Oleh: Dahlan Iskan
Mantan CEO Jawa Pos
BEGINILAH ceritanya: mengapa teknologi penemuan ahli-ahli kita sendiri kalah dengan teknologi dari luar negeri. Teknologi temuan ahli kita kurang memiliki kesempatan untuk diterapkan. Akibatnya, peluang untuk dilihat kekurangannya pun kecil.
Padahal, tanpa tahu kekurangannya, bagaimana bisa disempurnakan? Padahal, tidak ada teknologi yang begitu diciptakan bisa langsung sempurna. Mengapa sulit dapat kesempatan untuk diterapkan?
Saya juga baru tahu lima tahun lalu. Saat itu saya menjadi Dirut PLN. Tahu saya pun setelah saya kebentur-bentur di sana-sini. Sebetulnya kalau saya masa bodoh sih tidak akan ada risiko.
Tapi, saya tidak bisa begitu. Misalnya, saya tahu kita pasti mampu membuat trafo 500 kVA. Pasti! Memang sulitnya luar biasa. Tapi pasti mampu. Lalu mengapa kita selalu saja harus impor? Padahal harganya, saat itu, Rp 120 miliar per satu buah. Semua itu berawal dari sistem tender. Apakah itu permainan tender? Bisa ya, bisa tidak.
Yang membuat harganya sampai Rp 120 miliar per buah tentulah ada unsur permainannya, meski mungkin tidak bisa ditemukan unsur pidananya. Maka sistem tender lama kami ubah: harganya pun anjlok tinggal Rp 37 miliar per buah. Tentu banyak yang marah. Tapi kami cuek saja. Itu tidak sulit.
Yang sulit adalah ini: dalam ketentuan suatu tender, kadang ada syarat yang sama sekali tidak memungkinkan sebuah penemuan baru bisa ikut tender. Misalnya bila dalam tender itu ada syarat begini: barang tersebut sudah harus terbukti pernah dipakai secara komersial selama tiga tahun dan terbukti andal. Bahkan, bisa saja ada tambahan syarat begini: harus pernah dipakai di negara tropis selama tiga tahun.
Mengapa ada syarat seperti itu? Kadang memang harus. Kalau tidak, bisa-bisa panitia tendernya akan terkena perkara: dianggap kongkalikong dengan produsen baru. Apalagi kalau barang itu nanti kurang bagus di sana-sini. Atau terbukti kurang andal. Atau kalah efisien. Matilah panitianya.
Tapi, dengan ketentuan seperti itu, matilah para penemu teknologi baru. Padahal, penemuan baru pasti memiliki kekurangan. Justru dari situlah penyempurnaan dilakukan.
Jangankan penemuan baru. Penemuan lama pun begitu. Hanya, kalau kekurangan itu terjadi pada teknologi yang sudah banyak dipakai, panitia tender tidak akan disalahkan. Tapi, kalau itu terjadi di teknologi baru, panitia akan babak belur. Yang dibilang ceroboh. Yang dibilang ada permainan. Yang dibilang kok berani-beraninya. Dan seterusnya.
Tapi, dalam hal trafo 500 kVA tersebut, waktu itu, kami agak nekat. Apalagi toh ini bukan soal penemuan baru. Ini hanya aplikasi baru. Pasti bisa. Tidak boleh lagi impor. Harus bikin di dalam negeri. Dan ternyata bisa. Sampai sekarang. Tidak perlu impor lagi.
Demikian juga teknologi CNG (compressed natural gas). Waktu itu diketahui ada sumber gas di daerah yang sedang krisis listrik: Jambi. Tapi, sumber gasnya kecil sekali. Tidak ekonomis untuk dialirkan melalui pipa ke pembangkit listrik yang jauh. Diekspor pun tidak mungkin. Akhirnya lebih sepuluh tahun gas itu tidak dimanfaatkan.
Ada ide cemerlang waktu itu: gas tersebut dipadatkan untuk ditampung dalam sebuah tangki CNG. Tapi, belum ada teknologi CNG seperti itu di Indonesia. Yang ada baru CNG dalam tabung-tabung. Akhirnya kami nekat mengadakannya. Hanya karena kami ingin agar gas tersebut tidak mubazir. Daripada PLN pakai genset yang BBM-nya begitu mahal. Akhirnya gas itu bisa dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik 40 mw. Sangat membantu mengatasi krisis listrik.
Trafo 500 kVA dan CNG hanyalah contoh rintisan sekaligus terobosan. Dan beberapa lagi. Semua bisa terlaksana. Memang ada risikonya. Tapi, beranikah kini sebuah perusahaan BUMN merealisasikan teknologi baru nickel smelter seperti yang ditemukan Dr Ir Sungging Pintowantoro dari ITS itu? Padahal, teknologi baru itu sudah melalui penelitian dan uji coba yang dibiayai negara. Padahal, kalau teknologi baru itu diterapkan, kita tidak perlu impor coking coal lagi.
Beranikah panitia tendernya? Beranikah menanggung risikonya?
Tentu ada jalan lain yang tidak harus ada risiko itu. Saya bisa mengusulkan rumusan konkretnya. Rumusan itulah yang harus menjadi peraturan. Yakni peraturan yang dijiwai nasionalisme modern. Memang mengatasi persoalan-persoalan riil seperti itulah yang kini memerlukan perjuangan nasional. Juga perlu kecerdikan. Terobosan. Risiko. Inilah perjuangan nasionalisme modern (nasmod) yang saya maksud dalam New Hope bulan lalu.
Yang seperti ini tidak bisa diselesaikan dengan slogan. Juga tidak bisa dengan cara dan model perjuangan nasionalisme sempit. Kita harus punya nasmod yang modern itu. (*)