Jurnalis Trip Kompakh berlanjut. Usai menikmati kehangatan dan keakraban masyarakat suku Dayak Iban di Dusun Kelayam serta kekayaan khasanah budayanya yang susah untuk dilupakan, pertualangan seru menunggu di Taboh Maloh, Dusun Karangan Bunut, yang bersebelahan dengan Dusun Kelayam.
Ocsya Ade CP, Menua Sadap
eQuator.co.id – Rabu (24/5) pukul 05.00, terdengar suara smartphone saling bersahutan dengan kokok ayam dibarengi kicauan burung hutan. Rasanya aneh, kenapa bisa berdering? Padahal di Rumah Panjai Dusun Kelayam yang kami tumpangi tak sedikitpun ada jaringan telekomunikasi.
Hmmm.. Itu suara alarm dari telpon pintar jurnalis yang lain. Saya cuek dengan alarm itu dan kembali menarik selimut agar dinginnya ruang tengah bilik milik Sekretaris Desa Menua Sadap, Yanuarius Lasa, yang kami tumpangi tak menusuk ke tulang.
Yang memasang alarm pun bangun. Tapi ternyata dia cuma mematikan alarm dan kembali tidur. Mungkin karena kelelahan dengan perjalanan dan padatnya aktivitas sedari kami sampai di sana.
Alarm memang tak mempan membuat mata melek. Pendar mentari pagi yang menembus ventilasi bilik lah yang berjasa membangunkan kami. Bergegas lah kami mengantre mandi dan berkemas menyiapkan peralatan yang diperlukan ke Camping Ground di Taboh Maloh.
Ini risikonya bangun kesiangan. Saat kami selesai mandi, arloji di tangan sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Sampai tak sempat sarapan. Karena terburu-buru, kami pun hanya menyumpal mulut dengan seteguk kopi dan teh hangat yang disediakan keluarga Lasa.
Lagipula mobil putih yang disopiri Kepala Desa Menua Sadap, Husein, sudah tercogok di depan Rumah Panjai untuk segera dibawa ke Mataso. Itu lokasi berlabuhnya longboat (perahu mesin panjang terbuat dari kayu) yang akan membawa kami ke Camping Ground.
Ada dua longboat yang membawa rombongan Jurnalis Trip. Bersama saya, Direktur Kompakh L. Radin, reporter RRI Reinaldo Sinaga alias Edo, dan reporter Media Indonesia Aries Munandar.
“Kalau pergi Camping Ground, kita memakan waktu sekitar dua jam. Kalau pulangnya agak cepat. Karena pergi, kita melawan arus,” tutur Radin.
Longboat yang kami tumpangi hanya bermesin 15 PK. Sebanding dengan muatan dan dorongan melawan arus. Bagi saya, menumpangi longboat di medan melawan arus kencang ini merupakan kali pertama. Deg-degan sudah pasti ketika juragan (juru mudi) berupaya membelah ombak. Syukurlah, sampai di Camping Ground tanpa kendala.
Sepanjang perjalanan, banyak keindahan alam yang masih alami menggoda untuk diabadikan. Hamparan bebatuan di pinggir maupun di tengah-tengah aliran Sungai Tamambaloh (bahasa Iban; Batang Kanyau) yang lebarnya sekitar 20-30 meter itu membuat hati ingin singgah. Setelah menempuh sejam perjalanan, rombongan Jurnalis Trip singgah di bebatuan itu.
Ternyata, Lasa yang ikut longboat satunya lagi membawa jala. Kami pun mencoba menjala ikan di sana. Ya, jika beruntung ikan Semah seharga jutaan rupiah perkilo bisa sangkut di jala. Ada beberapa ekor ikan yang terjaring. Manager Divisi Ekonomi Kompakh Eduardus Ratungan yang sibuk memotret bergegas mengumpulkan ikan hasil jala.
“Ini untuk lauk kita nanti, Bro,” cetusnya.
Memang, sebelum berpetualang ke Camping Ground, Eduardus dan Lasa sempat bercerita sedikit. Di lokasi tersebut, hutannya masih alami dan Taboh Maloh merupakan kawasan penyangga dan koridor di kawasan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) atau kawasan yang berbatasan dengan TNBK. Selain riamnya bagus, kalau hoki bisa melihat satwa-satwa seperti Kelempiau, Enggang, dan lainnya di sepanjang perjalanan. Penuh harapan kami bisa memotret atau merekam satwa-satwa tersebut.
“Tempat yang akan kita tuju, merupakan salah satu pilihan bagi pecinta petualang,” singkat Lasa.
Usai menjala,kami pun melanjutkan perjalanan ke lokasi utama. Saya lihat-lihat di dalam longboat terdapat beberapa kardus. Ternyata isinya perlengkapan seperti gelas, piring, sendok, bumbu memasak, dandang, dan beberapa kilo beras serta mi instan. Eits, gula dan kopi juga ada. ‘Vitamin’ mata itu tak boleh ketinggalan.
