Aturan Terlalu Mengikat, Desa Sulit Berkembang

EVALUASI AKHIR TAHUN. Refleksi perjalanan UU Desa yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Pengembangan dan Pemerdayaan Desa diikuti beberapa kepala desa dan pemuda Kubu Raya, di Kopi Goncang Pontianak, Kamis (29/12). Ambrosius Junius-RK

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Apa jadinya ketika orangtua-mertua terlalu ikut campur dalam kehidupan tumah tangga anak dan menantunya? Ada dua sudut pandang menjawab hal ini.

Positifnya, mungkin kehidupan sang anak-menantu akan ‘lebih terarah’ karena mendapat bimbingan langsung dari senior. Namun sisi lainnya, junior sulit berkembang dengan bebas, tidak bisa menentukan jalan hidupnya sendiri karena selalu atau harus “searah”. Celakanya, ketika arahan yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi atau kebutuhan rumah tangga yang dibangun. Maka akan timbul “pemaksaan”.

Demikian sekelumit inti masalah yang terpapar pada diskusi bertajuk “Refleksi Perjalanan UU Desa di 2016” di Warung Kopi Goncang, Jalan Bapindo BLKI Pontianak, Kamis (29/12). Diskusi ini diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Pengembangan dan Pembersayaan Desa (Puslitbangdes) Universitas Tanjungpura.

Diskusi dibuka dan dipimpin oleh Faisal Reza, selaku Direktur Pulitbangdesa Universitas Tanjungpura. Dimana Faisal memulai dengan memberikan dua pertanyaan kunci: Sejauh mana kewenangan desa menurut Undang-Undang Desa, sudah berjalan selama ini? Kemudian, sejauhmana efektifitas dana desa dalam mencapai empat tujuan yang disyaratkan dalam UU Desa, seperti pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan pembinaan?

“Dari diskusi ini, kita bisa mendapat masukan, salah satunya untuk merumuskan Musrenbangdes di 2017. Kita harapkan, dari diskusi ini juga kita dapat membuat satu catatan, memastikan adanya kontribusi untuk perkembangan desa. Dan tahun depan kita akan melakukan kerjasama dengan kementerian terkait pengembangan ekonomi desa melalui program BUMDes,” katanya.

Diskusi berjalan dinamis, selain beberapa kepala desa di Kubu Raya, hadir pula diantaranya Kepala Bidang BPNPD Provinsi Kalbar, Toni Sunardi, beberapa perwakilan dari JARI Kalbar termasuk Muda Mahendrawan selaku dewan pakar serta mantan Bupati Kubu Raya periode pertama.

Secara umum, para kepala desa yang hadir mengaku mempunyai persoalan yang sama, yakni soal kebijaksanaan pemerintah kabupaten dalam membagi kewenangannya. Bukannya tidak bagus. Namun banyak hal-hal yang dirasakan oleh kepala-kepala desa kurang pas.

“Undang-Undang Desa (dibuat), supaya desa bisa mengatur dirinya sendiri, tapi (ibaratnya) kepala dilepas ekor dipegang,” ujar Kepala Desa Parit Baru, Musa.

Musa menilai, banyak hal yang semestinya bisa dijalankan dan dikembangkan, dengan tujuan membuat desa maju dan mandiri—

dengan berpedoman pada UU Desa, namun mereka tetap tidak bisa leluasa karena kewenangan tersebut harus selaras dengan kemauan pemerintah kabupaten, dimana hal itu diatur dalam Perbup tentang APBDes.

“Misalnya mau mengadakan mobil ambulance saja, kami harus merujuk pada peraturan daerah. Padahal yang kami usulkan merupakan musyawarah bersama. Kita tisak boleh menlenceng dari situ. Hal-hal seperti ini kita diikat,” katanya.

Contoh lain seperti pemberlakuan honor petugas Posyandu, juga harus merujuk pada standar acu pemerihtah kabupaten. “Semuanya, se-Kubu Raya, rata-rata (honor) Rp50 ribu. Kita bisa lihat, tidak semuanya sama, kalau aktifitasnya tinggi kita bisa berikan antara Rp100 ribu-Rp150 ribu, artinya sesuai dengan kemampuan kita. Jangan sampai hak-hak otonom diberikan setengah, kami tidak bisa bergerak bebas, karena diikat oleh Perbup,” beber Musa.

Contoh lain juga diampaikan oleh Kades Mega Timur, Adam. Kata dia, semua desa diminta mengadakan mesin pemadam kebakatan untuk mencegah kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla), yang hal itu juga sudah diatur didalam Perbup. “Ada desa-desa yang tidak punya potensi, tapi karena Perbup ini sifatnya menyeluruh, maka desa-desa harus taat pada Perbup tersebut. Besar harapan kami, pemerintah tidak terlalu intervensi dalam penggunaan anggaran (desa),” tuturnya.

Di sisi lain, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Pemerintah Desa (BPMPDes) Provinsi Kalbar melalui Kabid Pemberdayaan UEM, SDA dan TTG, Drs. Toni Sunardi, M. Si menjelaskan, desa-desa sudah diatur dengan tegas dalam undang-undang itu dan sekarang bangaimana mengoptimalkan pengelolaannya. Dia mengakui banyaknya aturan baru menjadi kendala. Karena itu, terkait kewenangan bupati dalam mengatur kewenangan penggunaan desa, seharusnya pemerintah desa melakukan umpan balik.

“Misalnya desa harus mengajukan apa yang harusdilakukan nya dan harus ada upaya untuk melakukan itu, informasi data ini sebagai persyaratannya,” terangnya.

Selama ini, menurut dia, belum ada basis data yang terkumpul di masing-masing kabupaten, jika misalnya kabupaten hanya merujuk pada aturan yang ada nanti sekatnya akan kuat. Dan jika tidak ada kearifan serta melihat perkembangan di desa akan lebih fatal lagi.

“Perda itu sifat nya mengatur hal yang sifatnya umum saja,” pungkas Toni.

 

Laporan: Fikri Akbar, Ambrosius Junius

Editor: Mohamad iQbaL