eQuator.co.id – Pontianak-RK. Kenaikan secara drastis administrasi kendaraaan bermotor dinilai terlalu tergesa-gesa. Guna mempertanyakan hal tersebut, Komisi XI DPR RI berencana memanggil Menteri Keuangan (Menkeu).
“Kami belum mendapat kabar soal ini. Nanti Menkeu akan kami panggil untuk dimintai penjelasannya,” ujar Anggota Komisi XI DPR RI Michael Jeno, Kamis (5/1).
Menurut legislator PDIP daerah pemilihan (Dapil) Kalbar ini, kenaikan tarif Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) ini cukup memberatkan masyarakat kecil. Tidak sedikit masyarakat membeli kendaraan dengan kredit, karena tak memiliki daya beli secara tunai.
“Otomatis harga kendaraan bermotor akan naik juga. Tentu bagi sebagian orang akan memberatkan. Apalagi kenaikannya sampai 2-3 kali lipat. Kenapa terlalu progresif,” tuturnya.
Menurut Jeno, sebenarnya banyak sumber pendapatan negara yang bisa dioptimalkan. Seperti dari perusahaan-perusahaan pengelola sumber daya alam (SDA).
“Kami sebenarnya sudah mengusulkan untuk mengoptimalkan pendapatan pajak dan nonpajak dari perusahaan SDA yang besar, seperti Freeport, Newmont, Exxon, dan lain-lain,” sebutnya.
Begitu pula dengan PNBP, Komisi XI DPR sebenarnya tengah menyusun daftar Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk program legislasi nasional (prolegnas) pada 2017. RUU tersebut membahas penentuan tarif STNK, BPKB dan lain-lainnya, termasuk pendapatan dari perusahaan pengelola SDA. “Sebenarnya sudah akan dibahas tahun lalu. Hanya saja Komisi XI sangat fokus pada RUU Pengampunan Pajak, sehingga RUU PNBP ditunda tahun ini,” ungkap Jeno.
Sementara itu, kenaikan tarif STNK dan BPKB ini menjadi pembicaraan masyarakat luas dan menimbulkan pro-kontra. Banyak warga menyesalkan kenaikan secara drastis administrasi kendaraan tersebut.
“Kenapa pemerintah sekarang ini apa-apa menaikan tarif. Listrik, BBM dan lain-lain sudah naik duluan. Sekarang STNK juga naik. Kenapa semua dibebankan kepada masyarakat,” kata Nova
Karyawan swasta berusia 28 tahun ini berharap, kenaikan tarif ini juga diimbangi dengan peningkatan pelayanan saat pengurusan pembuatan STNK dan BPKB.
“Seharusnya pelayanan juga semakin bagus. Penerbitan STNK, BPKB dan plat nomor polisi jangan sampai berbulan-bulan. Harus ada kompensasi kepada masyarakat, dengan memperbaiki layanan,” kata Nova.
Lain halnya dengan Dedi Khansa, 31. Karyawan swasta ini bahkan mendukung kenaikan tariff tersebut.
“Naiknya tidak seberapa, kalau melihat nilainya masih terjangkau. STNK motor hanya Rp100 ribu. Lagi pula STNK hanya terbit setiap 5 tahun sekali. Bandingkan dengan harga motornya yang sampai belasan atau puluhan juta (rupiah). Apalagi ini untuk pemasukan negara yang dikelola juga untuk kepentingan pembangunan dan masyarakat,” katanya.
Dia membandingkan tarif izin kendaraan bermotor sejenis di negara lain yang nilainya sangat tinggi, bahkan hanya bisa dijangkau oleh kalangan tertentu saja.
“Seperti Singapura misalnya. Hanya saja mereka punya transportasi umum yang bagus, jadinya warga memilih pakai kendaraan umum. Saya sih, berharap ada transportasi yang bagus,” pungkas Dedi.
Reporter: Gusnadi
Redaktur: Arman Hairiadi