Problem Tiongkok: Ledakan Anak Kedua dan Polusi Udara

UDARA BURUK. Warga Beijing, Tiongkok, mengenakan masker saat berada di luar ruangan Kamis (17/4) karena tingginya kadar polusi. Kim Kyung-Hoon-Reuters/Jawapos.com

eQuator.co.id – Pertambahan jumlah penduduk dan polusi udara bisa jadi bakal memantik eksodus warga Tiongkok ke berbagai belahan dunia. Sejak kebijakan satu anak di tiap keluarga dicabut pada awal 2016, banyak pasangan di Tiongkok yang langsung memulai program anak kedua.

Pada bulan-bulan terakhir tahun ini, ada sekitar 1 juta bayi yang lahir sebagai anak kedua. Lonjakan diperkirakan semakin tinggi dalam tahun-tahun berikutnya.

Dulu, sekitar 1970-an, Tiongkok memang menerapkan satu anak di tiap keluarga. Akibatnya, banyak perempuan yang melakukan aborsi. Jika hanya boleh mempunyai satu anak, mereka memilih yang berjenis kelamin laki-laki. Tiga dekade kemudian, efek lainnya baru terasa. Yakni, jumlah kelompok usia lansia lebih besar daripada usia produktif. Plus, terjadi ketidakseimbangan gender. Laki-laki lebih banyak ketimbang perempuan.

Tiga tahun lalu, kebijakan itu mulai diperlonggar. Keluarga boleh mempunyai anak kedua asalkan orang tuanya merupakan anak tunggal. Kebijakan tersebut tidak mendapat respons baik. Baru kemudian awal 2016, pemerintah Tiongkok membolehkan keluarga mempunyai lebih dari satu anak tanpa syarat apa pun.

Wakil Direktur Komisi Keluarga Berencana dan Kesehatan Nasional Wang Pei’an mengungkapkan, sepanjang 2016 ini, diperkirakan ada lebih dari 17,5 juta kelahiran. Jumlah tersebut lebih tinggi ketimbang tahun lalu. Ada tambahan lebih dari satu juta kelahiran anak kedua.

’’Berdasar pemikiran kuno Tiongkok, banyak anak membawa banyak berkah,’’ ujar Zheng Xiaoyu yang ikut program menambah momongan. Anak pertamanya yang berjenis kelamin laki-laki sudah berusia 9 tahun. Kini dia melahirkan bayi laki-laki lagi.

Maraknya perempuan yang menambah momongan itu menjadi lahan bisnis tersendiri. Saat ini banyak layanan perawatan VIP untuk ibu-ibu yang baru melahirkan. Salah satunya, Xiyuege Centre. Di tempat tersebut, perempuan yang baru melahirkan ditidurkan di atas kasur giok yang dipanaskan. Mereka juga mendapatkan hidangan istimewa untuk meningkatkan produksi ASI.

Ada sekitar 760 lembaga seperti Xiyuege Centre di Tiongkok. Mereka harus membayar USD 1.000 per hari atau setara dengan Rp 13,4 juta untuk mendapatkan layanan super itu. Manajer Marketing Xiyuege Centre Hou Yanran mengungkapkan, ada peningkatan pelanggan yang hamil anak kedua. Jumlahnya dua kali lipat daripada tahun lalu. ’’Keinginan masyarakat (untuk pelayanan setelah melahirkan) naik drastis tahun ini,’’ ucapnya.

Di sisi lain, tingkat polusi di Tiongkok juga sangat parah. Hampir semua bagian Negeri Panda itu terancam oleh tingginya kadar polusi. Kabar terbaru, pemerintah mengungkapkan bahwa ada kawasan di Tiongkok, yang besarnya mencapai dua kali Spanyol, berada dalam kondisi buruk. Meski diperoleh sejak tahun lalu, informasi tersebut baru diungkapkan sekarang seiring dengan semakin melesatnya angka polusi.

Kementerian Perlindungan Lingkungan menyebutkan, 16,1 persen dari sekitar 6,3 juta kilometer persegi tanah yang mereka survei, atau dua pertiga kawasan total Tiongkok, sudah tercemar. Dalam survei yang muncul di situs resmi kementerian itu juga dijelaskan bahwa tercemarnya tanah disebabkan tidak terkontrolnya pembuangan limbah pabrik-pabrik dan pertanian yang menggunakan pupuk serta pestisida.

’’Situasi pencemaran tanah secara nasional tidak bagus,’’ tulis kementerian. Mereka menambahkan bahwa lebih dari 19 persen tanah pertanian yang mereka survei juga tercemar oleh polusi.

Tahun lalu Kementerian Perlindungan Lingkungan menyatakan, survei angka polusi di Tiongkok adalah rahasia negara. Mereka menolak mengungkap hasilnya meski mendapat tekanan dari organisasi perlindungan lingkungan.

Pemerintah Tiongkok memang sedang berada di kursi panas menyusul tekanan untuk memperbaiki kondisi lingkungan. Semua itu tidak lepas dari meningkatnya angka polusi di udara, air, dan tanah.

Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang mengumumkan pada Maret lalu bahwa Beijing menyatakan perang dengan polusi. Namun, para ahli memandang negatif pernyataan tersebut. Sebab, belum ada langkah konkret yang diambil pemerintah. (Jawa Pos/JPG)