Janda Pontianak karena Gugat Cerai Meningkat

Didominasi Lelaki Tak Bertanggung Jawab dan Orang Ketiga

Ilustrasi

eQuator.co.id – Pontianak. Pengadilan Agama bukan tempat yang menyenangkan. Meski memiliki banyak fungsi lainnya, lembaga peradilan di bawah payung Mahkamah Agung tersebut keburu idientik sebagai tempat perceraian. Dari hakim hingga pengacara yang berada di ruang persidangan punya tugas memisahkan dua insan yang masih terikat ikatan pernikahan.

Kelakar semacam ini tak ditepis Rustam A. Kadri, Humas Pengadilan Agama Kelas I-A Pontianak. Ditemui di kantornya, Jalan Ahmad Yani Pontianak, Jumat (3/2), ia mengakui bahwa kasus perceraian masih menjadi perkara dominan yang ditangani pihaknya.

“Untuk 2016 misalnya, dari 1.599 perkara yang masuk, 1.239 perkaranya adalah kasus perceraian baik itu cerai talak ataupun cerai gugat,” ungkapnya.

Ia menjelaskan, sesungguhnya banyak perkara yang disidangkan di Pengadilan Agama. Bukan hanya perceraian. Mulai dari urusan pembagian warisan, isbat nikah, izin anak di bawah umur untuk menikah hingga pengajuan izin berpoligami.

“Dan seperti dalam UU No. 3 tahun 2006, bahkan peradilan agama juga memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara terkait ekonomi syariah,” tambah Rustam.

Berdasarkan data yang dipegangnya, ia menjelaskan, angka perceraian di kota Pontianak cenderung meningkat meski pada 2016 menurun dari tahun sebelumnya. “Untuk tahun 2015 jumlahnya mencapai 322 cerai talak dan 1.048 cerai gugat, sementara tahun 2016 menurun menjadi 237 cerai talak dan 1.002 cerai gugat,” terangnya.
Klarifikasi cerai talak dan cerai gugat adalah berdasarkan pihak yang mengajukan perceraian. Cerai talak merupakan perceraian dimintakan oleh pihak suami, sementara cerai gugat adalah perceraian yang diajukan oleh pihak istri.

“Memang dari tahun ke tahun, permintaan perceraian ini lebih banyak diajukan oleh pihak istri,” beber Rustam.

Terkait penyebab perceraian, ia menyatakan, data untuk tahun 2016 belum selesai direkap. Namun, jika merujuk data pengadilan agama pada beberapa tahun sebelumnya, penyebab utama perceraian adalah tidak adanya lagi keharmonisan dan tidak adanya tanggung jawab.

“Kalau tidak harmonis ini misalnya ketika baru nikah rukun, tapi kemudian sesudah berjalan sekian tahun mulai tidak sejalan. Atau seperti banyak terjadi sekarang, dengan kecanggihan tekhnologi, ada SMS masuk dari cewek, dibaca istri kemudian cemburu, lalu bertengkar,” papar Rustam. Ia menyebut, ketidakharmonisan yang menjadi penyebab perceraian ini biasanya tertuang dalam gugatan bersifat umum dan memiliki rincian beragam.

Untuk penyebab lainnya, yaitu kurangnya tanggung jawab jamak diajukan pihak istri atau cerai gugat. “Ketika suami tidak memiliki kesungguhan untuk memenuhi tanggung jawabnya membahagiakan istri, malas berkerja dan sebagainya,” tukasnya.