Produk Dalam Negeri Ditinggalkan Warga Perbatasan

Murah dan Mudah Didapat, Made in Malaysia Jadi Pilihan

GAS MALAYSIA. Terlihat tabung gas produksi Malaysia yang dijual pada toko di wilayah perbatasan RI-Malaysia Kecamatan Batang Lupar. Dok

Produk-produk asal Malaysia membanjiri kawasan perbatasan di Kabupaten Kapuas Hulu. Sehingga tidak heran, masyarakat di sana sangat familiar dengan produk berlabel Made in Malaysia.

Andreas, Putussibau

eQuator.co.id – Penggunaan produk asal negeri Jiran bukan hal baru bagi masyarakat perbatasan Kapuas Hulu. Sudah lama masyarakat begitu akrab dengan produk Malaysia. Baik itu bahan kebutuhan pokok seperti makanan, minuman, gas dan lainnya.

Pilihan tersebut sangat wajar. Selain mudah didapat, harganya juga murah. Sehingga masyarakat perbatasan lebih senang membeli produk negeri Jiran.

Di Kecamatan Batang Lupar misalnya, tepatnya di Desa Sepandan dan Lanjak Deras. Masyarakat lebih familiar dengan barang-barang Malaysia. Batang Lupar ini merupakan kecamatan lini 1 yang berbatasan langsung dengan Malaysia. “Barang yang kami beli ini kebanyakkan dari daerah Lubuk Antu Malaysia, tapi kami tidak bisa beli langsung, namun harus menggunakan jasa ojek mobil lagi,” kata Asep, salah seorang pedagang Sembako di Desa Sepandan belum lama ini.

Asep bukan tidak mau memasok barang Indonesia ke tokonya. Namun masyarakat perbatasan sudah terbiasa dengan produk Malaysia. Selain murah, produk Malaysia juga mudah didapat dibanding dengan barang dalam negeri.

Pasokan produk Made in Indonesia di Desa Sepandan memang relatif kurang. Untuk mendapatkannya, masyarakat harus berbelanja ke Kabupaten Sintang. Sementara jarak tempuh ke kabupaten tetangga Kapuas Hulu itu cukup jauh. “Harganya pun lebih mahal dari barang Malaysia,” jelasnya.

Asep memastikan, bukan dirinya saja yang menjual produk Malaysia. Sebab di Kapuas Hulu ada lima kecamatan yang berbatasan langsung dengan Malaysia. “Di perbatasan inikan ada lima kecamatan yang boleh menjual barang Malaysia yakni Badau, Puring Kencana, Empanang, Batang Lupar dan Embaloh Hulu,” terang Asep.

Warga perbatasan lebih mengenal produk asal negeri Jiran diakui sendiri oleh Erdi. Warga Desa Sepandan ini bahkan tidak heran jika produk Made in Malaysia lebih diburu ketimbang barang-barang ddalam negeri. Bahkan masyarakat perbatasan sudah ketergantungan dengan produk negara seberang. Baik telur, daging, makanan ringan, minuman dan lainnya. “Kalau pun ada barang Indonesia, belum tentu masyarakat membelinya, karena harganya mahal,” ucap Erdi.

Sementara itu, Sekretaris Dinas Koperasi, UKM dan Perdagangan (Diskumdag) Kapuas Hulu Serli mengatakan, memang sudah ada aturan khusus dari pemerintah pusat, di mana masyarakat perbatasan diberi toleransi untuk belanja ke Malaysia. Namun per orang nilainya tidak lebih dari 600 RM per bulan. Kebijakan tersebut berlaku untuk warga di lima kecamatan lini satu perbatasan di Kapuas Hulu. Yaitu Kecamatan Embaloh Hulu, Batang Lupar, Badau, Empanang dan Puring Kencana.

“Untuk lima kecamatan perbatasan kalaupun banyak barang beredar dari Malaysia itu ada semacam aturan pemerintah pusat yang belum dicabut sampai sekarang, yakni 600 ringgit Malaysia, per orang untuk berbelanja ke Malaysia. Mereka belanja datang ke PLBN (Pos Lintas Batas Negara) di karantina di cek, sesuai dengan jumlah dan persyaratan dan sebagainya maka bisa lolos,” terangnya.

Contoh daging beku baik sapi, ayam dan lainnya diakuinya cukup dominan di pasar daerah perbatasan. Di PLBN Badau sudah ada petugas  karantina. Produk tersebut masuk di freezer (mesin pendingin) berarti sudah memenuhi ketentuan standar. “Kalaupun mereka belanja di atas 600 ringgit, misal hari ini belanja daging, besok yang lain belanja lagi berarti banyaklah jumlahnya, karena ketentuan belanja 600 ringgit kan belum di cabut,” ujar Serli.

Namun jika barang tersebut beredar secara ilegal atau diselundupkan di luar lima kecamatan perbatasan itu, Serli menegaskan sesuai kewenangan pihaknya hanya bisa melakukan pengawasan. Namun untuk penindakan perlu kerja sama lintas sektoral.

“Kami berkewenangan hanya mengawasi dan perlu konfirmasi dengan instansi lainnya untuk menarik peredaran barang tersebut. Itu perlu kerjasama dengan instansi lainnya, karena fungsi kami sejak terbentuknya OPD (Organisasi Perangkat Daerah) yang baru sesuai kewenangan yang diserahkan ke daerah, kami sistemnya hanya wajib lapor kepada Pemprov melalui Dinas Perdagangan,” paparnya. (*)

 

Editor: Arman Hairiadi