Trump

Oleh: Dahlan Iskan

Donald Trump

eQuator.co.id – Seperti juga Anda, saya tidak suka Trump. Tapi dalam hati kecil kadang saya bilang begini: coba saja, beri kesempatan berkuasa, seperti apa jadinya.

Jangan-jangan dia benar. Jangan-jangan Amerika lebih maju.

Misalnya soal penurunan pajak yang dramatis itu. Pajak perusahaan turun dari 35 persen ke 21 persen.

Akibatnya, APBN Amerika akan kehilangan USD 1,5 triliun. Atau sekitar Rp20 ribu triliun. Dua puluh kali APBN kita. Kehilangannya saja.

Padahal, program infrastruktur dan militer Trump begitu agresif. Dia ngiler melihat pembangunan jalan tol, bandara, pelabuhan, kereta cepat, dan apa saja yang begitu masif di Tiongkok.

Trump merasa fasilitas infrastruktur di AS sudah kalah dari negara dunia ketiga. Tentu,seperti biasa, Trump bicara berlebihan. Orang Madura bilang wat-menggawat.

Memang sudah banyak bandara dan pelabuhan di Amerika yang kalah modern. Apalagi kereta apinya. Kuno sekali. Hanya sedikit lebih baik dari Indonesia. Tapi tetap saja Amerika masih negara paling hebat di dunia.

Siapa tahu Trump benar. Setelah lebih 25 tahun Amerika menganut teori ini: pajak tinggi memperkuat keuangan negara dan menjadi alat pemerataan ekonomi yang nyata. Trump ingin mencoba ideologi lain.

Presiden dari Partai Republik sebelumnya gagal menerapkan ideologi pajak rendah. Kebiasaan ‘pajak tinggi’ tidak bisa ditinggalkan. Termasuk saat George Bush berkuasa.

Padahal ideologi Partai Republik adalah pajak rendah. Agar perusahaan-perusahaan bergairah. Ekonomi tumbuh.

Laba perusahaan yang besar tidak habis untuk membayar pajak. Akan dipakai membuka perusahaan baru. Lapangan kerja terbuka. Pengangguran menurun. Kemiskinan berkurang. Pada saatnya, ketika perusahaan tumbuh kian banyak dan besar, penghasilan pajak akan naik.

Tapi setiap kali Partai Republik berkuasa, selalu gamang untuk memotong pajak. Gamang akan kehilangan sumber APBN yang sangat besar itu. Seperti USD 1,5 triliun itu. Mau ditutup dari mana? Apalagi kalau Kongresnya dikuasai Partai Demokrat. Pasti diganjal di Kongres.

Kini Presiden dan Kongres dikuasai Partai Republik. Ide Trump bisa dilaksanakan. Sejak 1 Januari lalu. Kekurangan USD 1,5 triliun akan terjadi. Sumber penggantinya belum tahu.

Dulu Trump menjanjikan ini: biaya pembangunan tembok perbatasan akan dibebankan pada Mexico. Janji kampanye yang tidak masuk akal tapi membuatnya terpilih. Padahal tidak mungkin Mexico mau. Dan tidak logis.

Maka janji ‘tahun pertama tembok sudah mulai dibangun’ meleset. Kini, di tahun kedua, baru prototype-nya yang jadi. Belum diputuskan pilih yang model apa. Juga dari anggaran yang mana.

Rupanya Trump memikirkan jalan pintas: mengenakan bea masuk. Atau menaikkannya. Ini bisa dapat uang tambahan dengan cepat. Hari itu juga.

Maka bea masuk mesin cuci dan alat elektronik dinaikkan drastis. Bahkan Jumat besok, bea masuk baja dinaikkan sampai 30 persen dan alumunium 15 persen.

Dari sini Trump akan bisa menutup kekurangan USD 1,5 trilun tadi. Di pikirannya menari-nari angin surga ini: bea masuk barang-barang dari  Tiongkok saja sudah akan dapat mengganti  hampir separonya.

Langkah Trump ini tentu menggegerkan dunia. Negara pelopor pasar bebas ini menjadi pelopor anti pasar bebas. Dulu Amerika menekan Tiongkok habis-habisan. Agar mau masuk WTO. Maksudnya agar Tiongkok ikut sistem perdagangan dunia yang bebas dan fair. Kini Amerika terang-terangan mengabaikan WTO.

Dan yang ngamuk pertama ternyata bukan Tiongkok. Melainkan Kanada. Dan Eropa.

Bahkan minggu lalu reaksi paling keras dilancarkan oleh Eropa. Sampai mengancam akan membalasnya: mengenakan bea masuk bagi hasil pertanian Amerika.

Ini akan memukul jutaan petani di negara-negara bagian pendukung Trump. Seperti Kentucky dengan hasil bourbon-nya. Atau Wiscounsin dengan raspberry-nya. Atau Florida dengan jeruknya.

Tiongkok, seperti biasa, memilih jalan lobi. Dikirim utusan tingkat tinggi ke Washington. Sampai dua kali. Salah satunya adalah Liu He, lulusan Harvard yang Senin lalu bintangnya terang: naik jadi wakil perdana menteri urusan ekonomi.

Berhasilkah? Jangankan membicarakan hasilnya. Tim lobi itu bahkan tidak bisa ambil kesimpulan siapa saja yang harus dilobi. Di Washington ternyata tidak jelas siapa sebenarnya yang dipercaya Trump.

Dulu, dikira menantunya: Jared Kushner. Dunia sibuk melobi dia. Belakangan bahkan Kushner tidak lulus test security untuk menjadi orang Gedung Putih.

Lalu, dikira Gary Cohn. Penasehat utama ekonomi Trump. Yang sebelumnya adalah Presiden Goldman Sachs. Belakangan Cohn bahkan mengundurkan diri. Tidak cocok dengan Trump.

Padahal Cohn lah konseptor pajak rendah itu. Maunya Cohn bahkan bukan turun jadi 21 persen melainkan 16 persen.

Dicoba juga lobi lewat Tillerson, menteri luar negeri. Ternyata Tillerson dipecat.

Begitu sering pergantian pejabat tinggi di sekitar Trump. Bahkan di lingkungan pejabat Gedung Putih kini saling mengedarkan taruhan: siapa yang dipecat Trump berikutnya.

Orang tidak tahu lagi siapa sebenarnya mata dan telinga Trump. Begitu Ruwetnya Gedung Putih. Dalam hati kecil saya kini pun berkata: berapa lama lagi Trump akan dipecat! (dis)