eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Pemerintah mewacanakan pemotongan gaji untuk zakat bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) beragama Islam. Meski belakangan rencana yang menuai pro dan kontra itu diralat sasarannya, tetap saja jadi perbincangan luas.
Ketika dimintai tanggapannya, Wali Kota Pontianak, Sutarmidji menyatakan, zakat ada aturannya. Apakah sudah cukup nisabnya atau belum. Kalau tidak cukup nisab, berarti bukan zakat.
“Itukan harus harta yang sudah satu tahun minimal, sudah menjadi hak kita selama satu tahun,” katanya, Kamis (8/2).
Wali Kota dua periode yang karib disapa Midji ini malah bertanya, mengapa tidak digalakkan infak dan sedekah. Menurutnya, itu lebih pas dibandingkan memaksakan dengan zakat.
“Paling pas menurut hukum agama itu infak dan sedekah, bukan zakat potong gaji dan lain sebagainya,” ujar dia.
Sebenarnya, ia melanjutkan, Pontianak sering menerapkan pemungutan infak dan sedekah kepada ASN dan pejabat Pemkot. Tapi tidak ambil dari gaji, melainkan honor. Dirinya sendiri biasanya dipotong 50 dan 25 persen, sedangkan Wakil Wali Kota 20 persen.
“Tidak hanya itu, Persipon dan Masjid pernah dibiayai lewat infak dan sedekah. Kegiatan sosial keagamaan juga dibiayai, tapi dikelola dibagian sosial,” ungkap Midji.
Pemkot Pontianak kata dia, juga pernah membiayai pembangunan Masjid Raya Mujahidin hingga Rp1 miliar untuk tempat wudhu dan lain sebagainya. “Kami urunan di situ. Memang biayanya lebih besar, tapi urunan kami sampai Rp1 miliar, hanya lewat infak dan sedekah,” tuturnya.
“Wacana ini masih akan ada setuju dan tidak setuju, karena syarat zakat mal itu hisabnya harus sudah dimiliki satu tahun. Tapi tidak tahu kalau tafsiran-tafsiran lain. Tapi tafsir yang saya pelajari begitu. Infak dan sedekah tidak boleh ditentukan besarannya,” sambung Midji.
Berbeda dengan Pemerintah Kabupaten Kubu Raya yang seperti oke dengan wacana ini. Peraturan Bupati (Perbup) Kubu Raya tentang Zakat untuk ASN akan dibuat. Perbup merupakan payung hukum bagi ASN untuk menyalurkan zakat.
“Makanya nanti seluruh pegawai bisa menyalurkan zakatnya setiap bulan 2,5 persen dipotong dari gaji,” ujar Pelaksana Tugas (Plt) Sekda Kubu Raya, Odang Prasetyo, Kamis (8/2).
Sekda menjelaskan, nantinya penggunaan zakat tersebut untuk kemaslahatan umat. Mulai dari pembangunan tempat ibadah, bantuan kelompok kerohanian, UMKM dan lain sebagainya.
“Sedangkan pengelolaannya akan diserahkan kepada lembaga yang berkompeten. Seperti Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) Kubu Raya,” tuturnya.
Melalui Perbup ini diperkirakan potensi zakat yang dapat diperoleh minimal Rp5,4 miliar per tahun. Dengan asumsi rata-rata gaji Rp3 juta/bulan x 2,5 persen = Rp75.000/orang/bulan x 12 bulan = Rp900.000 x 6.000 pegawai = Rp5,4 miliar.
Zakat akan dikumpulkan oleh masing-masing Unit Pengumpul Zakat (UPZ) yang ada di setiap dinas atau badan. “Namun untuk bagaimana sistem dan konsepnya, kita akan kumpulkan lagi semua pihak termasuk dari Baznas supaya ini bisa berjalan dengan baik,” ulas Sekda.
Sebelumnya, Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin meluruskan kabar pemotongan gaji ASN untuk membayar zakat ini. Dia menegaskan, penggunaan istilah pemotongan gaji tidak tepat. Sebab pembayaran zakat untuk para PNS tetap bersifat sukarela dan bukan atas dasar paksaan.
Dia menerangkan, rencana soal pembayaran pajak melalui gaji PNS itu masih wacana dan terus digodok oleh Kemenag. Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu mengatakan pada prinsipnya pemerintah ingin mengoptimalkan pembayaran zakat oleh para PNS.
