eQuator.co.id – Jakarta-RK. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mewaspadai puncak musim hujan pada bulan ini yang memicu bencana hidrometrologi. Sebab, cuaca ekstrim diperkirakan bakal sampai akhir Februari dan berlanjut Maret.
BNPB mencatat bencana pada awal tahun ini hingga kemarin (22/2) melanda 22 Provinsi yang mencakup 95 kabupaten/kota. Jumlah korban tercatat ada 29 orang. Termasuk tiga korban banjir di Jabodetabek.
“Warga terdampak 800 ribu orang. Langsung maupun tak langsung perhari ini (kemarin, red),” kata Kepala BNPB Willem Rampangilei di kantor BNPB Jakarta kemarin.
Dari pendataan BNPB, warga yang tinggal di kawasan rawan bencana banjir sekitar 60 juta orang. Sedangkan yang mendiami daerah rawan longsor 40 juta orang. Hingga Januari sudah ada 304 kali kejadian, paling banjir dengan 104 kali.
Lebih lanjut, Willem menuturkan khusus banjir di Jakarta penyebab utamanya bukan hanya makin berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH). Tapi juga penurunan muka tanah. “Pertahun ada yang sampai 10 cm di Jakarta Pusat kata Kementerian PU,” ujar dia.
Penurunan muka tanah itu dipicu oleh penyedotan air tanah secara tak terkendali. Sehingga air tanah makin sedikit dan ada rongga yang menyebabkan penurunan muka tanah karena beban bangunan. “Jakarta hampir sama dengan kota lain. Semua sedot air tanah,” ungkap dia.
Faktor lain yang menyebabkan banjir semakin parah karena daerah lain di sekitar Jakarta juga sudah tak mampu menampung air. Misalnya di Kota Tangerang air hujan yang langsung mengalir sekitar 82 persen, sisanya hanya terserap ke dalam tanah 12 persen dan 16 persen menguap.
Sedangkan di Kota Bekasi air hujan yang mengalir di permukaan 80 persen, terserap 7 persen, serta sisanya menguap 13 persen. Sementara kondisi di Jakarta, air hujan yang mengalir begitu saja mencapai 85 persen, terserap tanah 6 persen, sedangkan sisanya menguap.
“Daya air yang tertahan di daerah aliran sungai hanya 15 persen. Sisanya masuk ke dataran rendah,” ungkap Willem.
Dia mengungkapkan dengan kondisi Jakarta yang sudah begitu padat oleh bangunan akan sangat sulit untuk menambahkan RTH. Dia menyebut penanggulangan banjir di Jakarta harus dengan teknologi. Seperti pembuatan bendungan, kanal, hingga pemanfaatan pompa air.
“Hanya satu jawabannya teknologi kontruksi. Belanda yang dibawah permukaan air laut saja bisa,” ungkap dia.
Di sisi lain, Pakar Tata Kota Nirwono Joga menuturkan kota-kota di Indonesia tak bisa dibandingkan dengan kondisi di Belanda. Sebab, iklimnya saja berbeda. Belanda subtropis, sedangkan Indonesia tropis. “Disini curah hujannya lebih tinggi dan lama. Jadi tidak aple to aple,” kata dia.
Dosen di Universitas Trisakti itu mengungkapkan Belanda sebenarnya punya konsep pembangunan khusus yang diterapkan saat zaman kolonial di Indonesia. Yakni membangun kota-kota di dalam taman. Karena, iklim tropis Indonesia itu butuh pohon dan tanaman untuk mengurangi panas. “Contohnya Menteng dan Kebayoran Baru di Jakarta. Di Malang ada kawasan Jalan Ijen,” kata Joga.
Indonesia sebenarnya sudah punya Undang-undang 26/2007 tentang Penataan Ruang yang mewajibkan setiap kota minimal punya 30 persen RTH. Pada tahun ini, RTH Jakarta sekitar 9,89 persen. Joga menyebut dari 120 kota di Indonesia yang pernah dia teliti rata-rata RTH yang dimiliki hanya 9-11 persen. “Mestinya porsi RTH itu yang didorong. Bukan hanya fokus segera membuang air ke laut,” tegas dia.
Terkait penurunan muka air tanah, Joga menuturkan kondisi itu berkaitan erat dengan minimnya RTH yang jadi resapan air. Air hujan tak bisa mengisi ulang air tanah yang rupanya sudah disedot oleh sumur-sumur dalam. Sehingga permukaan tanah pun turun karena beban konstruksi.
