Radio Bertahan Andalkan Keakraban

Nasib Bisnis Frekuensi Udara di Tengah Terjangan Arus Informasi

DI RADIO. Salah satu siaran di Radio Volare FM, Pontianak. Rizka Nanda-RK

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Cara manusia berkomunikasi terus berkembang. Kalau dulu informasi dinikmati sangat terbatas, kini beragam pilihan bisa digunakan. Pada masanya, radio pernah meraih kejayaan. Namun, benarkah ia kini ditinggalkan para pendengarnya?

Muhammad Syafi’i, seorang guru berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) di Desa Kapur, Kabupaten Kubu Raya. Pria yang baru memasuki usia kepala lima tersebut tumbuh dari generasi yang dulu mendengarkan radio.

“Kini sudah jarang, di rumah tidak ada radio lagi,” tuturnya kepada Rakyat Kalbar, Sabtu (25/2).

Bapak tiga anak ini mengaku gandrung mendengar radio di masa mudanya. Kala itu, tahun 80-an hingga awal 90-an. Radio merupakan hiburan andalannya.

“Dahulu suka mendengar lagu dangdut dan kirim salam. Karena memang hanya itu yang ada, televisi waktu itu belum kayak sekarang,” cerita Syafi’i. Dia pun masih mengingat beberapa kebiasaannya kala itu, termasuk menjemur baterai di siang hari untuk dipakai menyalakan radio pada malamnya.

Dan kini masa tersebut berlalu. Ia tidak lagi begitu akrab dengan radio.

“Mungkin masih didengar kalau lagi bulan puasa,” selorohnya.

Lain Syafi’i, lain Juliansyah. Pegawai di salah satu perusahaan swasta ini mengaku jadi pendengar radio sejak menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah.

“Selepas tamat SMK terus kuliah di Pontianak, ya radio satu-satunya hiburan di kamar,” kisahnya.

Ia yang indekos ketika kuliah itu mengaku baru mendengar radio ketika sudah pindah ke Pontianak. “Di kota asal, radio tidak terlalu menghibur. Di Pontianak baru dapat suasana baru mendengarkan radio,” ujar pria asal Sekadau itu.

Slankers ini mengaku ada sisi yang sulit dijelaskan ketika mendengar radio. “Dulu sebelum sosmed (sosial media) lahir, penyiar-penyiar radio itu sosok misterius yang dikagumi. Hanya suaranya, tanpa diketahui wujudnya seperti apa,” tuturnya. “Jadi bisa dibilang radio itu melatih imajinasi pendengar,” tambah Juliansyah.

Hingga sekarang, ia masih pendengar setia radio. Meski tidak sesering dahulu, namun ia mengaku mendengar audio melalui frekuensi udara itu pilihan mencari hiburan.

“Kalau cuma mendengar MP3 kan bosan, lebih seru mendengarkan radio, juga dapat update lagu baru,” terangnya.

Bagi pendengar lainnya, Sayuti Aryudi, radio adalah tempat menyalur hobinya. Dia doyan berkaraoke. Menurutnya, menyanyi di rumah sendiri tidak ada yang mendengar. Jika disiarkan secara langsung di radio, suaranya itu akan banyak didengar orang sehingga menimbulkan kepuasan tersendiri.

“Walau tidak ada yang lihat, saya merasa nyanyi di suatu pentas, didengar oleh para penggemar saya,” paparnya ditemui di Stasiun Radio Diah Rosanti 95,9 FM, Pontianak.

Dengan menyanyi di radio, Sayuti merasa bisa mengekspresikan dirinya. Meskipun, menurut dia, pendengar juga belum tentu menyukai lagu yang dibawakannya.

Yap, perubahan zaman, mau tidak mau harus dihadapi industri media apapun. Keluasan pilihan sumber informasi dan hiburan menjadikan radio harus bersaing ketat, tidak hanya dengan sesama radio, namun juga media lainnya. Ini diakui Dewi Utami, Station Manager Radio Volare 103,4 FM.

