Gamelan adalah salah satu alat musik tradisional Indonesia dari yang sudah akrab di telinga masyarakat. Namun tak banyak yang jualan gamelan di Pontianak.
IGK Yudha Dharma, Pontianak
eQuator.co.id – Djunaidi setiap hari berkeliling Kota Pontianak dengan sepeda tuanya. Pria 32 tahun asal Jawa Barat ini berangkat subuh dari kontrakannya di Arang Limbung dan pulang di sore hari.
Di belakang sepedanya telah tersusun rapi gamelan mini yang akan ia jual. Ada yang berukuran kecil dengan jumlah 10 not nada dan berukuran lebih besar, 15 not nada. Di keranjang sepeda terdapat puluhan lembar kertas catatan lagu yang bisa dimainkan dengan gamelan mini.
Gamelan mini ini merupakan hasil produksi industri kreatif masyarakat di Desa Kondang Sari, Kecamatan Beber, Cirebon, Jawa Barat. Masyarakat di desa ini memang sudah lama menjadikan usaha gamelan mini sebagai mata pencaharian mereka.
Mereka memproduksi dan mendistribusikan sendiri gamelan mini. Penyebarannya tidak hanya di pulau Jawa saja, tetapi sudah merambah ke Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Gamelan ini sengaja mereka buat untuk menghasilkan nada do-re-mi, agar lagu-lagu populer bisa dimainkan dengan mudah.
Djunaidi mengaku sudah 10 tahun berjualan gamelan mini. Dia bersama teman-temannya sudah sering merantau ke Kalimantan. Biasanya ada sekitar lima rekannya yang akan diberangkatkan, membawa sekitar 5.000 unit gamelan dari desa mereka.
Masing-masing akan menjual sekitar 1.000 unit gamelan mini. Biasanya gamelan mini yang mereka bawa akan terjual habis dalam rentang waktu satu hingga lima bulan lamanya. Djunaidi bisa mendapatkan keuntungan hingga Rp200 ribu setiap harinya. “Kalau laku sih bisa sampai segitu, kadang pernah juga gak laku sama sekali,” cerita Djunaidi saat berjualan di pinggir Jalan Khatulistiwa, Pontianak Utara, Selasa (21/3).
Di perantauannya kali ini, dia membawa serta istri dan anaknya. Keluarga kecilnya ingin merasakan suasana di Kota Khatulistiwa. Biasanya dalam sekali merantau jualan gamelan mini, dia bisa mendapatkan keuntungan bersih sekitar Rp5 juta.
“Kadang jualannya bisa sampai berbulan-bulan, baru laku habis. Ya, duitnya cuma cukup buat menutup kebutuhan selama di sini,” tutur Djunaidi yang tengah memainkan lagu “Gundul Pacul” dengan gamelan mininya.
Hartati, 35 yang saat itu tengah singgah membeli es tebu pun datang menghampiri Djunaidi. Dia menanyakan harga gamelan mini. Wanita ini akhirnya membeli setelah menawar harga gamelan tersebut menjadi Rp20 ribu. “Saye beli buat anak saye yang masih SD, biar die tau maen gamelan,” ujar Hartati yang terlihat menggunakan seragam PNS.
Harga gamelan yang memiliki 15 not nada dijual Djunaidi dengan harga Rp150 ribu. Sedangkan yang berukuran lebih kecil dengan 10 not nada dijualnya dengan harga Rp25 ribu.
Kebanyakan konsumennya adalah orangtua. Mereka membeli gamelan mini untuk anak mereka. Ada juga anak-anak sekolah yang beli untuk kebutuhan ekstrakurikuler mereka. “Di sekolah kan bisa buat pelajaran kesenian,” ucap Djunaidi.
Ia juga berbagi pengalamannya ketika gamelan yang dibawanya habis diborong oleh guru dari salah satu sekolah di Pontianak. “Itu diborong sampai 40 biji Mas. Jadi hari itu saya pulang lebih cepat,” kenang Djunaidi yang berjualan di bawah pohon sambil berteduh dari teriknya matahari Kota Pontianak.
Perkerjaan ini memang sudah turun-temurun dilakukan keluarganya. Ayahnya juga dulu merupakan pedagang keliling yang menjual gamelan mini, meskipun hanya di daerah Jawa saja. “Sekarang saya yang lanjutin. Sekarang susah cari kerjaan, apalagi pendidikan saya rendah,” kata Djunaidi yang terdengar pelan.
Dia tetap bersyukur, karena banting tulangnya merantau ke tanah orang, keliling menjajakan gamelan mini. Menurutnya masih bisa menghidupi istri dan anaknya yang masih berusia tiga tahun.
“Kalau bisa sih ada dukungan juga dari pemerintah, kasih modal buat kembangin usaha ini,” harap Djunaidi sambil memberikan secarik kertas bertuliskan beberapa daftar lagu yang bisa dimainkan dengan gamelan mini. (*)