Suara Anak DN Aidit

ANGKAT BICARA. Anak DN Aidit, Ilham Aidit, saat wawancara khusus dengan JawaPos.com, di Bandung, Jabar, Selasa (26/9). Dery Ridwansah-JawaPos.com

eQuator.co.id – Instruksi Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo terkait pemutaran kembali Film G30S PKI, membikin kecewa Ilham Dipa Nusantara (DN) Aidit. Menurut dia, film tersebut sangat tendensius lantaran berpotensi membuat kembali kisruh bangsa. Ilham mengatakan, saat ini Indonesia sudah dalam posisi ‘adem ayem’ isu komunisme. Namun Panglima malah membuat kebijakan kontroversial.

“Ada instruksi nonton bareng, itukan aneh lagi mau adem malah anak-anak kembali diingatkan untuk menonton,” ujar Ilham saat ditemui JawaPos.com di kediamannya di kawasan Bandung, Jawa Barat, Selasa (26/9).

Pria dua anak ini juga menambahkan, film tersebut tidak perlu ditonton. Karena banyak yang tidak berdasarkan fakta yang ada. Sehingga dia mengeluhkan intruksi dari Panglima TNI ini.

“Itu kan film jahat dan abal-abal,” tegasnya.

Raut muka Ilham yang mendadak berubah menjadi wajah serius ini juga mengaku, dahulu banyak generasi yang sudah terdoktrin adanya film besutan Arifin C Noer tersebut.

“Apa ingin makan korban lagi para generasi milenial. Dulu, tak sedikit generasi yang termakan dengan film PKI ini,” pungkasnya.

Ilham setuju adanya nonton bareng apabila film dikemas baru seperti yang diusulkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Karena dalam instruksinya, Presiden Jokowi ingin mengemas kembali film PKI itu dengan fakta-fakta sejarah, dan riset yang benar‎.

Pria yang berprofesi sebagai arsitek itu juga mengungkap kekecewaannya karena masih saja ada yang memainkan isu PKI. Menurut dia, isu soal PKI dan kebangkitan komunisme adalah bagian dari permainan politik saja.

“Kalau saya boleh tegas, ini arahnya menyerang Pak Jokowi,” ujarnya.

Ilham yang duduk di sebuah bangku cokelat dan memainkan sebatang rokok di jari kanannya lantas diam dan berpikir. Dia mempertanyakan, kenapa isu PKI dan kebangkitan komunisme selalu muncul menjelang pemilihan presiden (Pilpres).

Oleh sebab itu, dengan nada tinggi dan yakin, dia menyebut bahwa isu PKI hanya untuk menyarang Jokowi di Pilpres 2019 mendatang. Sehingga tidak bisa menang dan terpilih untuk dua periode.

“Ini ada upaya menggoreng isu demi persiapan Pilpres. Nah cerita PKI kembali dikeluarkan sekarang,” katanya.

Dari isu kebangkitan PKI dan komunisme itu, dia sudah bisa menduga ke mana muaranya. Mirip dengan Pilpres 2014, nanti akan ada pihak-pihak yang menuduh Presiden Jokowi merupakan bagian dari PKI. Sehingga menjadikan citra Jokowi rusak.

“Nantinya Jokowi dan PDIP dikatakan sebagai sarang anak PKI. Kemudian dibilang pemerintahan Jokowi neo liberal, dan dibilang pemerintah anti Islam karena dibubarkannya kegiatan ini itu. Nah itu cara itu kembali dipakai untuk menyerang Pakde kita (Presiden Jokowi),” paparnya.

Namun demikian, pria dengan dua putra itu berharap isu kebangkitan PKI dan komunisme tidak berpengaruh kepada Jokowi di Pilpres 2019. Dia sendiri berharap agar Jokowi bisa kembali terpilih menjadi Presiden Indonesia.

