Masa Depan tanpa Nasi

Negara kita tidak bisa maju karena makan nasi?

Azrul Ananda

eQuator.co.id – Ibu saya benar-benar sedang jadi pusat perhatian keluarga. Dalam beberapa waktu terakhir, semua benar-benar fokus memikirkan dan beraksi supaya beliau hidup lebih sehat.

Semua makanan yang goreng-goreng dan berlemak dijauhkan. Semua makanan yang terlalu manis-manis dieliminasi. Kalau pergi makan sekeluarga di luar, cari yang menunya ”sehat”.

Kalau ternyata ibu bandel dan belanja makanan-makanan lagi, maka akan ada yang beraksi dan mengosongkan isi kulkas. Selama berminggu-minggu ini ibu juga dilarang makan nasi putih.

Syukur alhamdulillah, ibu memang makin sehat. Berat badannya sudah turun sampai 10 kilogram. Tes darahnya juga luar biasa.

Banyak teman saya kini juga semakin mengadopsi gaya hidup makan sehat. Katering khusus. Masak khusus. Menghindari restoran-restoran dengan makanan berlemak. Menghindari nasi putih. Menggantinya dengan nasi merah, atau pasta, atau yang lain, pokoknya bukan nasi putih.

Saya pun belakangan makin rajin ”makan sehat”. Selain katering, makanan yang disiapkan juga lebih ”bersih”. Dan sangat, sangat minim makan nasi putih. Walau kadang-kadang masih tidak tahan untuk makan nasi goreng, pada dasarnya dalam seminggu belum tentu dua kali makan pakai nasi.

Kadang juga susah kalau harus traveling ke luar kota atau pulau. Rutinitas makan sehat bisa terganggu karena menu yang tersedia tidak mengizinkan. Tapi serunya, ke mana pun pergi dan bertemu dengan orang-orang, banyak yang mengaku sedang mengadopsi hidup lebih sehat.

Caranya: Tidak lagi makan nasi. Weleh, weleh, weleh…

Semua yang mengaku hidup sehat kok mengakunya tidak makan nasi, ya? Bahkan ke mana-mana, selalu banyak yang merekomendasikan untuk tidak makan nasi. Atau mengurangi makan nasi. Tidak ada orang sehat yang merekomendasikan untuk semakin banyak dan semakin sering makan nasi.

Ada apa dengan nasi? Saya bukan ahli gizi. Jadi –seperti biasa dalam tulisan-tulisan lain– saya tidak akan sok tahu soal gizi. Yang pasti, kualitas kesehatan saya membaik setelah mengurangi makan nasi putih. Performa dalam berolahraga juga meningkat setelah lebih mengurangi atau mengatur makan nasi.

Bagi anak muda mungkin tidak masalah. Bagi yang tua-tua, rasanya, kok mereka yang sehat rata-rata merekomendasikan untuk mengurangi nasi.

Karena saya bukan ahli gizi, dan saya tidak ingin orang asal ikut-ikutan dengan apa yang tertulis di tulisan ini, maka saya akan menuliskan sebuah disclaimer: Bahwa tulisan ini tujuan utamanya untuk menggelitik pikiran dan semoga bisa menghibur. Jadi, mohon maaf kalau di kelanjutan tulisan ini ada ngocol dan ngawurnya. Tolong jangan tersinggung.

Nah, sekali lagi, ada apa dengan nasi? Jangan-jangan negara kita ini tidak bisa maju karena masyarakatnya makan nasi. Paling tidak kalau dibandingkan dengan negara-negara yang lebih maju.

Di negara-negara maju, Amerika misalnya, yang direkomendasikan untuk makan lebih sehat adalah mengurangi makanan berminyak dan berlemak. Bukan mengurangi makanan secara spesifik, seperti mengurangi nasi. Tapi, di negara-negara Barat itu, pada dasarnya memang tidak makan nasi.

Tentu sulit untuk membandingkan kualitas kesehatan manusia dari satu negara dengan yang lain. Dan kalau mau dipikir-pikir, tiap negara dan budaya makan juga punya masalah kesehatan yang beda-beda.

Di negara maju, mungkin masalahnya kanker. Jangan-jangan karena tradisi mengonsumsi makanan yang diproses?

Di negara Timur Tengah, mungkin masalahnya jantung. Jangan-jangan karena makanannya daging terus?

Di negara lain, masalahnya lain lagi. Termasuk Indonesia.

Tapi, sebenarnya mungkin ada cara untuk mengukur kualitas performa manusia. Yaitu lewat prestasi olahraga.

Caranya, melihat klasemen akhir Olimpiade. Di Olimpiade Rio tahun lalu, misalnya, dari sepuluh negara teratas, peringkat 1 dan 2-nya adalah negara yang makanan utamanya bukan nasi (Amerika Serikat dan Inggris). Baru peringkat ketiga makan nasi (Tiongkok).

Dari lima besar, hanya Tiongkok yang banyak makan nasi. Dari sepuluh besar, hanya Tiongkok (ke-3), Jepang (ke-6), dan Korea Selatan (ke-8) yang masyarakatnya makan nasi.

Tujuh dari sepuluh adalah negara yang makanan utamanya bukan nasi! Mereka makan karbo yang lain, tapi bukan nasi!

Padahal, seharusnya, semakin banyak penduduk, semakin besar peluang naik peringkat. Tapi, mungkin gara-gara makan nasi, asumsi ini tidak terjadi?

Dan siapa tahu, kalau mengurangi ketergantungan pada nasi, bukan hanya masalah performa olahraga yang terselesaikan. Mungkin kalau mengurangi nasi, masalah-masalah politik, korupsi, dan problem-problem mental lain di Indonesia bisa berkurang. Wkwkwkwkwkwkwk…

Sekarang bayangkan kalau ada sebuah revolusi besar di Indonesia (lebih besar daripada revolusi mental) yang menegaskan bahwa makanan utama kita bukanlah nasi. Ada gerakan besar perbaikan gizi yang mengubah menu utama nasi menjadi jenis karbo yang lain. Dan tiba-tiba, Indonesia menjadi negara yang melangkah lebih maju. Ekonomi lebih baik, peringkat Olimpiade di lima besar.

Lalu, di masa depan, sejarah akan menuliskan bahwa Indonesia berubah besar karena tidak lagi menjadi negara yang menu makanan utamanya nasi!  Siapa tahu… (*)