BMKG Kalbar: Tinggi Ombak Singkawang-Sambas 0,5-3 meter

Gelombang Pasang, Warga Jawai Laut Mengungsi

BENCANA AKHIR TAHUN. Kondisi rumah warga di Dusun Ramayadi, Desa Jawai Laut, Kecamatan Jawai Selatan, Kabupaten Sambas, yang terancam disapu gelombang pasang laut, Kamis (21/12). Sairi-RK

eQuator.co.id – SAMBAS-RK. Kondisi alam di akhir tahun memburuk bagi sejumlah warga pesisir. Dihantam gelombang pasang, warga Dusun Ramayadi, Desa Jawai Laut, Kecamatan Jawai Selatan, Kabupaten Sambas, terpaksa mengungsi.

“Terdapat enam unit rumah yang berada di pinggir pantai, yang ini sudah ditinggal pemiliknya,” tutur Alfarizzy, warga Dusun Ramayadi, seraya menunjuk sebuah rumah di sana, Kamis (21/12).

Enam rumah yang ditinggalkan penduduk tersebut mengalami kerusakan akibat diterjang gelombang pasang laut. Jumlah penduduk setempat yang mau tak mau pindah ke tempat yang lebih aman mencapai 30 orang sejak empat hari lalu.

“Kondisi memang sudah tidak lagi aman, sehingga enam kepala keluarga tersebut terpaksa menumpang di rumah keluarganya masing-masing,” terang Alfarizzy.

Hampir setiap tahun masyarakat di dusun tersebut berhadapan dengan kondisi itu. Tahun ini yang terparah.

“Sehingga harus mengungsi,” ungkapnya. Selain enam rumah yang telah mengalami kerusakan, terdapat pula belasan rumah  yang berpotensi tersapu gelombang pasang. “Termasuk rumah saya,” ujar Alfarizzy.

Menurut dia, sebenarnya bencana tersebut dapat diminimalisir dengan pemasangan pemecah ombak. “Agar tidak lagi menyapu rumah warga,” jelasnya.

Pengukuran oleh pihak terkait sudah dilakukan untuk membangun pemecah ombak itu. Hanya saja, Alfarizzy menyebut, sampai kini belum juga direalisasikan.

“Kami sudah meminta kepada pemerintah untuk mengatasi masalah ini, karena kalau mau pindah rumah tidak ada tempat lain,” pungkas dia.

Terpisah, Badan Meteorologi, Klimatolotologi, dan Geofisika (BMKG) Maritim Kalimantan Barat memprediksi gelombang pasang sedang hingga gelombang tinggi tersebut akan berlangsung sepekan kedepan. “Singkawang hingga Pemangkat selalu tinggi. Minggu ini (ada) turun sebentar, nanti berlanjut gelombang sedang hingga tinggi,” ujar Prakirawan BMKG Maritim Kalimantan Barat, Mara Sahran Hasibuan, tadi malam.

Berdasarkan pantauannya, Kamis (21/12) hingga hari ini (Jumat,22/12), ketinggian ombak, mulai dari arah Singkawang ke Sambas antara 0,5-3 meter. Kondisi ini, disampaikan Mara, masih dalam kategori gelombang sedang.

“Akan berlanjut hingga tanggal 24 Desember. Setelah itu ketinggiannya menurun antara 2-2,5 meter,” terangnya.

MENURUN 4,7 %

DIBANDING TAHUN LALU

Di sisi lain, dalam catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang tahun 2017, Indonesia dihantam bencana 2.271 kali. Menelan sedikitnya 372 korban jiwa dengan kerugian mencapai triliunan rupiah. Penyebabnya bukan gejala alam yang tidak bisa diprediksi, namun degradasi ekologis dan minimnya kesiapan masyarakat.

