Enak tapi Semakin Langka

Kue Tradisional Pontianak

SUMBER. Keluarga Keraton Kadriah Pontianak, Syarif Hamdan Alkadrie saat ditemui di Keraton, Sabtu (18/2). IGK Yudha Dharma-RK

eQuator.co.id – Pontianak RK. Beragam jenis kue se-Nusantara punya cita rasa tersendiri yang menjadi identitas daerah masing-masing. Sayangnya, di Kalbar, khususnya Pontianak, keberadaan sajian kue tradisional kini semakin jarang ditemukan.

Syarif Hamdan Alkadrie, bagian dari keluarga besar Keraton Kadriah, menyatakan Pontianak memiliki banyak jajanan tradisional dengan rasa yang nikmat. “Biasenye orang sini nyebutnye Juadah atau kue,” tutur Hamdan ditemui di Keraton Kadriah Pontianak, Sabtu (18/2).

Contohnya, kata dia, Bingke Berendam yang sudah dikenal se-Indonesia. Menurut Hamdan, bingke terenak yang pernah ia rasakan bikinan dari sebuah toko di wilayah Kelurahan Bansir, Pontianak Tenggara.

“Jadi pernah di Keraton nih ade yang buat bingkenye tuh ngabeskan telok sampe 100 biji. Bentoknye tuh padat, cuman lembut. Dan itu rasenye enak sekali, tak bakal mampu kau ngabeskan sorang,” cerita dia.

Kemudian ada Cengkaruk yang biasanya terbuat dari ketan putih. Cara pembuatannya, lanjut Hamdan, digongseng lalu dihaluskan sampai jadi tepung.

“Abes itu barulah dikodak (diaduk) dengan gule merah,” ujarnya.

Tapai Menaon pun termasuk jajanan tradisional lain yang kini sulit ditemui. Terbuat dari ketan hitam.

“Tapi ketan itam tuh ade dua jenis, kalau yang dibilang orang Pontianak tuh padi arang. Ah, ndak bagos kalau pakai itu. Harus pakai yang asli, abes itu pakai ragi tapai,” jelas Hamdan.

Cara pembuatannya, ketan hitam dibersihkan terlebih dahulu, kemudian dikukus. “Macam ngukus nasi dalam dandang,” kata dia. Setelah itu dihamparkan di atas sebuah penampan untuk didinginkan.

Ketika ketan yang dikukus dingin, barulah dipindahkan ke dalam wadah yang sudah dilapisi daun pisang. Taburkan ragi tapai yang telah ditumbuk secara halus ke atas ketan, barulah ditutup dengan lapisan daun pisang. Wadah yang menampung ditutup dengan kain dan diikat rapat-rapat.

“Kalau raginye bagos, itu sekitar dua hari udah masak, sampai keluar bau-bau tapai. Jadilah tuh Tapai Menaon,” terangnya.

Ada pula Madu Kandis yang di bagian bawahnya terdapat kacang hijau. Setahu dia, kue itu seperti kukus yang terbuat dari tepung, telur, dan campuran susu.

“Ah itu luar biase rasenye,” ujar Hamdan.

Di keraton, ada jenis minuman yang biasanya dijadikan sebagai hidangan penutup di acara-acara besar kesultanan. Biasanya disebut air pengusir.

“Kalau aek itu udah keluar, orang udah pasti ngerti. Saye pun ndak tau pasti itu terbuat dari ape, karna saye tak pernah mandang langsung orang bikinnye gimane. Tapi yang saye rase tuh ade cengkeh yang kuat, manis, pedas. Enaklah pokoknye,” ungkapnya.

Kuliner tersebut memang spesial dihidangkan saat ada acara besar di Keraton Kadriah Pontianak. “Jadi kalau ade acara-acara tuh, orang biase betanyak, ape gak tempat acara nih juadahnye? Itu maksudnye ade kue ape di acara nih,” terang Hamdan.

Menurut dia, sebenarnya banyak ragam juadah di Pontianak. Ada Lepat Lau, kue Jorong-jorong, lalu Kole-kole.

Memang, Hamdan mengakui keberadaan penganan tersebut setakat ini semakin jarang karena sangat sedikit generasi muda yang mau melestarikan jajanan khas tradisional itu. Jangankan melestarikan dengan membuatnya, bentuknya pun mungkin banyak remaja kini yang tak mengetahuinya.

Kelangkaan kue-kue enak tersebut pun, ia menganalisa, salah satu penyebabnya adalah orang yang membuat makanan tradisional tak lagi menjaga kualitas rasa yang asli. Alias memasaknya asal jadi. Beda dengan orang jaman dulu yang selalu menjaga kualitas. Padahal saat itu mereka masih melakukannya secara manual, tanpa bantuan mesin ataupun alat elektronik.

Alhasil, ketika banyak wisatawan asing maupun domestik yang berwisata ke Pontianak dan bertanya dimana tempat makan khas, Hamdan mengaku bingung menjawab hal itu. Karena memang belum ada tempat makan yang menyajikan seluruh makanan khas Pontianak.