“Jadi kalau dibilang agak sulit, ya sulit juga karena secara bisnis kita harus berbagi dengan banyak media. Sebelumnya mungkin orang mau promosi di mana, ya di radio,” ujar Dewi ditemui Rakyat Kalbar, di kantornya, Jumat (24/2).

Untuk saat ini, menurut dia, opsi untuk promosi dan iklan semakin banyak. Karena itu banyak yang beranggapan bahwa bisnis radio di masa sekarang sudah sulit. Namun demikian, Dewi meyakini bahwa bisnis radio akan terus bertahan.

“Karena sampai sekarang masih ada orang yang mendengarkan radio. Dan selama masih ada orang yang mendengarkan radio, bisnis ini masih akan terus bertahan,” terangnya.

Ia pun tidak percaya bahwa radio telah ditinggalkan pendengarnya. Ia meyakini justru radio yang belum dikenal oleh generasi masa kini yang tumbuh bersama gadget dan internet.

“Jadi bukan orang udah nggak dengar lagi, tapi memang mereka yang besar di generasi sekarang ini belum kenal sama radio. Jadi kalau ingin radio itu didengar orang, ya mereka (pengelola radio) harus berkenalan,” ungkap Dewi.

Analoginya, menurut dia, Youtube. Untuk orang-orang generasi dulu yang tidak begitu mengenal dan akrab dengan Youtube, mungkin tidak tahu kegunaan dan manfaat laman berbagi video tersebut.

“Yang nggak tahu Youtube itu apa pasti merasa nggak perlu ah nonton Youtube buat apa, lebih baik dengar radio,” ucapnya.

Nah, lanjut Dewi, jika radio ingin bertahan, yang harus dilakukan adalah membuat penyesuaian agar generasi masa kini mau mengenal radio. “Dan kalo dia sudah kenal radio, dia akan memutuskan, dia suka atau tidak. Kalau dia suka dia akan terus dengar, kalau nggak, mungkin bukan media itu yang cocok buat dia,” terang perempuan yang pada Februari ini genap berusia 44 tahun.

Pertanyaannya, bagaimana supaya orang terus tahu, kenal, kemudian tertarik untuk mendengar radio? “Jadi kalau sekarang musimnya media sosial, ya muncul lah juga di media sosial, kalau sekarang orang dengar apa-apa dari internet ya muncul lah di internet,” tambah Dewi.

Dia menerangkan, keberadaan radio tidak akan bisa digantikan oleh media-media lainnya, karena radio punya karakteristik yang jadi keunggulannya. “Radio itu akrab. Mendengar seseorang yang bersiaran di radio, kita bisa merasakan kedekatan. Tidak sama, seperti ketika misalnya kita membaca di koran,” jelasnya. Sifat personal antara penyiar dan pendengar inilah yang menjadi kekuatan radio, termasuk untuk kepentingan periklanan.

Selain itu, radio punya keunggulan bisa didengarkan sembari tetap menjalankan aktivitas lain. “Kita bisa ngetik sambil dengar radio tapi tidak bisa ngetik sambil baca koran. Kita bisa mandi sambil dengar radio, tapi kita tidak bisa mandi sambil nonton televisi. Jadi, radio bisa tetap dinikmati sambil tetap kita menjalankan aktivitas kita,” papar Dewi.

Senada, pemilik Radio Diah Rosanti, Riduan Said. Ia sangat yakin radio masih mempertahankan eksistensinya karena memiliki pasar tersendiri.

“Meskipun sekarang banyak media, ada banyak televisi, internet, tetapi pendengar radio ini ada segmen tertentu. Buktinya, kalau kita siaran tetap ada yang nelpon, minta lagu, kirim surat tetap banyak,” ujarnya kepada Rakyat Kalbar, di stasiun radionya, Jalan Nurali No. 30, Pontianak.

Misalnya, lanjut dia, pada acara talk show atau acara keagamaan, yang diisi telpon interaktif. Di acara itu, pasti ada pendengar yang menelpon.

“Dari situ juga kita bisa tau bahwa kita ini masih didengar,” ungkap Riduan.