Dalam rilis yang disampaikan BNPB kemarin (21/12), dari 2.721 bencana tersebut, 93 persen didominasi oleh bencana Hidrometerologi. Yakni hujan lebat disertai angin dan petir, banjir, tanah longsor, Bencana lain yang terjadi adalah gempa, gunung meletus, kekeringan, dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Bencana-bencana tersebut menyebabkan 372 orang meninggal dunia, serta membuat 3,45 juta jiwa mengungsi. Merusak 44.539 unit rumah dan 1.999 unit fasilitas umum (fasum). Dengan longsor sebagai bencana yang paling mematikan, korban jiwanya sebanyak 156 orang.

Menurut Kepala Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, secara statistik, intensitas bencana menurun 4,7 persen dibandingkan tahun 2016. Jumlah korban meninggal dan hilang turun ke angka 36 persen, kerusakan bangunan turun 8 persen. Hanya jumlah korban yang mengungsi dan menderita yang naik menjadi 9 persen.

Secara umum, Sutopo menyebut gejala alam dan siklus cuaca selama 2017 dan 2018 juga normal-normal saja. Cuma tercatat siklon cempaka yang mengirimkan hujan lebat ke wilayah selatan Jawa pada akhir November yang terbilang aneh.

Menurut dia, secara teori, siklon tropis hanya terbentuk di atas 10 derajat Lintang Utara (LU) atau di 10 derajat di bawah Lintas Selatan (LS). “Yang kemarin ini aneh, cuma 23 kilomter di selatan Pacitan,” katanya.

Jika siklus cuaca normal, mengapa bencana merenggut begitu banyak korban dan menyebabkan kerugian? “Karena masih rendahnya budaya masyarakat yang sadar bencana,” kata Sutopo. Selain itu, infrastruktur penanggulangan bencana masih minim, seperti penelitian, pemetaan dan early warning system.

Pemerintah daerah, kata Sutopo, juga kurang memperhatikan pengaturan tata ruang yang kompatibel dengan penanggulangan bencana. Masyarakat juga banyak yang masih tinggal di kawasan rawan bencana.

“Entah itu karena tidak mampu atau tidak mau pindah ke tempat yang lebih aman,” tuturnya.

Ada juga beberapa faktor lain. Antara lain laju deforestasi yang semakin cepat dari tahun ke tahun, Daerah Aliran Sungai (DAS) yang semakin kritis, serta perubahan iklim global.

Pada 2018 nanti, lanjut Sutopo, Indonesia diprediksi masih akan dihantam bencana tidak kurang dari 2.000 kali. Kelompok banjir, tanah longsor, dan puting beliung diperkirakan akan menyerang sepanjang Januari hingga April.

Setelah itu, mulai Juni hingga Oktober, ganti kekeringan dan Karhutla yang mengintai. Barulah memasuki akhir tahun, tepatnya November hingga Desember, banjir dan kawan-kawannya akan kembali menyerang.

“Sementara untuk gempa dan tsunami potensi kerawanannya terjadi sepanjang tahun,” jelas Sutopo.

Agar bisa melakukan aksi tanggap dan penanggulangan, ia menyatakan, BNPB butuh setidaknya Rp15 triliun. Dana ini juga digunakan untuk bantuan, pemulihan kembali fisik dan kegiatan ekonomi masyarakat pascabencana.

Sedangkan anggaran penanggulangan bencana yang dialokasikan APBN untuk BNPB pertahun cuma Rp1,2 triliun. “Itupun tahun ini berkurang sampai Rp700 miliar,” bebernya.

Sebenarnya ada dana cadangan di Bendahara Umum Negara sebesar Rp4 triliun. Namun, pencairannya harus melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Untunglah, masih ada bantuan dari organisasi nonpemerintah yang tanggap bencana.

Kas daerah pun tidak bisa diharapkan. Berdasarkan catatan Sutopo, perdaerah di Indonesia hanya mengalokasikan kira-kira 0,5 persen APBD untuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

“Apalagi sebentar lagi ada Pilkada, pasti akan semakin berkurang,” tutup dia.

 

Laporan: Sairi, Fikri Akbar, JPG

Editor: Mohamad iQbaL