Budidaya pohon Tin mulai banyak digemari di Indonesia. Khasiat yang dikandung daun dan buahnya membuat keberadaan tanaman ini menjadi incaran masyarakat.
LUKMAN MAULANA, Bontang
eQuator.co.id – Dari Kota Bontang, Kalimantan Timur, salah seorang pembudidaya pohon Tin adalah Ritha Adianto. Ia jadi pembudidaya berawal dari khasiat yang dirasakannya saat mengkonsumsi ekstrak daun Tin.
Pada Juni 2015, Ritha jatuh sakit. Tidak mampu bergerak. “Diagnosis dokter bilang, saya kena kolesterol tinggi dan asam urat. Saya lalu mencari tahu alternatif obat herbalnya. Ternyata salah satunya Tin,” kisah Ritha saat ditemui Bontang Post (Jawa Pos Group) di kediamannya, Jalan Pencak Silat, Bontang, Kaltim.
Dari situ, alumnus SMA Vidatra ini mulai bereksperimen dengan meracik teh dari daun Tin. Konon rebusan daun Tin bisa mengobati penyakitnya. Dia lantas membeli daun Tin dan mulai merebusnya. Setelah rutin mengonsumsi rebusan itu, perlahan Ritha merasakan kesehatannya membaik. Dia jadi bisa bangkit berdiri seperti sedia kala.
“Tiga hari pertama detoks, setelah itu normal, saya bisa bangkit. Sudah tidak kram-kram lagi. Padahal sebelumnya saya sampai merangkak kalau mau ke kamar mandi,” kenang dia.
Merasakan langsung khasiat daunnya, Ritha menjadi terinspirasi untuk mulai menanam pohon Tin dalam jumlah banyak. Berawal dari dua pot tanaman Tin jenis green dan purple yang diletakkan di loteng rumahnya, berkembang hingga mencapai 40-an jenis Tin kala itu. Pohon Tin yang memiliki nama lain pohon Ara memang memiliki beragam jenis dan warna yang berbeda satu sama lain.
“Saya mulai mencoba perbanyak dengan mencangkok. Aroma daunnya memang berbeda-beda. Ada yang warna aslinya pekat sekali,” tutur Ritha yang mengaku belajar budidaya Tin secara autodidak.
Kegiatan berkebun pohon Tin membuat banyak orang di sekitarnya menjadi penasaran. Dari situ, Ritha terpikir untuk mulai belajar menjual daun Tin yang dia budidayakan.
Awalnya dia menjual dengan cara menyangrai untuk proses pengeringan. Dari empat bungkus pertama yang dijual, Ritha mulai menawarkannya melalui jejaring sosial di dunia maya.
“Pertama kali buat empat pak, itu orang-orang langsung rebutan. Sampai mesti antre nunggu panen lagi. Panennya per dua pekan,” ucap ibu tiga anak ini.
Dari menyangrai, Ritha beralih memasukkan daun Tin ke dalam oven untuk proses pengeringan menjadi teh siap seduh. Pasalnya proses sangrai membuat daun menjadi wangi, namun terasa pahit. Pengeringan dengan oven membuat rasanya pas, akan tetapi warnanya menjadi kurang menarik. Lantas pada percobaan ketiga, Ritha memilih menjemur daun Tin secara penuh untuk proses pengeringannya.
“Saat dijemur full, warna tetap hijau menarik dan rasanya juga tidak pahit. Akhirnya jadi standar sampai sekarang,” bebernya.
September 2015, Ritha serius menekuni bisnis teh daun Tinnya. Dengan hanya mengandalkan penjualan secara daring, produk teh daun Tin yang dikemas ala kadarnya dalam plastik klip mulai dikenal. Rata-rata pembeli menjadikannya sebagai obat untuk penyakit ginjal dan diabetes. Permintaan yang terbilang banyak membuat Ritha sempat kewalahan waktu itu.
“Dulu tiap panen dapatnya 15 sampai 16 bungkus. Jadi didaftar dulu yang pesan. Jualnya per bungkus isi 50 gram harganya Rp 25 ribu. Itu masih yang teh tubruk saja, belum teh celup seperti sekarang. Kalau sekarang sudah mulai ready terus ya,” ungkap dia.
Seiring berkembangnya usaha teh daun Tinnya, Ritha mulai mengurus perizinan yang diperlukan. Dia juga turut memperbaiki kemasannya. Kebetulan sang suami memiliki keahlian dalam desain. Para peminat tehnya pun kini bukan hanya dari Bontang, melainkan juga sampai ke daerah-daerah lain di Indonesia, seperti Sumatera, Jawa, Sulawesi. Bahkan sampai dibawa ke Malaysia.