Data yang dia miliki penurunan muka tanah itu pada rentang 4-24 cm pertahun di Jakarta. Makin ke utara penurunan makin cepat, karena tanah di Jakarta Utara relatif lebih lunak.
“Reklamasi di pantai utara Jakarta akan mempercepat penurunan muka tanah. Jakarta Utara akan jadi pemukiman yang tak layak huni,” imbuh dia.
Sementara itu, Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi potensi curah hujan tinggi terjadi sepanjang Februari ini. Maka potensi hujan lebat harian dapat meningkatkan peluang terjadinya bencana Hidrometeorologi. “Frekuensi hujan yang cenderung meningkat ini lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lokal,” ujar Humas BMKG Hary T. Djatmiko kemarin (22/2).
Dia menuturkan dalam beberapa hari kedepan terdeteksi ada aliran udara basah dari Samudera Hindia. Kondisi itu membuat wilayah Sumatera bagian Selatan, Banten, Jawa Barat, dan Jabodetabek cenderung dalam kondisi udara yang cukup basah. Hujan lebat disertai kilat dan petir bisa dipicu perlambatan dan pertemuan angin yang membuat udara tak stabil.
“Kondisi tersebut didukung dengan kuatnya monsun Asia yang menyebabkan batas wilayah udara basah terkonsentrasi di sekitar pesisir selatan Jawa,” ujar Hary.
BMKG juga mencatat Suhu muka laut (SML) di Samudera Hindia Selatan Jawa Barat juga meningkat berkisar 28-30 derajat celsius yang mendukung pertumbuhan awan hujan. Kelembapan udara di beberapa daerah juga lebih dari 70 persen. Seperti di Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Banten, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua Barat.
“Diperkirakan potensi hujan akan meningkat dalam beberapa hari kedepan,” tegas Hary.
Khususnya di wilayah pantai barat Sumatera, Sumatera bagian utara, Sumatera bagian selatan, Bengkulu, Riau, Lampung, Banten, Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi bagian Tengah, Sulawesi bagian Selatan, dan sebagian besar Papua.
Kisah Heroik Relawan Banjir Jakarta
Menyelamatkan Bayi dan Lansia
Banjir tak hanya menyusahkan warga, tetapi juga sarat kisah heroik orang-orang yang terlibat operasi penyelamatan dan evakuasi warga tak berdaya. Misalnya, yang dilakukan Taufiq Hidayat, relawan Badan Amil Zakat Nasional, di Jakarta, Selasa (21/2).
Jarum jam sudah menunjuk pukul 07.00 lebih namun hari masih gelap. Mendung memang menyelimuti langit Jakarta. Malam sebelumnya (20/2), hujan turun cukup deras. Akibatnya, banjir kembali ’’menenggelamkan’’ ibu kota, termasuk kawasan Cipinang Melayu, Jakarta Timur, tempat tinggal keluarga seorang warga bernama Sundari.
Dan, seperti biasa, bila Jakarta terendam banjir, Taufiq Hidayat langsung turun gunung. Relawan Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) itu selalu tergerak untuk terlibat dalam upaya penyelamatan dan evakuasi warga yang terjebak banjir. Kebetulan, saat itu dia berada di kawasan dekat rumah Sundari.
Ketika dia mendayung perahu karet di tengah banjir sedalam dada orang dewasa, tiba-tiba seorang warga berteriak ke arah Taufiq. ’’Pak, itu tolong, Pak. Bu Sundari sama bayinya terjebak di rumahnya. Di sana itu rumahnya,’’ ujar warga tersebut kepada Taufiq sambil menunjuk rumah yang dimaksud.
Tanpa berpikir panjang, Taufiq dan tim relawan Baznas bergegas menuju rumah Sundari yang berada agak ke tengah kampung. Setelah perahu mendekat, terdengar samar-samar suara tangisan bayi. Tetapi, Taufiq cs belum bisa memastikan dari arah mana suara bayi tersebut. Sebab, permukiman itu cukup padat.
Maka, tim Baznas kemudian berupaya mendekat ke salah satu gang untuk mencari sumber suara tangisan bayi tersebut. Namun, sayang, perahu tak bisa masuk karena gang itu sempit. Sebagai ketua regu penyelamatan, insting Taufiq langsung berusaha mencari jalan alternatif. Dia lalu memutuskan untuk turun, sedangkan perahu diparkir di muka gang.
’’Menuju rumah Bu Sundari harus melewati gang sempit, gelap. Aksesnya sulit, dalem, dan arusnya deras,’’ ujar kepala Tim Disaster Tanggap Bencana Baznas tersebut.
