Menangis Nonton Beauty and the Beast

Izinkan saya jadi sedikit feminin di tulisan ini. Gara-gara benar-benar terharu dan sempat menitikkan air mata menonton Beauty and the Beast…

Oleh: AZRUL ANANDA

eQuator.co.id – Sudah berbulan-bulan saya menunggu film live action terbaru Disney, Beauty and the Beast, muncul di bioskop. Begitu mengetahui bahwa film kartun tahun 1991 itu bakal dikemas ulang, dengan bintang utama Emma Watson, saya langsung terpikat.

Feeling dari awal sudah kuat. Ini film bakal ’’meledak’’.

Dan ternyata jadi kenyataan. Weekend pertamanya mantap. Memecahkan rekor pembukaan terheboh di bulan Maret. Secara global juga dahsyat. Dibuat dengan biaya USD 160 juta, weekend pertamanya langsung meraup USD 170 juta di Amerika saja plus USD 180 juta di negara-negara lain di dunia.

Jangan kaget kalau pemasukan akhir film ini nanti menembus angka lebih dari USD 1 miliar. Kok bisa saya suka Beauty and the Beast?

Dari dulu, saya penggemar kartun Disney. Dua favorit utama saya: Beauty and the Beast dan Aladdin.

Yang Beauty and the Beast karena ceritanya entah mengapa begitu pas di hati. Sedangkan yang Aladdin mungkin karena dulu, waktu 1992, saya nonton film itu bersama beberapa teman dekat, termasuk dengan cewek yang waktu itu saya taksir (hehehe).

Beauty and the Beast pas di hati? Karena ketika menonton film itu, rasanya seperti ada yang hangat di dada. Dan pesan moralnya sangat simpel, bukan? Buruk rupa bukan berarti jahat, atau bukan berarti tidak bisa berubah menjadi baik. Sedangkan yang ganteng dan dikagumi belum tentu baik.

Simpel banget. Dan lagunya. Lagunya itu lho!

Tak heran film ini menjadi film animasi pertama yang masuk nominasi film terbaik Oscar. Dan lagunya itu meraih Oscar.

Begitu film versi baru (live action) ini diputar, saya menonton bersama keluarga dan teman-teman keluarga. Bagaimana filmnya? Ya Tuhan, saya langsung meleleh…

Emma Watson perfect jadi Belle. Kabarnya, dia bakal dapat bayaran USD 15 juta dari film ini. Cocok!

Di situ juga ada Kevin Kline, aktor yang lumayan saya suka sejak zaman dahulu kala. Dulu dia pernah main romantic comedy bersama Meg Ryan (favorit saya) dalam film French Kiss. Di film baru ini, Kline yang sudah tua (seperti Meg Ryan) menjadi Maurice, ayah Belle.

Dan musiknya! Terima kasih Disney karena tetap menjaga unsur nostalgia, tetap membuat film ini ’’segaris’’ dengan yang lama. Hanya menambah satu dua bagian, menambah satu dua lagu baru, mengutak-atik satu dua bagian, supaya film ini lebih kuat ceritanya dan update dengan dunia sekarang.

Karena alur filmnya relatif tidak berubah, selama menonton saya tak sabar menantikan momen terindah Beauty and the Beast. Yaitu, saat Belle berdandan cantik dengan gaun kuningnya, dan Beast berdandan dengan baju biru, bersiap untuk dansa bersama.

Waaaaaaaaaa…

Ketika lagu Beauty and the Beast dinyanyikan oleh Mrs. Potts (suara Emma Thompson), saya benar-benar meleleh. Tak terasa, air mata menetes dari kedua mata…

Magic!

Film baru ini tetap memiliki kekuatan magis ala film kartun 1991 lalu. Cerita yang baik akan selalu menjadi cerita yang baik. Walau format berubah dari gambar menjadi aktor beneran, kekuatan cerita, lagu, dan lain-lain membentuk kekuatan yang bisa membuat dada terasa hangat.

 

Begitu film selesai, saya langsung bilang ke keluarga: Kita harus balik nonton lagi film ini!

Saya heran, kenapa elemen yang sangat kecil dari film ini, menyangkut karakter LeFou, begitu menghebohkan. Hanya gara-gara sang sutradara, Bill Condon, menyebut bahwa karakter itu adalah seorang gay, dan memiliki ’’gay moment’’ di dalam film tersebut.

Pemerannya sendiri, Josh Gad, adalah seorang komedian kocak, dan bukan gay. Asal tahu saja, Bill Condon secara terbuka mengaku sebagai gay. Dan yang dalam hidup aslinya secara terbuka gay adalah Luke Evans, aktor yang memerankan si ganteng macho jahat Gaston.

Istri saya sempat bertanya, kenapa kok banyak temannya yang heboh gara-gara komentar itu. Walau belum menonton filmnya, saya langsung bilang, aneh orang-orang itu begitu berlebihan.

Kalau tidak mau nonton, ya sudah. Wong mau beli tiket itu kan pilihan, bukan paksaan. Toh, kalau takut pada karakter LeFou, ya sekalian saja matikan itu TV di rumah.

Banyak karakter seperti itu, yang menunjukkan banyak ’’gay moment’’, di berbagai stasiun televisi yang bisa ditonton secara gratis, disaksikan semua orang dengan mudah.

Heran deh sama orang-orang itu, ngomel tentang suatu hal yang belum dilihat, tapi tidak sadar kalau yang serupa sebenarnya sudah ada di depan mata mereka setiap hari selama bertahun-tahun.

Dan setelah melihat Beauty and the Beast, saya jadi agak tergelitik. Ealaaaah! Apanya yang bikin heboooohhhhh… Biasa aja lageeee! Tidak ada apa-apanyaaaaa… Yang di TV banyak yang lebih paraaaaahhh…

Dan yang di TV itu belum tentu punya nilai mendidik seperti cerita Beauty and the Beast!

Walau secara keseluruhan bahagia dan meleleh, saya tetap punya satu keberatan dari film ini. Yaitu, ketika lagu istimewa Beauty and the Beast dinyanyikan lagi oleh Ariana Grande dan John Legend.

Jangan salah, Grande dan Legend adalah dua penyanyi dahsyat. Hanya, dan mungkin saya tidak sendirian, rasanya keduanya tidak memiliki ’’chemistry’’ saat berduet menyanyikan lagu itu.

Beda jauuuh dengan versi Celine Dion dan Peabo Bryson pada versi 1991 lalu.

Lucu juga, ketika nonton versi baru di YouTube, lalu nonton lagi versi lamanya di YouTube, ada komentar di bawah yang ternyata sepemikiran: ’’Siapa yang menonton (versi lama) ini langsung setelah menonton (versi baru)? Bagus yang lama, bukan?’’

Dan komen-komen di bawahnya banyak yang menyatakan kalau ada sesuatu ’’yang kurang’’ dari versi terbaru 2017…

Malah jujur, ada dua versi lagi yang menurut saya lebih bagus dari versi Grande dan Legend. Yaitu, versi Mrs. Potts 1991 yang dinyanyikan Angela Lansbury, dan Mrs. Potts 2017 suara Emma Thompson.

Mungkin ini karena saya sudah menua. Tapi, saya merasa, keajaiban chemistry Celine Dion dan Peabo Bryson, serta nyanyian berkarakter Lansbury dan Thompson, jauh lebih magical daripada angka kombinasi follower medsos Ariana Grande dan John Legend.

Angkanya magical abstract, tidak bisa dihitung lewat Facebook, Twitter, Instagram, atau yang lain! (*)