dari tren penggunaan morfin (narkoba) di kalangan remaja. Tepatnya sekitar 1971, saat itu dia masih 16 tahun. Pengalaman pertama dengan seni dilalui saat berkunjung ke Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
Di sana, Jose merasa seni dapat mengandung kemerdekaan dan kebahagiaan. Sekaligus menjauhi ancaman morfin yang melanda anak muda. Sejak saat itu, dia merasa banyak kenikmatan dalam seni. Setelah aktif di TIM beberapa tahun, Jose mendapat tawaran dari Pusat Kesenian Jakarta untuk bekerja di sana.
Dia menjalani pekerjaannya itu sedari 1973 hingga pensiun 2010. Selama berada di TIM, Jose terhitung aktif di seni. Ada banyak kegiatan yang dilakukan oleh ayah lima anak tersebut. Mulai menulis puisi hingga menjadi sutradara drama. Pada 1975, Jose berhasil menciptakan puisi pertamanya tanpa judul. Berikut bunyinya, “Tuhanku, tutuplah matahari. Siang ini, kekasihku pulang sekolah.”
Sementara, dia juga mendapatkan pengalaman teater saat mengikuti Teater Wijaya Kusuma dan Teater Mandiri di Jakarta. Jose bergabung dan belajar dengan orang-orang hebat dalam teater tersebut. Di antaranya, Rendra Karno, Kusno Sudjarwadi, dan Maruli Sitompul. Mereka juga yang menyemangati dirinya untuk bersemangat dalam menyelami dunia teater.
Merasa belum puas dalam kesenian, Jose mendirikan sebuah teater anak dengan nama Teater Adinda. Kali pertama tampil dalam festival teater anak-anak se-Jakarta, 1978. Mereka berhasil menang empat kali berturut-turut hingga akhirnya tak boleh ikut berpartisipasi lagi.
Namun, teater ini tak dapat berlanjut karena banyaknya kesibukan. Kini anak didikan dari Teater Adinda sudah banyak melanglang buana di dunia film dan sinetron. Misalnya, Denny Malik, Septian Dwi Cahyo, dan Sylvana Herman. Jose menuturkan, tujuan awal mendirikan teater anak untuk memfasilitasi dan memberikan ruang minat anak serta remaja yang tertarik di bidang teater.
“Banyak orang ke TIM, bertanya bagaimana caranya jika anak-anak ingin ikut teater. Saat itu, teater sudah ada, tapi hanya berisi orang-orang besar dan tidak semua bisa ikut masuk. Pelan-pelan saya buka cara dengan mendirikan teater anak,” bebernya.
Setelah Teater Adinda, Jose mendirikan lagi teater anak dengan nama Tanah Air. Resmi terbentuk pada 14 September 1988. Teater ini memainkan naskah Yunani hingga William Shakespeare–penulis asal Inggris. Dari teater anak, dia berusaha mengharumkan bangsa dengan tampil dalam festival teater anak se-Asia Pasifik di Jepang pada 2004. Mereka menyajikan teater dengan tema Bumi di Tangan Anak-Anak.
Meski perjalanan sampai ke Negeri Sakura harus terseok-seok. Akibat tidak ada dukungan dari pemerintah. Jose bersurat ke panitia tidak bisa berangkat. Akhirnya Pemerintah Jepang bersedia menjadi sponsor untuk keberangkatan mereka. Teater Tanah Air yang mewakili Indonesia menjadi satu-satunya mendapat perhatian tersebut.
Tak disangka, kerja keras terbayar. Penampilan Teater Tanah Air menjadi pertunjukan terbaik kala itu. Selain gelar The Best Performance, mereka memboyong 10 medali emas dalam acara bertajuk The Asia Pacific Festival of Children Theater 2004. “Saya menjadi semangat terus melanjutkannya hingga kini. Apalagi kesempatan masuk ke festival dunia lewat teater anak,” ucapnya.
Jose menjelaskan, ada banyak nilai kehidupan yang bisa tersampaikan melalui teater. Misalnya, kesetiakawanan, kecintaan pada bumi, sampai mengangkat isu berat seperti pemanasan global. “Kalau main di dalam negeri, kami banyak mengangkat kearifan lokal dari cerita rakyat seperti Malin Kundang dan Timun Mas,” kata alumnus S-1 Teater Institut Kesenian Jakarta.