“Kalau ndak ade yang buat, ape yang nak dirase khas dari Pontianak nih, mane khasnye? Kan budaya ndak cuman bangunan, tarian, tapi makanannye juga,” tegasnya.

Ia berandai-andai, jika saja anak muda sekarang yang didukung kemajuan teknologi dan informasi mampu mengolahnya, pasti jajanan tradisional tersebut akan berkembang hingga menjadi produk modern yang bersaing dan memiliki nilai jual tinggi. Dan, ini yang paling penting, kata Hamdan, kalau anak-anak muda mau turun tangan, jajanan tradisional akan terus ada dan tak punah ditelan jaman.

Menurut dia, perlu kesadaran masyarakat serta tindakan nyata pemerintah untuk mengenal, melestarikan, hingga mempromosikan jajanan Pontianak agar dikenal luas masyarakat Indonesia hingga mancanegara.

Kepada Rakyat Kalbar, Hamdan mengatakan ada warga yang masih terus memproduksi juadah-juadah langka ini. Tinggalnya dekat Keraton Kadriah, dan biasanya memang membuat kue untuk sajian di acara kesultanan.

Ia bernama Syarifah Latifah Alkadrie. Perempuan berusia 35 tahun ini memang dikenal dengan usaha kue tradisional. Kebanyakan penganan buatannya khas, biasanya dulu disajikan untuk raja-raja di acara kesultanan Keraton Kadriah Pontianak.

Latifah paham betul bagaimana membuat kue-kue yang disebutkan oleh Syarif Hamdan Alkadrie, seperti Batang Burok, Madu Kandis, Putri Salat, Tumpor, Tapai Menaon, Rotikap, Korket Kepal, serta Singkep-Singkep.

Ditemui di kediamannya, Latifah menjelaskan beberapa kue seperti Madu Kandis yang terbuat dari kacang hijau, santan, dan susu. Lalu Batang Burok yang komposisinya terbuat dari daging dan disiram dengan santan, kue ini yang biasanya sering dihidangkan untuk sultan-sultan jaman dahulu.

Sedangkan Singkep-Singkep dilihat sekilas menyerupai kue bolu yang diolesi selai strawberry dan disiram susu. Kalau Putri Salat terbuat dari ketan hitam dan putih.

Dihubungi Rakyat Kalbar, Dony Prayudi, food blogger asal Pontianak menilai makanan tradisional yang tergerus oleh zaman karena bentuknya yang tidak menarik atau rasanya yang monoton. “Tapi saya pikir bukan kesalahan penganan tradisionalnya itu, tapi mungkin pemahaman masyarakat tentang makanan itu yang salah,” ujarnya. Ia menyebut bahwa setiap jenis kuliner dan penganan memiliki sejarah dan kisah pembuatannya sendiri.

Dony mencontohkan, antara ce hun tiaw dengan cendol atau dawet sekilas terlihat sama saja, padahal berbeda. Selain dari asalnya juga dari bahan pembuatnya.

“Kalau dari bahasa Tio Ciu, Ce itu dari kata Chiu Ce yang berarti ubi, Hun berarti Tepung, dan Tiaw artinya balok memanjang seperti mie. Jadi aslinya Ce Hun Tiaw itu dari tepung ubi, walaupun sekarang mungkin sudah berganti dengan sagu, sementara dawet itu aslinya dibuat dari tepung beras,” paparnya.

Menurutnya, dokumentasi terkait informasi dan sejarah kuliner sesuatu yang tidak kalah penting dilakukan. “Untuk menjaga agar informasi ini tidak hilang,” ungkapnya.

Dony pun melihat bahwa beberapa penganan khas Pontianak sekarang hanya bisa ditemui pada momen tertentu. “Seperti jorong-jorong, kalau bukan di bulan puasa, kita sulit menemukannya,” tukasnya.

Setidaknya, lanjut dia, ada 70 jenis jajanan di Pontianak yang pernah ia data bersama komunitas penikmat makanan. Mulai dari yang sangat tradisional seperti Lempeng Anyak hingga yang populer macam Pisang Goreng Pontianak.

Dony menilai, keragaman kuliner di Pontianak sebenarnya potensi wisata yang layak untuk dikembangkan. “Ingat, objek wisata Pontianak ini sedikit. Tapi kita kaya akan kuliner, dan ini bisa jadi tumpuan wisata masa depan kota khatulistiwa ini,” ungkap pemilik akun instagram @dodon_jerry itu.

Ia menuturkan, tidak jarang wisatawan menyebut kuliner Pontianak salah satu yang terlezat dengan keragaman menunya. Tidak heran, beberapa gerai kuliner asal Pontianak membuka cabang hingga ke Ibukota negara.

Dony berharap agar masyarakat bangga dan melestarikan keragaman kuliner Pontianak ini. “Mari belajar dari negara lain yang terus melestarikan makanan dan minuman khasnya,” pungkasnya.

 

Laporan: IGK Yudha Dharma, Iman Santosa

Editor: Mohamad iQbaL