eQuator.co.id – Sidoarjo. Berbagai cara dilakukan jaksa agar bisa menjadikan Dahlan Iskan dan Wisnu Wardhana sebagai pihak yang bersalah dalam pelepasan aset PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim. Termasuk melalui upaya pengaburan keberadaan saksi fakta yang terkait dengan izin pelepasan aset dari DPRD Jatim.
Hal itulah yang tergambar dalam sidang lanjutan Selasa (7/2). Sidang sebenarnya digelar untuk Dahlan Iskan dan Wisnu Wardhana (WW). Namun, Dahlan tidak bisa mengikuti sidang karena tengah dirawat di rumah sakit.
Dalam sidang WW, jaksa berupaya mengonstruksikan bahwa penjualan aset PT PWU tidak mendapatkan izin dari DPRD Jatim. Upaya itu dilakukan dengan cara meminta keterangan dari saksi fakta yang dihadirkan. Yakni, Sekretaris DPRD Jatim Ahmad Jailani.
Jailani sebenarnya tidak bisa dikategorikan sebagai saksi fakta. Sebab, dia tak melihat dan mengalami sendiri peristiwa itu. Jailani baru menjadi sekretaris DPRD Jatim pada September 2014. Sedangkan hal-hal yang ditanyakan jaksa penuntut umum (JPU) terkait dengan peristiwa 12 tahun sebelumnya atau 2002.
Kondisi itulah yang membuat Jailani terkesan dijadikan saksi ahli oleh JPU. Pertanyaan-pertanyaan jaksa cenderung menimbulkan jawaban yang bersifat pendapat dari Jailani. Bukan atas fakta yang terjadi saat keluarnya surat izin pelepasan aset PT PWU dari DPRD Jatim pada 2002.
Apa yang digali jaksa dari Jailani itu sebenarnya berkaitan dengan ada atau tidaknya izin pelepasan aset PT PWU dari DPRD Jatim. Faktanya, PT PWU memang mengantongi izin penjualan aset dari DPRD Jatim. Izin itu dituangkan dalam surat bernomor 593/6083/040/2002.
Surat bertanggal 24 September 2002 tersebut ditandatangani Ketua DPRD Jatim periode 1999–2004 Bisjrie Abdul Djalil. Dalam surat itu, DPRD Jatim menegaskan, sesuai hasil rapat dengar pendapat antara komisi C dan PT PWU, diputuskan pelepasan aset diproses sesuai UU PT.
Artinya, dalam melepaskan aset, PT PWU sebenarnya cukup melaksanakan keputusan rapat umum pemegang saham (RUPS). Nah, sebelum mendapatkan izin dari DPRD, para direksi PT PWU juga mengantongi izin pelepasan aset yang tidak produktif (termasuk yang ada di Kediri dan Tulungagung) dari para pemegang saham. Izin tersebut dituangkan dalam RUPS 2001 dan RUPS 23 Mei 2002.