Biasanya dalam menyusun naskah teater, Jose bekerja sama dengan seniman Putu Wijaya dan Remy Sylado. Jadi, mereka dapat menghasilkan naskah cemerlang dalam setiap pertunjukan.
Setelah berusia 30 tahun, Teater Tanah Air sudah berhasil memberikan penghargaan kepada negara melalui pencapaiannya di festival teater anak. Bukan kabar baru, teater ini menjadi yang terbaik dalam berbagai festival teater anak dunia.
Contohnya meraih 19 medali emas di seluruh kategori pada Festival Teater Anak-Anak Dunia Ke-9 di Lingen, Jerman, 2006. Ada sekitar 30 negara ambil bagian dalam event tersebut. Namun, Teater Tanah Air mampu menjadi yang terbaik.
Kemudian, meraih the best performance dan the best director pada acara serupa di Moskow, Rusia, tahun 2008. Pada 2013 di ajang yang sama di New Delhi, India, teater yang dipimpin Jose Rizal itu kembali meraih the best performance. Atas sederet prestasi Teater Tanah Air, mereka menjadi tamu spesial di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2008.
“Saya merasa senang dan bangga karena lewat cara ini bisa memberikan kontribusi kepada teater dunia,” ucapnya.
Jose menyampaikan, selama ini, kunci keberhasilan teaternya adalah kreativitas. Hal yang tak kalah penting yakni menyadari akan kekayaan budaya di Indonesia yang tidak dimiliki negara lain. Bayangkan, negeri ini kaya dan unik. Dari Aceh sampai Papua memiliki beragam seni. Mulai lisan, tari, sampai teater.
“Kekayaan itu saya coba ramu menjadi sesuatu modern. Mengaktualisasikan tradisi, bukan tradisi saya angkat begitu saja. Tradisi di-create jadi sesuatu yang baru. Namun, dasarnya tetap tradisi dari berbagai daerah,” ungkap pria yang kini aktif menjadi dosen teater dan film di Institut Kesenian Jakarta itu.
Contohnya, Teater Tanah Air menjuarai festival teater anak dunia di Jerman pada 2006. Saat itu, mereka menampilkan budaya Kaltim yakni tarian perang asal Dayak. Namun, dengan baju yang modern, bagian aktualisasi hingga pantas tersaji untuk khalayak internasional.
“Saya sering bilang ke anak-anak, kalau ikut festival dunia tujuannya bukan bikin pertunjukan yang bagus. Tapi mengukir sejarah baru. Akhirnya pertunjukan kita ditiru oleh negara lain misalnya India dan Paraguay. Itu berarti, kita bisa jadi inspirasi dan pembelajaran untuk negara lagi,”
Kini, Teater Tanah Air sedang bersiap diri dalam ajang festival teater anak dunia ke-15 di Jerman pada 22–29 Juli 2018. Festival ini penting karena tak bisa semua negara berpartisipasi. Ada proses seleksi untuk menyaring peserta. Dari 360 negara, hanya 17 negara yang masuk. Asia diwakili oleh Indonesia, Jepang, dan India.
“Rencananya kami bawakan teater dengan tema tentang kebersamaan. Persiapan sudah cukup tinggal mematangkan saja. Penampilan kami ditunggu karena 2006 dulu menjadi juara dunia di Jerman,” sebutnya.
Selain sibuk dengan teater, Jose juga masih aktif berkegiatan individu. Misalnya mengunjungi berbagai daerah memberikan pelatihan tentang puisi dan teater. Jose sudah 20 tahun terakhir menjadi juri beragam festival. Seperti monolog, puisi, dan teater tingkat nasional.
Jose berusaha memberikan kontribusi dari bidang yang dia pahami. Belum lagi keliling daerah menampilkan monolog, contohnya saat event Heeewah 2016 di Samarinda. Terakhir, tentu masih aktif main teater dan puisi humor. Baru-baru ini, Jose juga mendapat panggilan ke Istana Negara.
“Rencananya pemerintah ingin saya memberikan sosialisasi Pancasila melalui seni ke daerah-daerah. Mungkin akan berjalan tahun depan. Sisanya, saya akan tetap aktif dengan kegiatan seni selama ini,” pungkasnya. (Kaltim Post/JPG)