Keluarga Sumi Minta Pelaku Dihukum Mati

Ari Sempat Mau Melamar, Ngaku Kerja di BRI

DUKA KELUARGA. Ayah mendiang Sumirawati, Pa’i Matong, mengenakan batik merah ketika dijumpai di kediamannya, Kamis (29/12). DESKA IRNANSYAFARA

eQuator.co.id – Tangan Pa’i Matong (52) bergegar takala mencurahkan air kopi hangat ke secangkir gelas ketika awak media koran ini menjumpainya di kediamannya, Kamis (29/12).

Perawakan pria berkulit hitam itu masih terlihat sedih. Bola matanya terlihat memerah. Ayah dari Sumirawati (21), korban pembunuhan sadis di Hotel Benua Mas, Jalan 28 Oktober, Kawasan Siantan Hulu, Pontianak Utara, itu masih terngiang wajah putri bungsunya.

“Malam itu saya dapat telepon dari kerabat. Saya terkejut dan panik ketika kawan menyampaikan kabar bahwa anak saya sudah meninggal dunia,” ucap Pa’i Matong di teras rumahnya.

Kemarin siang, mendiang yang karib disapa Sumi telah dimakamkan di pemakaman kawasan Gang Sapta Marga, Kelurahan Sungai Beliung, Pontianak Barat. Tak jauh dari kediamannya. Jenazah sendiri tiba di rumah duka sekitar pukul 11.00.

Sejak mentari mulai menyinari bumi, rumah di Gang Karya Tani II, Jalur II, Jalan TPS Pelabuhan Rakyat, Kelurahan Sungai Beliung, Pontianak Barat, persis di depan mushola itu sudah dipenuhi kerabat dan rekan semasa Sumi hidup. “Setelah dapat telpon, saya langsung bergegas ke depan jalan utama untuk menunggu kedatangan kawan yang hendak menjemput. Saya langsung pergi ke RS Anton Sudjarwo,” kata Pa’i.

Sambil menyeruput kopi, Pa’i yang bekerja sebagai penjual ikan di Pasar Teratai Jeruju itu menceritakan sosok Ari Saputra yang merupakan pelaku kematian putri bungsunya. “Dia sering main ke rumah saya,” kisahnya.

Sebelum maut menjemput Sumi, Selasa (27/12) sekitar pukul 15.00, Ari bertandang. Bahkan, sempat salat berjamaah bersama Pa’i di mushola.

“Awalnya dia ngobrol dengan Sumi. Sekitar jam lima sore, dia (Ari) pamit. Tapi sebelum Maghrib dia datang lagi dan sempat salat dengan saya di surau,” tutur Pa’i seraya menunjuk mushola.

Usai salat, ia berencana pergi ke RS Anton Sudjarwo untuk menjenguk keponakannya yang sedang dirawat. Ari pun sempat menawarkan jasa kepada pria paruh baya tersebut.

“Dia bilang, biar saya antar saja pak. Karena saya ada mobil,” ucap Pa’i menirukan Ari.

Tawaran itu diterima. “Habis Salat Maghrib, saya pergi ke RS bersama Sumi dan Ari. Ketika saya di RS, dia (Ari) keluar berdua Sumi untuk mencari makan. Tidak lama jemput lagi. Saya pun langsung pulang ke rumah,” ujarnya.

Di dalam perjalanan pulang ke rumah dari RS Anton Sudjarwo, Pa’i yang sudah mengenal Ari sejak dua tahun silam itu sempat bertanya, mengapa lama tidak tampak. “Dia jawab, saya di Ketapang, pak. Saya tanya lagi, kerja apa di sana. Dia jawab lagi, saya kerja di bank,” ceritanya.

Pa’i masih penasaran. Dia melontar pertanyaan kembali. “Saya juga tanya dia kerja di bank apa? Sambil nyetir dia jawab, kerja BRI. Ini kendaraan siapa punya? Ari jawab, saya sendiri lah,” urainya.