Namun, ia tak menafikan penurunan jumlah pendengar. Bisnis radio tentu ada persaingannya. Dengan demikian, stasiun selalu berupaya untuk memberikan yang terbaik untuk pendengarnya.

“Kalau dibilang menurun sudah pasti, karena media ini kan bersaing. Jadi bagaimana kita menampilkan sesuatu yang bisa membuat orang setiap saat ingin mendengarnya,” imbuh dia.

Ciri khas dari masing-masing stasiun radio pun harus ada. Mulai dari acaranya, penyiarnya, dan suara yang diterima pendengar.

“Pengalaman saya, pendengar radio ini sebenarnya sangat fanatik,” sebut Riduan.

Radio Diah Rosanti 95.5 FM mulai siaran dari pukul 04.30 hingga 23.00. Dari sejak berdiri hingga sekarang, kata Riduan, pendengarnya berubah tergantung umur. Uniknya, ada juga pendengar yang turun temurun.

“Pendengar fanatik itu menetap, pernah ada satu keluarga mendengar radio, jadi dari ibunya turun ke anaknya masih dengar radio,” pungkasnya.

Eksistensi masa depan radio ini diamini Syarifah Aryana, Komisioner Komisi Penyiaran Daerah Kalimantan Barat. “Sebab memiliki penikmat sendiri, ini tidak bisa kita nafikan, bahkan lebih jelas sebenarnya siapa pendengarnya dan pangsa pasarnya,” tuturnya.

Imbuh dia, “Yang penting radio ini mampu menjadikan program yang dicari-cari, karena radio ini punya sisi unggulnya sendiri. Yang penting mampu nggak lembaga penyiaran bersaing secara program”.

Di daerah, ia menyebut, antusiasme terhadap radio masih sangat tinggi. “Di Kapuas Hulu, radio sangat luar biasa. Temen-temen di daerah itu nalurinya untuk mendirikan radio sangat tinggi,” terangnya.

Dan, di beberapa daerah, menurut dia, radio masih menjadi sumber informasi utama. “Kita temukan beberapa radio komunitas itu menjadi sumber informasi, semua berita mereka siarkan, semua acara di kecamatan mereka siarkan live. Dan ini masih dibutuhkan masyarakat,” jelas Aryana.

Karena itu, ia menilai peluang untuk mengembangkan industri penyiaran khususnya radio di daerah masih terbuka luas. “Sering saya sampaikan ketimbang ngotot di kota, kenapa sih nggak di daerah? Gandeng pemerintah, mereka kan butuh juga sosialisasi kepada masyarakat,” tukasnya.

Komisioner yang membidangi perizinan lembaga penyiaran ini mengatakan demikian karena di perkotaan, industri radio dihadapkan persaingan yang sangat ketat. “Beberapa teman-teman lembaga penyiaran mengeluhkan iklan kok susah,” beber Aryana.

Sebagai salah satu pemangku kepentingan dunia penyiaran di Kalimantan Barat, ia menilai, Kota Pontianak memiliki radio yang cukup variatif. Makanya, salah satu pekerjaan rumah bagi insan radio di Pontianak adalah bagaimana meningkatkan kualitas sumber daya manusia di dunia penyiaran.

“Wacana sertifikasi penyiar, saya setuju itu,” ungkap dia. Dengan adanya sertifikasi tersebut, selain untuk menjamin kualitas sumber daya manusia, juga berguna untuk membangun standardisasi kesejahteraan bagi pekerja lembaga penyiaran.

Sertifikasi penyiar memang masih wacana, yang pasti Aryana meminta agar lembaga-lembaga penyiaran khususnya di Pontianak untuk fokus dalam mengembangkan konten dan program yang menarik ketimbang saling bersaing soal pembagian iklan. “Harapannya agar persaingan itu diarahkan bagaimana bersaing menghadirkan program yang baik, yang membuat orang itu mencari, nanti kalau pendengarnya ada dengan sendirinya kue (iklan) ini akan datang,” tandasnya.

 

Laporan: Iman Santosa, Rizka Nanda, Ambrosius Junius

Editor: Mohamad iQbaL