“Ada orang Bekasi yang membawa teh saya sampai ke Kuala Lumpur. Rata-rata memang orang membeli dalam jumlah banyak untuk dijadikan oleh-oleh. Kadang mereka membawa 20 sampai 30-an bungkus,” urai perempuan berhijab ini.
Tak hanya melakukan penjualan secara langsung, ia kini telah memiliki rekanan yang menjadi reseller produk teh daun Tinnya di berbagai daerah. Promosi yang dilakukan sebatas melalui pertemanan di akun jejaring sosialnya. Kata dia, dalam melakukan promosi, bukan sekadar menawarkan produk-produknya. Melainkan turut menyelingi dengan menjalin keakraban dan juga berbagi informasi.
“Kalau sekadar iklan terus-terusan, orang tidak akan tertarik. Cara saya selain beriklan, juga sesekali memberikan sosialisasi dan mau bergaul dengan siapa saja,” sebut Ritha.
Dijabarkannya, per dua pekan panen bisa mendapatkan 20 hingga 30 kilogram daun basah. Setelah melalui proses pengeringan, biasanya mengalami penyusutan menjadi 8 kilogram. Pengeringan dengan menjemur secara penuh menghasilkan penyusutan 70 persen, sementara dengan menggunakan oven penyusutannya sampai 80 persen.
“Karena kalau musim hujan itu mau tidak mau pengeringannya harus menggunakan oven,” sambungnya. Dari hasil panennya tersebut, dia menyebut bisa menghasilkan 200 hingga 400 kotak teh celup per bulan.
Selain daunnya, Ritha juga memanfaatkan buah dari pohon Tin untuk menciptakan beragam variasi produk. Usia buah Tin yang tak bertahan lama membuatnya berpikir untuk bisa mengolahnya menjadi produk-produk turunan bernilai jual seperti selai dan manisan. Yang terbaru, Ritha membuat produk cokelat buah Tin yang diberinya nama ‘Nyoklat Tin’.
Menariknya, meski baru diperkenalkan, produk cokelat buah Tin langsung laris diburu. “Padahal cokelatnya baru launching pekan lalu, tapi permintaannya sudah ratusan. Rata-rata pembelinya dari Bontang, Samarinda, dan Balikpapan. Pemesannya juga ada yang dari Blitar dan Malang. Mungkin karena sekarang ini orang-orang suka dengan inovasi,” paparnya.
Dalam menjalankan bisnis kebun Tin ini, awalnya Ritha hanya bermodalkan Rp300 ribu yang disisihkan dari uang belanja pemberian suami. Uang tersebut digunakan untuk membeli pohon Tin jenis baru. Dari pohon tersebut, lantas dikembangkan Ritha dengan proses mencangkok. Pohon baru yang dikembangkan Ritha dijual dan pendapatannya digunakan untuk membeli bibit baru.
“Jadi uangnya berputar di situ, pohon Tinnya bisa menghasilkan uangnya sendiri,” terang perempuan kelahiran Bontang, 12 September 1987 ini.
Ia mengakui tidak memiliki latar belakang khusus terkait pertanian atau budidaya buah Tin. Hanya saja dia memiliki hobi berkebun dan suka sekali menanam tumbuh-tumbuhan. Sebelum berkebun Tin, Ritha sempat bertanam tanaman hias Aglonema namun tidak menghasilkan. Barulah ketika dia jatuh sakit, seakan mendapat inspirasi untuk berkebun Tin yang dilakoninya hingga sekarang.
Selain membuat olahan dari daun dan buah Tin, Ritha juga menjual bibit maupun pohon. Pohon Tin yang sudah tumbuh berbuah dijualnya dengan kisaran Rp 250 ribu sampai Rp 350 ribu per pot. Dia juga tak segan berbagi ilmu kepada siapa saja yang hendak belajar budidaya. Bahkan dia sudah dipercaya untuk memberikan materi terkait budidaya pohon Tin di Bontang.
“Cuaca Bontang saya rasa cocok untuk bertanam pohon Tin dengan media pot. Tapi kalau bertanam secara langsung di tanah, hasilnya tidak bagus,” ungkapnya.
Memanfaatkan media tanam pot plastik dan polybag, kini Ritha telah memiliki 400-an pohon Tin beragam jenis di loteng rumahnya. Jumlahnya mulai dia batasi dengan melihat daya tahan loteng rumah. Keterbatasan lahan memang menjadi salah satu kendala dalam memperbanyak pohon-pohonnya.
“Karena takut roboh (lotengnya). Soalnya satu pohon saja sudah berapa kilo beratnya,” pungkas istri dari Jumadianto ini. (Bontang Post/JPG)