Direksi Tak Intervensi Tim Penjualan Aset

SIDANG PWU JATIM. Lanjutan sidang dugaan korupsi pelepasan aset PT PWU di Pengadilan Tipikor, Surabaya, Jumat (20/1), menghadirkan empat saksi. Ghofuur Eka-Jawa Pos

eQuator.co.idSidoarjo–RK. Penjualan aset PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim yang dipermasalahkan kejaksaan ternyata jauh dari tanggung jawab Dahlan Iskan. Mantan Direktur Keuangan (Dirkeu) PT PWU Soehardi menegaskan, tanggung jawab seluruh proses pelepasan ada pada tim penjualan.

Pernyataan Soehardi tersebut disampaikan di Pengadilan Tipikor Surabaya kemarin (20/1). Soehardi memang dihadirkan jaksa sebagai saksi Dahlan. Dia sempat ditanya mengenai peran direksi oleh majelis hakim.

Hakim anggota Unggul Warsito Murti sempat mencecar Soehardi dengan pertanyaan mengenai proses penjualan aset. ’’Apakah terdakwa (Dahlan Iskan, Red) selaku direktur utama dapat memengaruhi kinerja tim penjualan?’’ tanya Unggul.

Soehardi menjawab tidak bisa. Sebab, tim bekerja secara independen. Apalagi, di dalam tim penjualan ditempatkan orang dari luar PWU. Yakni, konsultan hukum dan keuangan. Termasuk untuk menentukan pemenang dan harga penjualan.

Penentuan siapa saja yang masuk dalam tim itu juga dibicarakan bersama oleh direksi. Bukan ujug-ujug Dahlan yang menunjuk Wisnu Wardhana sebagai ketua tim penjualan. Mereka yang masuk dalam tim penjualan juga merupakan representasi berbagai divisi di PWU. Di dalam tim penjualan juga ditempatkan orang dari bagian keuangan PWU untuk mengontrol penjualan, yakni Budi Raharjo.

Soehardi menjelaskan, semua tugas penjualan dikerjakan tim. Termasuk menentukan pemenang serta harga tertinggi. ’’Tim kemudian melaporkan ke jajaran direksi. Oleh direksi dibuatkan berita acara persetujuan, tapi pedomannya tetap dari usulan dari tim,’’ jelasnya.

Unggul kembali bertanya, apakah direksi atau Dirut bisa mengubah harga penjualan? Soehadi menjawab tidak bisa. Direksi hanya bisa memberikan pengesahan.

Pengesahan itu juga didasarkan pada pertimbangan yang disampaikan tim penjualan. Pertimbangan tersebut, antara lain, harga penjualan sudah di atas NJOP (nilai jual objek pajak) dan sesuai dengan hasil appraisal tim independen. ’’Tim lalu mengusulkan pembeli dengan harga tertinggi dan direksi tinggal mengesahkan,’’ jelas Soehardi.

Menurut dia, tanggung jawab tim melekat sampai seluruh proses penjualan tuntas dan semua bisa dipertanggungjawabkan. Jika ada penggunaan uang perusahaan oleh tim penjualan yang belum bisa dipertanggungjawabkan, hal itu menjadi tanggung jawab tim, bukan direktur keuangan apalagi direktur utama.

Dalam beberapa kali sidang, jaksa memang berupaya mengaitkan tanggung jawab penggunaan uang oleh tim penjualan dengan Dahlan Iskan. Dalam sidang memang terungkap adanya pengeluaran uang PT PWU yang diminta Wisnu Wardhana selaku ketua tim penjualan.

Uang itu, salah satunya, diminta untuk biaya pengosongan tanah di Kediri. Sebagaimana diketahui, tanah di Kediri termasuk dalam daftar aset yang harus dilepas. Sebab, aset tersebut sangat membebani perusahaan. Hak guna bangunan (HGB) tanah itu telah berakhir. Perusahaan minyak (Nabatiyasa) yang menempati lahan tersebut juga sudah tidak berproduksi. Selain itu, tanah dikuasai mantan karyawan pabrik minyak.

Nah, jaksa berupaya mencari kesalahan Dahlan karena adanya tanda tangan dia dalam permohonan pencairan uang pengosongan lahan. Dalam perjalanannya, dokumen itu ternyata kasbon. Menurut bagian keuangan PT PWU, Wisnu tidak bisa mempertanggungjawabkan kasbon tersebut.

Dalam sidang sebelumnya, Selasa (17/1), saksi Budi Raharjo menyebutkan, kasbon itu dicairkan Soehardi. Faktanya, Dahlan selama ini memang tidak pernah menandatangani persetujuan pencairan uang perusahaan. Menurut Dahlan, di banyak perusahaan yang dipimpinnya, dirinya tidak pernah mengurusi soal keuangan.

Nah, ternyata tanda tangan Dahlan itu bukan untuk persetujuan pencairan. Dia hanya membubuhkan tanda tangan untuk disposisi. Hal tersebut dilakukan agar direktur keuangan melakukan percepatan penyelesaian pengosongan aset. Sebab, jika tidak segera dilakukan pengosongan, PT PWU harus membayar denda 1 persen per hari kepada pembeli aset. Perjanjian pengosongan itu tertuang dalam akta jual beli.

