eQuator.co.id-PONTIANAK-RK. Begitu luar biasanya peredaran narkotika di Indonesia sehingga berbagai modus harus diwaspadai. Salah satunya, dicampur ke makanan.
“Tapi, dari informasi berbagai instansi, Dinas Kesehatan dan BPOM, sampai hari ini belum ada,” ujar Penjabat (Pj.) Kepala Badan Nasional Narkotika Provinsi (BNNP) Kalbar, M. Ekasurya Agus, kepada beberapa wartawan di ruang kerjanya, Selasa (27/2) sore.
Namun demikian, ia tak menutup kemungkinan hal itu bisa terjadi. Disusupkan dalam makanan maksudnya adalah makanan diolah sedemikian rupa berbahan narkotika. Contohnya, brownies ganja, permen susu mengandung narkotika, atau lolipop yang pernah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia beberapa waktu lalu.
“Para bandar akan berupaya mencari cara untuk mengedarkan narkotika ini,” ucapnya.
Setakat ini, menjual sabu atau ganja dalam bentuk mentah (konvensional) mudah kelihatan. Kata dia, gampang diendus oleh pihaknya.
“Jadi dibuatlah dalam bentuk makanan yang disamarkan,” tukas Agus.Hal ini, ia menyatakan, semakin membuat aksi penyelundupan narkotika mengerikan. Sebab, sasarannya tidak lagi orang dewasa. Melainkan turut menyasar anak-anak.
“Akhirnya (anak-anak,red) itu dimanfaatkan karena kecanduan. Boleh mendapatkan barang itu asalkan ikut memasarkan barang tersebut atau jadi kurir,” bebernya.
Belum lagi, ada beda penanganan anak di bawah umur yang melakukan tindak kriminal dengan yang sudah dewasa. Celah inilah yang dimanfaatkan para penjahat candu.
Meski begitu, menurut Agus, sejak 2016 hingga saat ini belum ada kasus anak di bawah umur digunakan sebagai kurir narkotika. “Paling remaja-remaja tanggung, memanfaatkan remaja karena pola pikir mereka masih labil,” ungkap dia.
Dalam menanggulangi penyalahgunaan narkotika, BNNP Kalbar menggunakan dua metode. Yaitu Demand dan Supply Reduction (mengurangi permintaan dan suplai).
Demand reduction, dikatakannya, adalah mengurangi, mereduksi keinginan pengguna untuk memakai narkotika. Upaya pencegahan ini salah satunya melalui advokasi dan sosialisasi. Ada juga pemberdayaan masyarakat bekerja sama dengan stakeholders lainnya seperti Kepolisian, TNI, Pemerintah Daerah, dan Kemenkumham.
Masyarakat yang disasar dalam program pemberdayaan, merupakan warga yang tidak mengkonsumsi narkotika secara langsung. Namun, tetap ikut andil dalam peredaran narkotika. Contohnya masyarakat yang membuat dan menjual bong (alat isap sabu).
“Kita alihkan, jadi mereka yang mendapatkan penghasilan dari penjualan bong bawa ke kegiatan yang lebih produktif, misalnya membuat karangan bunga, beternak, atau budidaya ikan sesuai dengan kemampuan dan keahlian mereka,” ucap Agus. Menyikapi persoalan demand ini, ia mengajak masyarakat yang sebelumnya apatis untuk melek informasi tentang bahaya Narkoba.
Sedangkan supply reduction tak lain tak bukan upaya pemberantasan narkotika dengan tindakan tegas. Pencegahan dan pemberantasan ini keduanya sama berjalan.
“Karena bagaimanapun kalau melihat kondisi saat ini, supply ada, demand juga ada,” jelasnya.
Terpisah, rentetan penggagalan kapal berton-ton sabu menimbulkan kekhawatiran. Apa sebenarnya yang perlu diperbaiki untuk mencegah kapal bermuatan barang haram. Ditjen Bea Cukai menemukan salah satu masalah yang kemungkinan besar memicu mudahnya kapal masuk secara ilegal. Yakni, tidak ditaatinya automatic identification system (AIS).
Kepala Seksi Penindakan Narkotika, Ditjen Bea Cukai, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Junanto Kurniawan, menjelaskan saat ini yang diperlukan adalah mendorong setiap pemilik kapal untuk mematuhi penyalaan AIS. AIS merupakan alat yang digunakan untuk mengidentifikasi kapal.
”Untuk berbagai tujuan seperti penyelamatan dan keamanan,” jelasnya.
Masalahnya, kapal yang masuk ke Indonesia belum patuh untuk menyalakan AIS. Mereka hanya sekenanya dan menganggap tidak penting.
”Kondisi ini berbeda dengan di Singapura,” paparnya ditemui di Kantor Direktorat Tindak Pidana Narkoba di Cawang, kemarin.
Kebijakan di Singapura untuk AIS ini begitu tegas. Seperti, denda USD 2.000 dan larangan masuk Singapura selamanya untuk kapal yang tidak menyalakan AIS. Karena itu, kapal asing yang masuk wilayah Laut Singapura mematuhinya.
”Kalau tertangkap tidak menyalakan AIS, mereka bakal terkena sanksi permanen,” jelas Junanto.
Aturan lain yang diterapkan Singapura adalah membatasi kecepatan kapal. Dia menuturkan, aturan semacam ini membantu untuk petugas dalam mengejar kapal.
”Kami berharap kebijakan ini bisa diterapkan di Indonesia,” pintanya.
Namun, Direktur Perkapalan dan Kepelautan, Kementerian Perhubungan, Junaidi, menolak jika pihaknya dikatakan belum membuat aturan terkait AIS. Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub sudah mengeluarkan surat edaran tentang AIS ini pada 19 Januari 2016 lalu.
”Aturannya sudah dibuat sejak lama,” ujarnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin.
Bahkan, jika tidak mematuhi aturan, pihaknya sudah menyiapkan sanksi. Misalnya, jika ketahuan tidak boleh berlayar. AIS harus dipasang di kapal yang memenuhi persyaratan Safety of Life at Sea. Selain itu alat tersebut digunakan untuk kapal penumpang maupun kapal barang.
”Bahkan pada sekoci atau kapal penolong juga harus diberikan AIS,” jelas Junaidi.
Di darat pun, kata dia, Ditjen Perhubungan Laut telah memastikan jika pengawasan dilakukan hingga ke pelabuhan. Setiap kapal yang akan bersandar maupun berlayar harus lapor. Sehingga pelabuhan pun tahu apa muatan kapal tersebut.
”Kalau ada petugas yang main-main, ada sanksinya pula,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Dittipid Narkoba Bareskrim, Brigjen Eko Daniyanto, menegaskan bos sindikat sabu yang sudah berulang kali masuk ke Indonesia itu diketahui bernisial L.
”Kami koordinasi dengan kepolisian Tiongkok. Semoga secepatnya bisa ditangkap,” jelasnya. Sebelumnya, Kapal asal Taiwan ditangkap dengan empat awak kapal asal Taiwan. Kapal tersebut bermuatan 1,6 ton sabu asal negeri produsen barang KW tersebut.
Laporan: Ambrosius Junius, Jawa Pos/JPG
Editor: Mohamad iQbaL