Kami benar-benar diajak berpetualang oleh Pak Dir (sapaan akrab Direktur Kompakh). Dua jam menyusuri Sungai Tamambaloh, sampai lah di lokasi Camping Ground sekitar pukul 10.00. Kedatangan kami ke sana disambut puluhan kupu-kupu beragam warna. Para jurnalis yang kameranya sudah ready tak henti mengabadikan kupu-kupu liar yang hinggap di pasir tersebut.
Yang saya lihat, Camping Ground ini terletak di bagian tengah bukit. Dari bawah kaki bukit tempat kami berinjak, lokasinya sudah tampak. Kebetulan saat itu ada beberapa nelayan setempat yang numpang istirahat di Camping Ground buatan Kompakh.
Hari semakin siang, karena tak sempat sarapan, perut pun keroncongan. Radin dan beberapa juru mudi longboat bergegas membuat api dari ranting kayu. Setelah menyala, air yang diambil dari sungai Tamambaloh dimasak. Sebungkus kopi dan gula dicampur dalam air yang sudah mendidih. Sedangkan nasi yang ditanak belum juga ready. Saya yang sudah kelaparan pun cukup puas mengisi perut dengan mi instan mentah.
Ikan yang dikumpulkan Eduardus tadi tak cukup. Beberapa jurnalis dan tim Kompakh naik ke hulu sungai untuk kembali menjala ikan. Saya yang sudah kelaparan malas bergerak dari lokasi Camping Ground. Mencoba menenangkan perut yang keroncongan dengan berendam di dinginnya aliran air sungai.
Video Jurnalis Kompas TV, Ikhsan Ginanjar, tak mau ketinggalan. Ia ikut berendam. Derasnya aliran sungai membuat kami harus ekstra hati-hati.
Setengah jam kemudian, Pak Dir dan jurnalis lainnya tiba. Mereka mambawa sekantong besar ikan, sekitar dua kilogram. Langsung direbus dan dibumbui garam serta penyedap saja, sebagai lauk dari nasi yang sudah masak. Santapan nikmat ini tak mau saya biarkan begitu saja. Saya dan Ikhsan pun bergegas naik menyantap makanan hasil alam. Rasanya memang moy, nikmat.
Di sela menikmati makan siang, Radin menyebut lokasi Camping Ground merupakan salah satu pilihan wisata petualangan. Di lokasi ini, selain bisa menikmati naturalnya alam, juga bisa melihat satwa seperti Enggang, kupu-kupu hutan, dan sejumlah varian anggrek.
Mudahnya mendapatkan ikan di sungai dengan memancing dan jala, dianggapnya, bisa menarik wisatawan. Apalagi keberadaan ikan Semah lumayan banyak di sana. Hasilnya bisa disantap di Camping Ground sambil melihat suasana alam yang masih asri.
“Kompakh mendamping destinasi wisata di Desa Menua Sadap sudah hampir dua tahun. Kami melihat Desa Menua Sadap terkenal dengan wisata alam dan budayanya. Tapi belum sempat terekspos keluar,” ujar Radin.
Imbuh dia, “Maka Kompakh sebagai lembaga lokal di Kapuas Hulu bergerak di bidang penyiapan tentang informasi pariwisata, mencoba mengekspos ke dunia luas bahwa banyak ragam destinasi di Kapuas Hulu”.
Selama dua tahun mendampingi lokasi kunjungan wisata di sana, kata Radin, Kompakh berhasil menyumbang kunjungan wisatawan yang secara keseluruhan mencapai 38 persen pada 2015 lalu. Beberapa pengelolaan pariwisata berbasis induvidu digabungkan ke satu kelompok pengelolaan pariwisata (KPP) berbasis desa dan kontrolnya di desa.
“Sehingga, tidak ada pergesekan sosial dan ekonomi di masyarakat. Untuk mengakomodir itu, kita membuat aturan seperti SOP-SOP, kita kaitkan juga dengan hukum adat, sehingga masyarakat berpegang teguh pada aturan tersebut,” paparnya.
Kades Menua Sadap, Husein mengatakan, kegiatan ekspose destinasi wisata bersama Kompakh ini upaya untuk memajukan ekowisata alam dan budaya di desanya. “Saya berharap teman media bisa memberikan informasi hal-hal yang menyangkut wisata. Kita selalu terbuka terhadap teman-teman yang membantu kemajuan ekowisata ini. Semoga dengan kegiatan ini (Jurnalis Trip) ada perubahan baik terhadap ekowisata di Menua Sadap,” harapnya.
Hari menjelang sore, pertualangan seru ke Camping Ground pun berakhir. Kami melanjutkan perjalanan menuju Dusun Meliau, Desa Melemba, Kecamatan Batang Lupar. Di sana ada hutan habitat Orangutan hidup liar. Akses menuju dusun tersebut hanya bisa menggunakan speedboat atau longboat melintasi Danau Sentarum. (*/bersambung)