’’Pembayaran zakat melalui gaji PNS ini bukan hal baru,’’ kata dia, belum lama ini.
Dijelaskannya, beberapa pemerintah daerah, bahkan Kemenag, sudah menerapkan pembayaran zakat melalui gaji langsung. Hanya saja pemerintah ingin ada aturan sehingga upaya penggalangan zakat dari para ASN itu lebih terintegrasi dan optimal.
Menurut Lukman, pembayaran zakat melalui gaji para ASN itu tetap dilakukan sesuai dengan kaidah agama. Ketentuan pertama ASN itu beragama Islam. Kemudian didasari oleh rasa sukarela atau tanpa paksaan. Lalu juga sudah sesuai dengan ketentuan nisab dan haul.
Lukman mengatakan nisab zakat penghasilan sekitar Rp 4,1 juta/bulan. Jadi PNS yang mendapatkan gaji bulanan minimal Rp 4,1 juta itulah yang nantinya bisa ikut membayar zakat melalui gajinya langsung. Sementara bagi PNS atau ASN lain yang gajinya kurang dari RP 4,1 juta/bulan, belum sesuai dengan ketentuan nisab berzakat.
Kemudian Lukman menegaskan nantinya PNS yang bersedia gajinya dikurangi langsung untuk membayar zakat, menyatakan kesediaannya secara tertulis. ’’Tidak sembarangan memotong,’’ katanya. Begitupula dengan PNS yang tidak bersedia atau keberatan dengan pembayaran zakat secara langsung melalui gaji, juga mengajukan keberatan tertulis.
Lukman menegaskan yang dilakukan pemerintah adalah memfasilitasi pelaksanaan ibadah berzakat. Bukan untuk masuk terlalu dalam mengurusi urusan ibadah yang bersifat personal atau privat. Dia lantas menyamakan dengan ibadah haji, yang sama-sama bersifat ibadah persoalan.
“Bukan Kemenag yang mewajibkan haji. Tapi Kemenag memfasilitasi umat untuk berhaji,’’ jelasnya.
Nantinya dana yang terkumpul tetap akan dikelola oleh Baznas. Baznas berhak mengelola dan menyalurkan hasil zakat dari para ASN itu sesuai dengan ketentuannya. Lukman menaksir potensi zakat dari para ASN mencapai Rp 10 triliun/tahun. Uang hasil pengumpulan zakat ini bisa digunakan untuk program pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan dan lain sebaginya.
Ketika ada dana dari zakat, apakah alokasi anggaran kesejahteraan rakyat oleh APBN bakal dikurangi? Lukman dengan tegas menampiknya.
’’Tentu tidak,’’ katanya. Dia mengungkapkan dana APBN yang ada saat ini saja belum cukup untuk memenuhi program kesejahteraan rakyat. Baik itu untuk kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan sosial lainnya.
Nah dengan adanya dana segar dari zakat PNS itu, bisa ikut berkontribusi untuk program-program sosial. Seperti di bidang pendidikan untuk membangun madrasah-madrasah.
“Sama sekali bukan mengurangi kewajiban pemerintah,’’ pungkasnya.
Suara penolakan terhadap rencana ini datang dari Nahdlatul Ulama (NU). Sekjend PBNU Helmy Faishal Zaini mengatakan bahwa zakat merupakan urusan pribadi setiap muslim. Sama dengan puasa dan salat.
”Sebaiknya diserahkan pada masing-masing individu. Negara tidak perlu memaksa-maksa,” katanya.
Menurut Helmy, pemerintah harusnya lebih konsen membenahi mekanisme dan transparansi pengelolaan dana zakat yang telah terkumpul. Selama ini banyak dana-dana zakat yang tidak jelas mengalir kemana. Kalau dibiarkan, akan jadi masalah besar.
”Belum lagi, setiap ASN mungkin sudah punya pos-pos mustahiq sendiri,” ungkap mantan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) ini.
Kalaupun pemerintah tetap bersikukuh untuk menerapkan pemotongan, lebih baik pemotongan tersebut dimasukkan sebagai bagian dari pajak penghasilan. “Bayar zakat untuk PNS bisa dikonversi sebagai bagian dari pajak penghasilan,” pungkasnya.
Laporan: Maulidi Murni, Syamsul Arifin, Jawa Pos/JPG
Editor: Arman Hairiadi