’’Lha kalau ada uang keluar yang seperti itu (kasbon pengosongan lahan, Red), tanggung jawab siapa? Tim atau bagian keuangan?’’ tanya hakim Unggul. Dengan tegas Soehardi menjawab bahwa itu tanggung jawab tim. Menurut dia, tim bertanggung jawab hingga seluruh proses penjualan selesai.

Lolos soal tanggung jawab pencairan dana pengosongan oleh tim penjualan, jaksa berusaha mencari kesalahan Dahlan lewat dokumen rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) pada September 2003. Dokumen RUPSLB itu, intinya, menyetujui pelepasan tanah di Tulungagung.

Menurut versi jaksa, RUPSLB itu dilaksanakan setelah diterimanya bilyet giro (BG) dari pihak pembeli lahan. Jaksa menganalogikan, dengan adanya RUPSLB setelah penerimaan BG, berarti penjualan aset di Tulungagung terjadi sebelum adanya izin dari pemegang saham.

Saksi Soehardi mematahkan analogi jaksa tersebut. Menurut dia, penjualan aset selama ini sudah beberapa kali dibahas dalam RUPS. Hakim Unggul sempat mencecar Soehardi, sebenarnya kapan RUPS terkait penjualan aset dilaksanakan? ’’Seingat saya beberapa kali, ada 2001 dan 2002,’’ jawab pria kelahiran 30 April 1944 itu.

Soehardi juga menjelaskan, jauh sebelum terjadi pelepasan aset, terdapat RUPS pada 23 Mei 2002. Dalam RUPS itu, pemegang saham menyetujui adanya program konsolidasi atau restrukturisasi aset. Intinya, aset yang tidak produktif dijual dan dibelikan aset yang lebih produktif. ’’Semua direksi dan pemegang saham tahu adanya RUPS tersebut,’’ tegas Soehardi.

Dalam RUPS 23 Mei 2002 itu juga ada lampiran yang menjelaskan detail aset yang akan dikonsolidasikan PWU. Yakni, 19 aset yang tidak memiliki dokumen dan fisiknya tidak dikuasai PWU, 13 aset yang tidak lengkap dokumennya tapi fisiknya dikuasai PWU, serta 23 aset yang punya dokumen tapi fisiknya tidak dikuasai. Ada pula 4 aset dengan dokumen sewa dan fisiknya dikuasai PWU serta 33 aset yang memiliki dokumen dan fisiknya dikuasai.

Entah dokumen RUPS 23 Mei 2002 itu sengaja disembunyikan jaksa atau bagaimana karena tidak ditunjukkan dalam sidang. Ketika dimintai keterangan setelah sidang, jaksa Lilik Indawati tetap bersikeras bahwa tidak ada bukti dokumen RUPS 23 Mei 2002.

Dahlan yakin penjualan aset PT PWU telah melalui RUPS. Hanya, dokumennya mungkin tidak didapat jaksa. ’’RUPS itu bisa menyetujui, bisa dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. Bisa saja ada RUPS yang menyetujui lagi atau mengesahkan langkah-langkah,’’ ujarnya.

Dalam sidang, saksi Soehardi sempat menuturkan keberhasilan PWU pasca restrukturisasi aset. Dia menyebutkan, selama PWU berdiri, tak pernah ada lagi suntikan dana dari Pemprov Jatim. ’’Tidak pernah ada lagi (modal dari pemprov, Red). Justru setoran kami (dalam PAD) yang nambah terus,’’ ujarnya.

Pemprov pernah memberikan dana Rp 10 miliar kepada PWU. Uang sebesar itu digunakan untuk modal membangun Jatim Expo. Namun, Dahlan menolak mentah-mentah. ’’Pak Dahlan marah dan dikembalikan uang itu (untuk membangun Jatim Expo, Red). Beliau malah meminjami dengan uang pribadinya,’’ terangnya.

Sebagaimana terungkap dalam sidang sebelumnya, Dahlan kerap nombok ketika menjadi Dirut PT PWU. Dia tak mau menerima gaji, bonus, dan fasilitas apa pun. Pria asal Magetan itu justru bersedia menjadi personal guarantee bagi PWU.

Ceritanya, saat itu PT PWU tidak dipercaya bank. Sebab, perusahaan tidak sehat dan banyak utang. Dahlan kemudian menjadi personal guarantee agar PT PWU bisa mendapat pinjaman dari bank. Ada deposito Dahlan Rp 5 miliar yang sempat dijaminkan agar PT PWU bisa membangun Jatim Expo.

Di tempat terpisah, kuasa hukum Dahlan, Agus Dwi Warsono, mengungkapkan, sidang kemarin makin membuka fakta bahwa tidak ada niat jahat kliennya sebagaimana dakwaan JPU. Apalagi, saksi eks Dirkeu PWU Soehardi sudah menegaskan bahwa tim restrukturisasi aset maupun penjualan aset tidak bisa diintervensi. ’’Tim itu independen, tidak bisa diintervensi,’’ katanya. (Jawa Pos/JPG)