eQuator.co.id – ”AMOROSO, kamu saya calonkan untuk peran Soeharto, tapi sebagai cadangan. Saya mau cari dulu yang lebih persis wajahnya,” kata Amoroso Katamsi, menirukan ucapan Arifin C. Noer, pada Senin (25/9).
Pesan itu disampaikan Arifin kepada Amoroso pada awal 1981, ketika proses pembuatan film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI mulai dilakukan. Soal kemampuan akting, Arifin sebenarnya sudah tahu kemampuan Amoroso. Keduanya pernah tergabung dalam Studi Grup Drama Jogja yang dipimpin W.S. Rendra.
Kurang dari tiga bulan menjelang jadwal produksi film, Arifin ternyata belum menemukan kandidat lain yang lebih pas. Ada yang lebih persis, tapi tidak bisa main film. Sutradara yang juga penyair itu akhirnya mengajukan nama Amoroso kepada G. Dwipayana, Dirut Produksi Film Negara saat itu.
“Ternyata disetujui,” kata Amoroso.
Mulailah pria kelahiran 21 Oktober 1938 tersebut mempelajari segala hal tentang Soeharto yang ketika itu merupakan orang nomor satu RI. Amoroso yang berdinas di TNI-AL saat itu sedang sekolah spesialisasi psikiatri di Universitas Indonesia. Jadi, dia harus membagi konsentrasi untuk menyelesaikan pendidikan sekaligus pendalaman peran.
Apakah background sebagai tentara jadi pertimbangan khusus sehingga Amoroso mendapatkan peran sebagai Soeharto? ”Mungkin ya, tapi saya nggak tanya ke Arifin,” ujar pria yang menghabiskan masa remaja di Magelang itu, lantas tertawa. Waktu memerankan karakter Soeharto, usia Amoroso 43–44 tahun, sama dengan usia Soeharto pada 1965.
Amoroso perlu waktu tiga bulan untuk mendalami peran Soeharto. Mulai membaca buku-buku tentang Soeharto, mempelajari rekaman pidato sampai mendapat gambaran imajinasi tentang sosoknya.
Memerankan tokoh yang ketika itu merupakan orang nomor satu di Indonesia, Amoroso harus sangat teliti mendalami karakternya karena penonton akan dengan mudah membandingkan. ”Lalu, saya minta izin observasi satu hari mengikuti kegiatan beliau, untuk mencocokkan gambaran saya dengan kenyataannya,” ungkap ayah empat anak tersebut.
Amoroso ingat betul, ketika itu dirinya diterima Soeharto di peternakan Tapos. Sang presiden sedang menerima tamu peternak dari Australia.
“Saya melapor bahwa saya akan mengikuti kegiatan beliau. Beliau bilang, ’Oh, silakan’,” kenangnya.
Amoroso mengenakan pakaian tentara. ”Jadi, mungkin orang yang melihat mengira saya pengawal beliau,” imbuhnya.
Dari observasi itu, dia mengamati dan mencocokkan gestur, ekspresi, hingga cara Soeharto berbicara. ”Warna suara saya tidak jauh berbeda dengan beliau. Alhamdulillah, semua seperti sudah digariskan,” papar dia, lantas tersenyum hangat.
Proses syuting memang berlangsung cukup lama, sekitar 1,5 tahun, mulai pertengahan 1981 hingga akhir 1982. Kenapa butuh waktu lama?
”Karena set dan propertinya banyak yang sudah berubah. Jadi, perlu ada beberapa yang dibuat lagi,” jawab aktor yang sebelumnya bermain di film “Darah Ibuku” serta “Serangan Fajar” itu.
Contohnya, gedung RRI yang tampilan depannya sudah berubah. Begitu pula gedung markas Kostrad yang dulu di bagian depannya ada banyak pohon, pada saat itu sudah berubah jadi gedung-gedung tinggi. Alhasil, dibuatlah fasad ”gedung” Kostrad di Cibubur untuk scene-scene yang mengambil tampak depan gedung Kostrad.
”Tapi, kalau syutingnya di bagian dalam, ya di gedung Kostrad langsung,” ujar Amoroso.
Apakah Pak Harto pernah datang ke lokasi syuting? ”Enggak, nggak pernah. Nggak ada supervisi apa-apa,” ujar kakek enam cucu tersebut.
Dia mendengar selentingan yang menyebut proses syuting film itu diawasi dan diintervensi pihak tertentu. ”Mana mau Arifin didikte,” ucapnya, lantas tersenyum. ”Diskusi sebelumnya, mau, tapi pada saat berkarya, dia nggak mau ada yang ikut campur,” tuturnya.