Sebelum tiba, Ari sempat menyinggahkan mobil yang dikemudikannya di sebuah pusat perbelanjaan. “Kami singgah beli kue di Garuda Mitra,” tukas Pa’i.

Ia menyambung perbincangannya. “Kapan pulang ke Ketapang, tanya saya. Dia jawab, besok pak. Sambil menerangkan bahwa kendaraan (mobil) ini akan dikirim lewat kapal dan dia naik pesawat. Garuda Indonesia,” jelasnya.

Jam 10.00 malam, mereka tiba di rumah Sumi. “Habis ngantar saya, dia pamit. Dia sempat menyalami saya. Kebetulan Sumi tidak keluar kamar, karena keletihan,” ceritanya.

Esok harinya, Rabu (28/12), Ari datang kembali menemui Sumi di rumah. “Baru sampai depan rumah, Ari itu langsung bertanya kepada Sumi, mana bapak, katanya. Sumi bilang saya ada di dalam dan Ari minta tolong untuk memanggil saya,” kata Pa’i.

Pria yang tidak bisa mengendarai sepeda motor itu lantas keluar menemui Ari. “Ari bilang ke saya begini; saya datang ke sini ingin menyampaikan pesan mamak dan bapak saya, pak. Bahwa 25 Januari sepulang dari Ketapang, saya mau melamar anak bapak,” tuturnya menirukan Ari.

Mendengar cakap Ari, orangtua Sumi menyampaikan bahwa jika ingin datang ke rumah serta membawa keluarga, tolong jauh-jauh hari memberitahu. “Saya jawab begitu, dia tidak nyahut dan hanya diam. Lalu kami minum kopi dan habis itu adzan asar. Karena adzan, saya bertanya ke dia. Kok masih belum pulang ke Ketapang,” tutur Pa’i. “Tiket saya ditunda. Dari jam 2 siang ke jam 5.20,” jawab Ari.

Sebagai ayah, Pa’i tentu ingin mengetahui lebih jauh tentang Ari. “Saya juga sempat tanya, kalau tambang kapal seperti mengirim mobil ke Ketapang itu berapa ongkosnya? Dia jawab Rp800 ribu sambil menjelaskan juga bahwa tiket pesawat dia seharga Rp750 ribu,” terangnya.

Tahu Ari ingin bertolak ke Ketapag, Pa’i pun mengingatkan pelaku untuk segera pulang agar tidak terlambat. “Saya bilang nanti terlambat pulang. Dia pun menurut sambil bilang ya sudah, saya pamit saja pak,” kisahnya.

Pa’i pun mengantarkan Ari ke depan rumah. “Saya bilang, hati-hati di jalan nak ye,” ungkapnya.

Tidak lama kemudian, setelah Ari pamit pulang. Sumi pun izin keluar rumah menggunakan sepeda motor Yamaha Mio.

“Saya tidak tahu Sumi itu mau ke mana. Pikir saya hanya main ke rumah temannya,” kenangnya.

Magrib pun tiba, azan berkumandang. Entah mengapa hati Pa’i mulai gelisah.

“Saya telpon HP-nya tapi tidak aktif. Dari Maghrib tidak aktif. Jujur saja, saya jarang telpon kalau Sumi keluar. Tapi kemarin itu hati saya gelisah, pengin nelpon anak saya terus,” ungkapnya.

Di mata Sang Ayah, Sumi, merupakan sosoak anak yang ceria dan tida pernah tertutup. “Tidak sering berpergian. Dia tidak tertutup, tapi tidak pernah bercerita tentang hubungan atau pacarnya,” terang Pa’i.

Sehari-hari, Sumi yang lahir 11 Februari 1995 itu dekat dengan Sang Ayah. “Dia yang antar jemput saya ke pasar. Dia anak saya satu-satunya yang membantu saya. