Sempat hampir sebulan masuk rumah sakit, tokoh muslim Kalimantan Barat, ustad Sabhan A. Rasyid tutup usia sekitar pukul 03.40 kemarin (4/7). Kepada anak-anaknya, almarhum selalu menekankan kewajiban menjalankan syariat Islam.
Maulidi Murni (Pontianak), Sairi (Sambas)
eQuator.co.id – Sabhan merupakan pembina Masjid Al Muhtadin Universitas Tanjungpura (Untan), Pontianak. Ia bersaudara kandung dengan mantan Bupati Sambas Burhanudin A. Rasyid dan mantan Kepala Bappeda Kalbar yang pernah mencalonkan diri sebagai wakil gubernur pada 2012 Fathan A. Rasyid.
Menghembuskan nafas terakhirnya di kediaman, jalan Sekadau Komplek Untan No. 54C, Pontianak Tenggara, Sabhan dimakamkan di komplek pemakaman muslim, jalan Abdurahman Saleh (BLKI), sekitar pukul 12.53.
Ratusan pelayat mengantarkan almarhum ke peristirahatan terakhirnya. Saking ramainya yang melayat, Sabhan disalatkan 18 kali di kediamannya dan di Masjid Al Muhtadin Untan.
Dikisahkan oleh anak kedua dari dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Untan yang pensiun pada 2015 itu, Muflihin, malam sebelum meninggal dunia, almarhum sempat berkumpul bersama keluarga. Sang Ayah dalam kondisi lemah tapi ceria.
Sebelum meninggal dunia, pada pukul 03.00, mantan anggota DPRD Kalbar dua periode itu sempat membangunkan istrinya yang sedang tertidur. Untuk menunaikan Salat Tahajud.
“Ma bangun, Salat Tahajud dulu,” ujar Muflihin, menirukan ayahnya.
Almarhum memiliki kebiasaan khusus usai menunaikan Salat Tahajud. Sekitar pukul 03:30, sang istri diminta untuk melakukan pijat refleksi pada kakinya. Biasanya, usai diurut, Sabhan akan tertidur.
“Waktu tidur itu, tidak ada yang mengganggu karena kita biarkan untuk istirahat,” ucap Muflihin yang berdomisili di Saigon, Pontianak Timur.
Sebelum tertidur, Sabhan tak mengeluh apapun soal kondisi fisiknya. Cuma, menurut sang istri seperti diceritakan Muflihin, agak terasa keram ketika jempol kakinya diurut.
“Lama dilihat, tak ada rasa detak jantung, badannya dingin, saat itu kurang lebih pukul 3:40, sekitar 10 menit diurut, menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan tertidur,” kenang pria berusia 38 tahun ini.
Seminggu sebelum memasuki Ramadan, ustad Sabhan A. Rasyid yang wafat di usia 67 tahun sempat kelelahan setelah banyak beraktivitas. Memang, jadwal dakwah almarhum ketika itu luar biasa padat. Beberapa hari kemudian, nafasnya sempat sesak sehingga dibawa ke Rumah Sakit Untan. Sabhan didiagnosa penyakit jantung.
Karena Dokter Spesialis Jantung di rumah sakit itu tak ada, lanjut Muflihin, akhirnya almarhum dirujuk ke Rumah Sakit dr. Soedarso.
“Kembali diperiksa dan didiagnosa ternyata bukan penyakit jantung tetapi paru-paru,” sebut dia.
Di dalam paru-paru Sabhan ada cairan yang merendam yang menyebabkan sesak nafas dan batuk. Dua minggu di Soedarso –saat itu pertengahan Ramadan—, almarhum dianggap pulih dan pulang ke rumah. Statusnya dinyatakan “rawat jalan”.
Tiga hari di rumah, sakitnya kambuh lagi. Rumah Sakit Normah di Kuching, Malaysia, jadi pilihan untuk perawatan. Berangkat ke sana Jumat (16/6) subuh, jalur darat ditempuh dengan menggunakan ambulans. Kala itu, kondisi almarhum tidak cukup kuat untuk duduk di pesawat terbang.
Sesampainya di Normah, Sabhan langsung masuk ruang gawat darurat. Ia diduga mengalami dehidrasi selama dalam perjalanan.
“Dua hari masuk ICU, kemudian masuk ke ruang pemulihan, namun masuk ICU kembali, sampai lah pada tanggal 30 Juni,” cerita Muflihin.
Walaupun di paru-paru almarhum ada cairan, ia tidak mau disedot karena akan dioperasi atau dibelah untuk dimasukkan selang. Jadi, dipintalah obat pencahar untuk mengencerkan cairan di paru-parunya. Cairan itu akan keluar melalui batuk.
“Jadi setiap batuk akan keluar dahak, itu metode lain yang kita pakai,” kata Muflihin menirukan dokter di Normah.
Kemarin, Sabhan baru empat hari pulang dari Normah dengan kondisi lebih segar dari sebelumnya. “Walaupun masih dalam kondisi yang lemah, dan pada saat pulang juga ayah belum bisa duduk dan kita pakai jalur darat lagi,” ungkapnya.
Ustad Sabhan A. Rasyid kelahiran Tebas, Kabupaten Sambas. Ia meninggalkan seorang istri, empat anak, dan enam cucu. Muflihin mengenang, semasa hidup, ayahnya orang yang ketat menjalankan salat. Dan selalu berpesan kepada anak-anaknya untuk tak pernah alpa menunaikannya.
“Anak-anak boleh beraktivitas, tetapi kalau bisa, ketika tiba waktu Magrib berjamaah di rumah,” tuturnya.
Sabhan tak hanya bicara, ia juga memberikan contoh. Dan, itu menjadi teladan bagi Muflihin serta saudara-saudaranya, Muflihati, Mahfuzin, dan Muhtadin.
“Akhlak sosial juga disampaikan serta diajarkan Beliau dan leadership atau jiwa kepemimpinannya menurun kepada kami,” terangnya.
Muflihin sendiri terlihat tegar meski ditinggal Sang Ayah, meskipun rencananya untuk mengajarkan almarhum agar bisa berjalan lagi kandas. “Dua minggu di Soedarso dan dua minggu di Normah, karena terbaring terus. Kita sudah maksimal, Allah yang menentukan dan berkehendak lain,” pungkasnya.
Salah seorang tokoh masyarakat Sambas, Budiman Tahir, punya kenangan tersendiri dengan almarhum ketika masih di civitas akademi Untan. Ia selalu meminta Sabhan untuk memberikan tausiah kepada anak didiknya.
“Semua materi tausiah Beliau memberikan ketenangan dan motivasi bagi mahasiswa ,” tuturnya.
Sebelum itu, Budiman pun telah mengenal almarhum. Selain sama-sama berasal dari Sambas, hubungan orangtua masing-masing juga sangat dekat.
Baginya, Sabhan merupakan tokoh akademis sekaligus agamis yang selalu memberikan pencerahan kepada umat Islam Kalbar. “Sebagai masyarakat Kabupaten Sambas, kita sangat merasa kehilangan, semoga amal baiknya diterima di sisi Allah SWT, aamin,” tandas Budiman. (*)
Editor: Mohamad iQbaL