Jokowi Terancam jika Anies-Gatot Berpasangan

Oleh: Tony Rosyid

Jokowi

eQuator.co.id – Ada tiga kelemahan Jokowi. Pertama, sering melakukan langkah blunder. Mulai dari memberi dukungan “all out” kepada Ahok di pilgub DKI, sampai tragedi GBK.

Kedua, buruknya komunikasi dengan semua simpul bangsa, terutama umat Islam. Pola memukul, itulah kesan yang nampak di mata publik. Efektif untuk dukungan parpol, tapi tidak untuk menaikkan elektabilitas. Menyadari kegagalan ini, mulai ada tanda-tanda perubahan strategi. Upaya istana mengajak Anies di sejumlah kunjungan hari senen kemarin adalah bagian yang dibaca publik sebagai “keinsafan strategi” yang selama ini telah men-“downgrade” elektabilitas. Begitu juga manuver PDIP untuk mendekati dan merayu Prabowo. Himbauan PDIP kepada istana untuk merangkul Habib Rizieq, meski terasa janggal, juga bagian dari ikhtiar persuasif. Semua langkah ini dapat dibaca sebagai bagian dari perubahan strategi dari “hard strategi” ke “soft strategi.” Akan berhasilkah?

Ketiga, prestasi kerja dan pilihan kebijakan. Sulitnya ekonomi, menyempitnya lapangan kerja, terus menerus dicabutnya subsidi, terutama listrik dan BBM, masifnya impor urusan pangan, belum efektifnya infrastruktur sebagai proyek andalan, hingga banjirnya pekerja China yang dianggap telah mengancam kedaulatan bangsa terus menggerus elektabilitas.

Elektabilitas Jokowi makin Jeblok. Median merilis tinggal 35%. Survey Indobarometer tinggal 32%. Kalau Zaadit memberi kartu kuning, maka Median menilai sudah lampu kuning. Potensial merah. Padahal, belum ada penantang yang muncul. Hanya Prabowo yang membuntuti. Meski tokoh bangsa yang satu ini belum tentu nyalon.

Ada 65-68% rakyat belum /tidak memilih Jokowi. Ingin presiden baru. Presiden alternatif. Presiden yang bisa memberi perubahan dan membuat bangsa ini lebih tenang.

Posisi elektabilitas Jokowi merangsang datangnya para penantang baru. Syaratnya, pertama, tidak punya masalah hukum. Kedua, punya elektabilitas yang potensial untuk naik.

Dari sejumlah tokoh yang disurvei, selain Prabowo Subianto, ada dua nama besar yang potensial. Yaitu Anies Rasyid Baswedan dan Gatot Nurmantyo. Jika kedua nama ini disandingkan, sulit membayangkan Jokowi bisa menang.

Pertama, sama-sama antitesa Jokowi. Meski Gatot kabarnya sempat berharap menjadi cawapresnya Jokowi, tapi kesediaannya untuk mendampingi Anies akan menutup lembaran masa lalunya itu. Bahasa agamanya: dimaafkan.

Kedua, setelah Prabowo, elektabilitas keduanya paling tinggi diantara penantang Jokowi. Trend elektabilitas Anies dan Gatot terus naik. Terutama Anies yang posisi dan kinerjanya selalu memiliki daya tarik media.

Ketiga, Anies dan Gatot sama-sama diberhentikan oleh Jokowi. Anies diberhentikan dari jabatan menteri pendidikan dan kebudayaan, Gatot dari panglima TNI. Keduanya diberhentikan saat pamornya sedang naik. Publik bertanya: ada apa? Muncul banyak spekulasi soal ini. Diberhentikannya Anies dan Gatot menandai hubungan yang tidak sejalan dengan -dan dikehendaki oleh Jokowi.

Keempat, kedua tokoh ini saling melengkapi jumlah pemilih yang menginginkan hadirnya pemimpin baru. Rising star. Karena keduanya merepresentasikan sipil-militer.

Kelima, dukungan nasionalis-religius diprediksi kuat akan bersatu mendukung pasangan ini. Kelompok Islam ABJ dan kelompok nasionalis non merah (PDIP cs) seolah menemukan bahtera harapannya kepada Anies-Gatot.

Kenapa Anies-Gatot, bukan Gatot-Anies? Pertama, Anies tidak punya latarbelakang masalah dengan umat. Justru hubungannya dengan umat sedang sangat dekat, selain dengan semua simpul masyarakat yang lain. Sementara Gatot oleh sejumlah pihak dianggap punya catatan.

Kedua, Anies punya panggung. Sebagai gubernur DKI akan selalu ada branding berjalan. Alamiah. Karena posisinya menjadi magnet media. Gatot sudah pensiun di bulan maret.

Ketiga, Anies lebih dekat secara emosional dengan Gerindra, PKS dan PAN. Ini terjalin sejak ketiga partai tersebut mengusung Anies jadi gubernur DKI. Komunikasi Anies dengan tiga partai tersebut akan lebih cair dan mudah diterima.

Keempat, Anies punya kecerdasan oral. Ini penting untuk menghadapi media dan tiga kali debat kandidat. Pengaruhnya ke publik dan elektabilitas akan sangat signifikan.

Acara debat terbukti menjadi variabel penting kemenangan Anies vs AHY dan juga Ahok saat pilgub DKI. Pasangan Anies-Sandi yang elektabilitasnya paling buncit bisa merangkak naik pasca debat.

Pasangan Anies-Gatot diasumsikan paling ideal. Tetapi, kemungkinan berubah tetap ada. Bisa jadi hadirnya Ahmad Heryawan, Zulkifli Hasan, Muhaimin Iskandar dan Tuan Guru Bajang, atau tokoh-tokoh lain, bisa menggeser peta berpasangan jika para tokoh tersebut intens melakukan branding. Apalagi jika istana memberi umpan dengan langkah blunder yang selama ini dilaluinya. Kemana umpannya? Dewi fortuna akan berpihak.

Persoalan yang harus dihadapi untuk memasangkan kedua tokoh potensial ini yaitu Anies-Gatot adalah pertama, sosok Prabowo. Tokoh kharismatik ini sedang menghitung langkahnya, apakah mau maju sendiri, atau pasang calon. Cukup menjadi “King Maker,” sesuai rekomendasi sejumlah lembaga survei, atau menuruti desakan kader partai Gerindra yang sangat masif.

Sebagai seorang negarawan yang sangat berpengalaman, Prabowo punya insting dan kalkulasi yang matang. Banyak pihak di luar partai Gerindra, termasuk sejumlah tokoh dan lembaga survei merekomendasikan Prabowo menjadi “King Maker”.

Kedua, partai politik. Gerindra-PKS-PAN, apakah legowo tidak mendapat jatah cawapres? Dalam konteks ini Kalkulasi kemenangan koalisi mesti menjadi prioritas dari pada ego partisan. Apalagi jika semangat ideologisnya adalah melahirkan “Indonesia Baru.”

Kecermatan berkalkulasi koalisi partai oposisi ini akan sangat menentukan tidak saja nasib partai-partai tersebut, tapi juga rakyat dan bangsa Indonesia kedepan.

 

*Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa,

Direktur Graha Insan Cendekia