Juru parkir (Jukir) masih kerap dianggap sebelah mata oleh kebanyakan orang. Belum lagi soal konotasi negatif yang mereka terima, berpenampilan lusuh, tak berpengalaman, dicurigai dan sebagainya.
Suci Nurdini Setiowati, Bengkayang
eQuator.co.id – Luasnya sebuah kota atau kabupaten menjadi sempit dengan semakin banyaknya kendaraan. Kondisi semrawut akibat berjejalnya kendaraan mengakibatkan kemacetan di pusat-pusat bisnis dan perbelanjaan. Pada posisi ini, kehadiran Jukir sebagai elemen kecil dari keberlangsungan ekonomi tidak bisa dipandang sebelah mata.
Di Kabupaten Bengkayang misalnya, terdapat sedikitnya 20 titik pusat keramaian yang membutuhkan tenaga Jukir. Baik di pasar, rumah sakit, wilayah perkantoran, bank-bank, area gedung sewa yang biasa dijadikan tempat resepsi pernihakan, ATM dan lain sebagainya. Lahan parkir ini rata-rata sepanjang antara 30-50 meter.
Dengan luasan tersebut, setidaknya membutuhkan dua sampai tiga orang Jukir untuk satu lokasi. Tidak asal, mereka pun rutin menunaikan kewajiban harian dengan membayar sebesar Rp10.000-Rp20.000 kepada Dinas Perhubungan setempat. Setoran tersebut tentu saja menjadi bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bengkayang.
Kendati tidak semua sama, penghasilan Jukir tidak bisa dianggap enteng. Seperti di Jalan Pasar Tengah Bengkayang, per hari mereka bisa meraup Rp350.000. Kalau dikalkulasikan, satu bulan penghasilan yang diperoleh Rp 10.500.000. Ini sudah termasuk potongan Rp.20.000 per hari kepada Dinas Perhubungan Bengkayang.
Belum lagi kalau ada perayaan hari-hari besar keagamaan. Penghasilan mereka akan meningkat drastis. Padahal Jukir ini hanya bekerja sekitar empat jam. Pasalnya, di kawasan tersebut ada tiga orang Jukir dengan sistem ganti shiff dari pukul 05.00-17.00 Wib.
“Kadang-kadang pas, kadang-kadang ada lebihnya disimpan untuk masa depan,” ujar Paulus, 32, salah seorang Jukir di Jalan Pasar Tengah Bengkayang kepada Rakyat Kalbar, Selasa (14/11).
Paulus, sudah empat tahun menjadi Jukir. Penghasilan sebagai Jukir ini ternyata mampu menghidupi istri dan tiga anaknya. Termasuk membiayai pendidikan anak-anaknya.
“Anak saya yang pertama kelas 3 SD, anak kedua kelas 2 SD. Terus yang paling kecil belum sekolah,” ujarnya.
Selagi masih mampu bekerja, Paulus tetap jadi Jukir. Dia bertekad mengumpulkan modal, untuk membuka usaha.
Penghasilan dari menata kendaraan agar rapi ini tidak sama setiap harinya. Kadang-kadang Jukir hanya mengantongi sekitar Rp50.000.
“Sedihnya kalau musim tanam padi, musim hujan, panen kebun, musim razia, kami sepi. Ini saja banyak yang tidak mau diparkir, jauh-jauh mereka parkir,” ujar Agus, 40, salah seorang Jukir lainnya di Pasar.
Tidak hanya itu, pria yang tinggal di Jalan Migang ini mengakui tidak jarang dirinya diperlakukan remeh oleh para pelanggan. Belum lagai risiko yang dihadapi selama menajdi Jukir. Agus pernah bolak-balik dipanggil polisi, hanya gara-gara kesalahan teknis.
“Pernah saya 4-5 jam ke kantor polisi, karena ketukar motornya sama, kuncinya dua,” kisahnya.
Agar kejadian sama tidak terulang, kini Agus memiliki trik tersendiri. Motor yang sama tidak ia sandingkan. “Banyak pula motor yang cuma (pakai sambungan) kabel-kabel gitu aja,” pungkas Agus.
Nah, bandingkan dengan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketujuh Belas Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977, gaji ASN mengalami kenaikan sebesar 6 persen di tahun 2015. Dimana gaji terendah ASN saat ini adalah Rp1.488.500 per bulan. Gaji pokok tersebut untuk ASN Golongan I a, dengan masa kerja 0 tahun. Sementara gaji pokok tertinggi ASN Rp5.620.300 per bulan untuk Golongan IV e dengan masa kerja 32 tahun. Dengan kerja 8 jam perhari dari pukul 08.00-16.00.
“Sukanya jadi PNS dapat gaji bulanan pasti, dapat tunjangan, pekerjaannya tetap. Gaji berkala saya sekarang Rp2.531.000. Gaji pertama dulu saya Rp2.400.000-an,” ungkap Sri Maryati, 25, Staf Bidang Pemerintahan Kecamatan Lumar Kabupaten Bengkayang.
Intinya, semua perekerjaan itu sama. Tidak ada kasta yang lebih rendah atau tinggi. Pekerjaan tidak diukur dengan apakah style pakaian yang dikenakan rapi atau tidak. Semua bidang pekerjaan, sampai yang terkecil sekalipun, memang harus ada orang yang mengerjakannya. Bagaimana masih ada yang meremehkan Jukir? (*)
Editor: Arman Hairiadi