Setelah berenang melewati gang sempit itu, Taufiq bersama seorang relawan lainnya berhasil menemukan sumber suara tangisan bayi tersebut. Namun, untuk masuk sampai ke pintu rumah, tidaklah mudah. Berkali-kali dia sempat terseret arus. Setelah berusaha lebih keras, Taufiq dan rekannya bisa mendapatkan pegangan di kusen jendela rumah Sundari. Namun, kuatnya arus air mendorong tubuh Taufiq sehingga jendela yang dipeganginya rusak. Krak…
’’Jendelanya copot. Saya langsung memegang kayu kusen yang lain,’’ ungkapnya.
Setelah bisa menguasai kondisi, Taufiq dan kawannya masuk ke rumah Sundari lewat jendela. Lantai 1 rumah dua lantai itu sudah berantakan. Semua barangnya mengapung.
’’Di dalam itu kondisinya parah. Berantakan. Listrik mati,’’ katanya.
Keduanya lantas bergegas naik ke lantai 2 tempat Sundari dan bayinya, Rizky, 6 bulan, serta Mardiah, 60, ibu Sundari, menyelamatkan diri dari banjir. Tetapi, lagi-lagi sial. Badan Taufiq terempas ke tengah rumah yang kini sudah berubah menjadi kolam itu. Taufiq tidak mengetahui kalau tangga menuju lantai 2 terbuat dari kayu dan sudah lapuk.
’’Anak tangganya patah saat saya injak,’’ ungkapnya.
Untuk kali kedua, Taufiq berusaha naik lagi. Dengan sangat hati-hati, bapak tiga anak itu menuju ke lantai 2 dengan berpegang pada kayu di kanan-kiri tangga. Dan, alangkah terkejutnya dia begitu melihat Sundari beserta bayi dan neneknya di lantai 2. Ketiganya terpuruk di salah satu sudut lantai 2 rumah. Sundari memeluk anaknya. Keduanya bertangisan, sedangkan Mardiah, ibunya, berusaha tenang.
’’Bu Sundari tampak panik luar biasa. Maklum, dia hanya bersama anaknya yang masih bayi dan ibunya yang sudah tua. Dia juga tak bisa berenang menyelamatkan diri,’’ papar Taufiq.
Saat itu, keluarga Sundari memang satu-satunya yang masih terjebak banjir. Warga lain di kampung tersebut sudah mengungsi atau dievakuasi. Karena itu, tak heran bila dia tampak panik karena air terus naik.
Taufiq tak sempat bertanya tentang keluarga Sundari yang lain. Dia hanya melihat rumah tersebut cuma dihuni tiga orang tak berdaya itu. Dia pun berupaya menenangkan ketiganya, lalu meminta rekannya untuk membuat jalur evakuasi. Caranya, membentangkan tali dari lantai 2 rumah Sundari menuju ujung gang tempat perahu karet diparkir. Dengan tali itu, Sundari dan ibunya bisa menitinya hingga ke perahu karet. Sedangkan evakuasi Rizky dilakukan Taufiq dengan menggunakan bak mandi bayi yang diapungkan.
Proses evakuasi cukup menegangkan karena arus air cukup deras. Si bayi terus menangis. Apalagi saat ditidurkan di bak mandi dan dibawa Taufiq menuju perahu. Tangisnya semakin menjadi-jadi.
’’Anaknya nangis terus. Untungnya pas keluar dari gang lebih mudah. Saya ikutin arusnya, tetapi tetap menjaga keseimbangan baknya agar tidak tumpah,’’ jelasnya.
Sepanjang perjalanan menuju perahu karet yang sudah menunggu di ujung gang, Taufiq berenang menerobos banjir. Agar tidak terbawa arus, dia berkali-kali mendekat ke tembok. ’’Jadi, saya nempel-nempel gitu. Saya berenang sambil megang bak sambil jaga supaya tidak terlepas dari tali,’’ ujarnya.
Setelah mengevakuasi Rizky, giliran neneknya yang dituntun sambil berpegangan tali. Juga ke perahu. Apalagi, si nenek sudah dipasangi life jacket. Baru setelah itu giliran Sundari yang juga dikawal hingga ke mulut gang.
Bagi Taufiq, pengalaman mengevakuasi Rizky merupakan peristiwa paling dramatis sepanjang tugasnya sebagai relawan kemanusiaan sejak 2006. ’’Sejak remaja saya sering iri kalau lihat tim penyelamat berjibaku di tempat bencana. Makanya, saya lalu terjun menjadi relawan dan memilih jalur pengabdian ini,’’ ungkapnya. (Jawa Pos/JPG)