Sebab, kata dia, apabila Jokowi bisa terpilih dua periode, maka kemungkinan besar rekonsiliasi dengan pemerintah bisa terlaksana. Lantaran mantan Gubernur DKI Jakarta itu pasti melanjutkan keinginan untuk rekonsiliasi.

“Optimistis rekonsiliasi bisa terlaksana, apalagi kalau Presiden Jokowi menjabat dua periode. Artinya, bisa menyelesaikan hal itu. Nanti kalau bukan, Jokowi (jadi Presiden) maka (rekonsiliasi) bisa mengendap lagi,” katanya.

Apalagi, dituturkan oleh Ilham, Jokowi orangnya terbuka dan ingin pemerintah bisa menyelesaikan permasalahan dengan para keluarga PKI. “Bahkan Jokowi ingin bilang minta maaf, dan orangnya terbuka juga,” ungkapnya.

Presiden Jokowi, beber Ilham, selalu berujar untuk bisa meluruskan sejarah pada 1965 tersebut. Sehingga nantinya bisa dijadikan rujukan untuk materi sekolah. Namun, menurutnya, Jokowi seakan tersandera dan tidak bisa melakukan apa-apa. Karena dari internal pemerintah ada yang melakukan penolakan. Belum lagi DPR, TNI dan Polri.

“Jokowi ini selalu bilang coba untuk kaji ulang, tuliskan sejarah yang benar dan dijadikan materi untuk pelajaran sekolah,” terangnya.

Ilham menegaskan, tidak percaya PKI akan bangkit lagi di Indonesia, seperti pada zaman orde baru (orba) silam. “Harus berpikir apakah betul PKI akan bangkit, PKI akan dibangun kembali emangnya murah buat partai. Miliaran uangnya nah dari mana itu,” ujar Aidit sambil tertawa kecil.

Dia menerangkan, saat ini mantan anggota PKI yang masih hidup juga sangat susah dari segi finansialnya. Sehingga tidak mungkin mereka akan kembali menghidupkan PKI kembali. Apalagi sudah adanya TAP MPRS Nomor 25/1966 tentang Pembubaran PKI.

“Eks PKI saja untuk hidup sehari-hari susah, bajunya kadang enggak diganti berapa lama, buat cuci baju juga kadang enggak ada uang,” timpalnya.

Kalaupun PKI bisa bangkit, lanjut dia, sangat tidak mungkin akan ada peminatnya. Mereka tidak mau mencari risiko lantaran selama ini partai komunis itu dimusuhi mayoritas masyarakat di Indonesia.

“Apalagi di Indonesia, sudah dimusuhi puluhan tahun. Jadi apakah masih ada yang mau menjadi anggota PKI? ya enggak ada yang mau lah,” kelakar Ilham sambil menyalakan sebatang rokok.

Lebih lanjut pria dengan dua anak itu, saat ini partai yang menganut komunisme dan marxisme juga sudah tidak laku. Seperti yang terlihat di Tiongkok, Uni Soviet dan Kuba.

Tiga negara yang dicontohkan itu tidak lagi diminati oleh masyarakat dengan sistem dan ideologi komunis. ‎”Komunisme itu sudah enggak ada panggungnya lagi. Itu sudah enggak laku lagi,” pungkasnya.

Para keluarga PKI, menurut dia, selalu berharap bisa melakukan rekonsiliasi dengan pemerintah. Ilham menceritakan apa saja yang menghambat rekonsiliasi tidak pernah bisa berjalan lancar. Menurutnya, banyak pihak yang tidak ingin adanya rekonsiliasi, seperti dari TNI, Polri, Nahdlatul Ulama (NU), DPR, dan partai politik.

“Banyak pihak tidak mau dan banyak bilang tidak perlu lagi. Mereka selalu bilang peristiwa itu terjadi tahun 1948 PKI berontak dengan membunuh kiai dan tentara,” ujar Ilham.