Amoroso kenal betul karakter Arifin. Seorang seniman seperti dia ketika berkarya tidak bisa diintervensi. Bukan berarti tidak mau diajak diskusi.
”Pelukis kan juga begitu, sebelumnya kita diskusi mau lukisan yang seperti ini, bisa. Tapi, saat sedang berkarya, nggak bisa diganggu,” ujarnya.
Syuting berlangsung di Jakarta dan Bogor. Suasananya, menurut Amoroso, tidak jauh berbeda dengan syuting film-film lainnya.
”Biasa-biasa saja, paling bedanya pemainnya lebih banyak,” kata aktor yang mulai terjun ke layar lebar pada 1976 itu.
Arifin tak hanya menjadi sutradara, tapi juga penulis skenario film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI. Apakah proses syuting harus benar-benar mengacu pada skenario?
”Secara garis besar, iya. Tapi, dalam pengadeganan, terkadang ada pengembangan. Sutradara kan seniman, dia melihat situasi, lalu berkreasi. Misalnya, blocking-nya begini,” urainya.
Amoroso melanjutkan, Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI merupakan film cerita yang bersendi sejarah. ”Namanya film cerita, harus menarik. Unsur dramatiknya harus dijaga betul,” lanjut dia.
Ada satu adegan yang menurut Amoroso cukup berat. ”Berat bukan dalam arti fisik ya, tapi emosi,” ucap dia.
Yaitu, scene di Kostrad. Mayjen Soeharto yang ketika itu menjabat panglima Kostrad dihadapkan pada situasi tegang pascapembunuhan para jenderal dan dia harus mengambil keputusan.
”Pak Harto orangnya tidak ekspresif. Tegang, tapi tidak ekspresif. Nah, itu permainan emosi dari dalam. Gestur sedikit membantu, tapi yang lebih berperan adalah rasa,” ungkapnya.
Amoroso mengingat, syuting berlangsung bisa dari pagi sampai tengah malam. Paling lama pernah sampai dua pekan.
”Kalau sedang take, ya intens. Tapi, saat break atau bukan gilirannya take, rileks saja. Kalau ikutan tegang, capek,” kata Amoroso.
Dia biasanya mengobrol dengan orang-orang di lokasi syuting. Dengan beberapa pemeran, dia sudah kenal. Salah satunya wartawan senior dan aktor (almarhum) Syu’bah Asa pemeran D.N. Aidit yang sama-sama orang teater di Jogja. Kalau jedanya agak lama, Amoroso mengisi waktu dengan membaca materi diktat. Sebab, ketika itu dia sedang menyelesaikan sekolah psikiatri.
Perannya sebagai Soeharto di film tersebut amat melekat di benak masyarakat. Saat bertemu orang-orang, Amoroso kerap disapa dengan panggilan ”Pak Harto”. Setelah Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI, Amoroso juga berperan sebagai Soeharto di film Djakarta 1966. Kemudian, pada 2015, dia kembali menjadi Soeharto dalam film Di Balik 1998.
”Sebenarnya selain itu saya main banyak film, tapi orang tahunya saya jadi Soeharto saja. Alhamdulillah, jadi agak terkenal,” kata dia, lantas tertawa.
Bagaimana respons dari Pak Harto? ”Beliau bilang, ’Oh bagus, makasih.’ Orangnya ramah, tapi tidak ekspresif. Kalau Bu Tien, ’Kamu kok bisa ya meranin Bapak, padahal tidak sering bersama Bapak’,” cerita Amoroso yang pensiun dari TNI-AL sebagai laksamana pertama pada usia 60 tahun.
Pria yang gemar berorganisasi sejak muda itu pernah menjadi pengurus Parfi, menjabat wakil ketua Kwarnas Pramuka, dan ketua Himpunan Seni Budaya Islam. Di usianya yang menjelang 79 tahun, Amoroso masih aktif berkarya. Tahun ini, Amoroso ikut bermain dalam sinetron Tuhan Beri Kami Cinta yang tayang pada Mei–Juli lalu.
”Saya bawa kursi itu kalau syuting, karena sudah nggak muda lagi,” ujarnya sambil menunjuk ”kursi malas” di dekatnya.
Ditanya pendapatnya mengenai wacana pembuatan kembali film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI versi milenial, pria yang pernah menjadi direktur utama PFN 1991–1998 itu berujar, ”Silakan saja, namanya berkreasi. Yang terpenting, untuk kreator, senimannya, bekerjalah dengan hati, dengan jujur, sehingga menghasilkan karya seni yang baik”. (Jawa Pos/JPG)