Ternyata di Negara Semaju Singapura pun Ada Pengemisnya

Tim Kaltim Post Group Road to Singapura

JALAN-JALAN. Tim Kaltim Post Group ketika jalan-jalan di Singapura. Radar Sampit Photo

Terdampak roaming menjadi kendala saat berada di luar negeri, pun sulit mencari makanan yang cocok dengan lidah Indonesia. Berburu wifi dan hampir terbeli makanan nonhalal mewarnai liburan di Singapura.

DESI WULANDARI, Sampit

eQuator.co.id – Memasuki perairan Singapura, telpon genggam yang tadinya masih berbunyi tiba-tiba senyap. Pesan singkat dari provider masuk menawarkan paket data selama berada di luar negeri. Sinyal untuk menelpon dan mengirim pesan singkat masih bisa didapat, tapi biayanya mahal. Maklum, roaming.

Ternyata, saat berada di luar negeri, paket internet tidak dapat diakses. Untuk mengabari keluarga, terpaksa coba mengirim pesan. Sekali kirim, biayanya sekitar Rp6.000.

Lega rasanya ketika tiba di hotel. Jaringan wifi didapat. Empat hari di negeri orang tanpa jaringan internet? Hampa rasanya. Telpon seluler (Ponsel) pintar milik saya terus mengaktifkan wifi, sehingga saat ada jaringan wifi gratis langsung tersambung, wkwkw..

Untung, Singapura sangat maju. Di beberapa lokasi publik menyediakan wifi gratis yang dapat diakses. Untuk yang pernah ke luar negeri sudah mengantiipasi dengan membeli provider yang dapat diakses di Indonesia maupun di luar negeri.

Salah seorang rekan perjalanan ini coba membeli kartu dengan provider setempat. Maklum, sehari tidak terhubung dengan belahan jiwanya terasa suram. Nekat lah dia membeli kartu perdana provider Singapura seharga 20 SGD (sekitar Rp200 ribu) hanya untuk digunakan selama dua hari.

Tak hanya soal komunikasi, problem makanan yang layak dikonsumsi muslim juga saya alami. Makanan yang disajikan di sejumlah pujasera membuat bingung. Melihat makanan yang ada di atas meja pengunjung lain bikin ngiler. Tapi ketika ingin memesan yang sama, ternyata mengandung bahan nonhalal.

Hampir dua kali saya terbeli makanan nonhalal. Beruntung penjual makanan di sana jualan dengan fair. Bertanya terlebih dahulu apakah tidak masalah jika saya mengkonsumsi makanan nonhalal.

Harga makanannya terbilang mahal, kisaran Rp50-100 ribu perporsi. Saya sempat membeli mi sekitar 10 SGD. Seratus ribu Rupiah. Ternyata, tidak sesuai selera, terpaksa terbuang begitu saja.

Meski menemui sejumlah kesulitan, berada di negeri “Singa” tidak lah membosankan. Terutama di malam hari. Berjalan di sekitar kawasan Orchard Road sangat menyenangkan. Disuguhi keindahan, kerapian, keamanan dan kenyamanan. Warga Singapura yang wara wiri minikmati malam juga banyak terlihat santai duduk sembari ngobrol dengan koleganya.

Namun, saat asik bercerita dengan rombongan, tiba-tiba seorang laki-laki mendatangi kami. Dia  mencoba berkomunikasi dengan bahasa Mandarin dan bahasa Inggris. Eh, ternyata dia paham juga dengan bahasa Indonesia.

Laki-laki berkemeja putih tersebut ternyata seorang pengemis. Bukan main yang dia minta, uang 5 SGD. Dengan setengah memaksa pula. Jumlah itu sekitar lima puluh ribu rupiah. Saya berdecak heran, hebat juga pengemis di Singapura, mintanya lima puluh ribu rupiah. Di Indonesia, memberi pengemis sepuluh ribu rupiah saja sudah berasa banyak.

Pengemis di Singapura itu luar biasa. Mereka menguasai beberapa bahasa sehingga tidak kesulitan saat menhadapi siapapun yang mereka mintai uang. Kejadian tersebut sontak membuat kami tertawa dan menjadi guyonan.  (*/Radar Sampit/JPG/habis)