Selain itu, dikatakan dia, penelusuran sejarah juga amatlah penting. Sehingga para generasi muda tidak disuguhkan sejarah yang hanya satu versi.

“Jadi generasi muda tidak tahu apa sejarah ada ratusan orang yang dibunuh,” katanya.

Dulu, Ilham menerangkan, sempat ada upaya pemerintah membuat simposium itu di salah satu hotel di Jakarta. Militer, Polri, keluarga PKI dan dari NU pun dihadirkan. Masing-masing menceritakan perlu atau tidaknya adanya rekonsiliasi. Namun sayang simposium tersebut berakhir mengecewakan. Karena acara yang diselenggarakan pada tahun 2016 ini berakhir tanpa adanya satu keputusan yang jelas.

“Karena saya pikir terlalu riskan apabila dilanjutkan, banyak yang tidak setuju juga,” katanya.

Padahal konflik berdarah tidak bisa selesai hanya lewat dengan kata maaf saja. Tapi harus ada pelurusan sejarah. Karena apabila tidak adanya pelurusan sejarah, maka permasalahan akan tetap ada.

“Permasalahan tidak pernah jelas, sehingga yang minta maaf dan dimaafkan tidak pernah tahu kenapa tiba-tiba saling memaafkan,” tandas Ilham.

Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo punya alasan mengapa memerintahkan prajurit TNI memutar film G30 S PKI. Menurut Gatot, langkah itu dilakukan guna mencegah bangsa Indonesia terpecah belah.

Mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ini juga menegaskan, dia memang memerintahkan langsung pemutaran film Pengkhianatan PKI yang diketahui melakukan pembunuhan terhadap jenderal-jenderal ke prajurit TNI ini.

Tujuan dari pemutaran film ini bukanlah untuk mendiskreditkan siapa yang salah, tetapi agar masyarakat dan generasi muda mengetahui bahwa Indonesia pernah memiliki sejarah kelam.

Film Pengkhianatan G30 S PKI dirilis pada 1984 silam itu disutradarai Arifin C Noer. Film itu disebut melibatkan lebih dari 10 ribu pemain dan figuran.

Saat orde baru berkuasa, setiap malam 30 September, ada pemutaran serentak film G30 S PKI di layar televisi. Pascareformasi 1998 kewajiban pemutaran film itu pun dihentikan.

Ketika menerima Jawapos.com. Ilham Aidit mengungkap beberapa hal pada 30 September 1965. Presiden Soekarno ingin memanggil tujuh jenderal untuk mengkonfirmasi adanya isu mengenai Dewan Jenderal ke Istana Presiden.

“Meminta klarifikasi, skenario yang benar seperti itu. Itu hanya diculik dan dibawa menghadap Soekarno,” ujar Ilham.

Pria lulusan Universitas Parahyangan (Unpar) ini melanjutkan, pada tengah malam Letnan Satu (Lettu) Dul Arief yang diketahui sebagai komandan pleton mengungkapkan kepada semua anak buahnya untuk bisa membawa para jenderal hidup atau mati. Bukan sesuai instruksi menculik para jenderal.

Menurut dia, kalimat hidup atau mati menimbulkan polemik. Karena pasukan Tjahrakbirawa yang saat ini bernama Paspamres pun tidak peduli apabila membawa jenderal tersebut dalam keadaan tidak bernyawa.

“Jadi dari pada ribut-ribut gitu menjadi bawa mati saja, kan tinggal dor gitu,” katanya sembari beberapa kali membetulkan kerah bajunya.

Dia meyakini, peristiwa pemberontakan 30 September PKI tersebut adalah kesalahan dari Dul Arief yang memerintahkan kepada anak buahnya untuk membawa para jenderal hidup atau mati.

“‎Jadi orang ini (Dul Arief) buat kesalahan luar biasa, jadi orang belok banget bilang bawa hidup atau mati,” pungkas Ilham. (Jawapos.com/JPG)