eQuator – Pertemuan Presiden RI Joko Widodo dan Presiden AS Barack Hussein Obama beberapa waktu lalu disebut-sebut diatur oleh konsultan dari Singapura yang membayar sebesar 80 ribu dolar AS kepada perusahaan PR di Las Vegas.
Menurut akademisi dari Australia National University (ANU), Dr. Michael Buehler, dalam artikelnya di website kampus itu, penggunaan jasa konsultan di balik pertemuan Jokowi dan Obama ini membuat orang bertanya-tanya pada kemampuan Jokowi mengendalikan stafnya.
Dia menyebutkan, konsultan Singapura Pereira International PTE LTD menjalin kontrak dengan R&R Partners, Inc. yang berada di Los Angeles. Perjanjian tanggal tanggal 8 Juni itu dicatat Kementerian Hukum AS pada tanggal 17 Juni.
Disebutkan dalam kontrak itu, R&R Partners berperan sebagai pihak yang mewakili lembaga eksekutif Republik Indonesia dan akan mengatur pertemuan dengan pembuat kebijakan dan anggota Kongres juga Kementerian Luar Negeri.
R&R Partners, masih di dalam itu, juga disebutkan akan berusaha menjadwalkan pidato Jokowi dalam sesi bersama di Kongres AS.
Kontrak tersebut ditandatangani Sean Tonner mewakili R&R Partners dan Derwin Pereira dari Pereira International.
Informasi lengkap dari Michael Buehler mengenai cerita konsultan di balik pertemuan Jokowi dan Obama dapat dilihat di link ini.
Pecat Menlu Retno
Kabar pertemuan Jokowi dan Obama difasilitasi perusahaan konsultan dari Singapura harus segera diklarifikasi oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
”Sangat memalukan jika kabar tersebut benar. Begitu rendahnya posisi tawar negara sebesar Indonesia kalau untuk bertemu Presiden AS harus diatur oleh makelar,” ujar Sekretaris Jenderal Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika), Sya’roni, Jumat (6/11).
Dalam peta pergaulan internasional, sebut Sya’roni, posisi Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Indonesia adalah anggota G-20, APEC, OKI dan berbagai organisasi internasional lainnya. Dengan seabrek posisi strategis tersebut mestinya menjadi sangat mudah bagi Presiden Jokowi untuk bisa bertemu dengan Presiden Obama.
”Menlu Retno harus segera bicara terbuka kepada publik. Kalau ternyata kabar makelar itu benar, Menlu Retno harus segera mengundurkan diri karena telah merendahkan lambang negara yakni Presiden Indonesia,” desak Sya’roni.
”Terasa aneh juga kenapa harus menunggu 1 tahun Presiden Jokowi baru bertemu Presiden Obama. Umumnya, jika ada presiden baru yang terpilih di suatu negara, berkunjung ke Gedung Putih merupakan agenda yang utama,” sambung Sya’roni.
Bisa jadi, menurut Sya’roni, lamanya Presiden Jokowi baru bisa bertemu Presiden Obama karena kegagalan pihak Kemenlu dalam melakukan loby ke AS. Para pejabat Kemenlu gagal menunjukkan kehebatan Indonesia di depan para petinggi AS.
”Indonesia negara besar, mestinya tidak perlu mengemis-ngemis untuk bertemu Obama, apalagi sampai harus membayar ke makelar. Pertemuan antar kepala negara harus dilakukan dalam posisi sejajar,” kata Sya’roni.
Kabar pertemuan Jokowi dan Obama diatur konsultan diungkap akademisi dari Australia National University (ANU), Dr. Michael Buehler. Menurut dia, pertemuan tersebut diatur oleh konsultan Singapura Pereira International PTE LTD dan konsultan PR di Las Vegas, R&R Partners, Inc. Pihak Pereira Internasional menurut Buehler, membayar sebesar 80 ribu dolar AS kepada perusahaan R&R Partners, Inc.
”Jika benar menggunakan makelar, maka jelas sekali Presiden Indonesia tidak memiliki posisi tawar di depan Presiden Amerika Serikat. Lantas buat apa ada kunjungan ke AS kalau hanya untuk merendahkan bangsa Indonesia,” kata Sya’roni.
Mestinya, masih kata Sya’roni, kalau Presiden Obama tidak bersedia bertemu Jokowi, Kemenlu tidak perlu memaksakan diri sampai harus membayar ke makelar.
“Penolakan AS bisa menjadi bahan instropeksi bagi Presiden Jokowi dan sekaligus menjadi pemacu untuk meningkatkan posisi tawar. Sebagai pembelajaran ke depan, jika kabar makelar itu benar, maka Presiden Jokowi harus memecat Menlu Retno, Dubes RI untuk AS, dan pejabat lainnya yang terlibat,” demikian Sya’roni. (Jawa Pos/JPG)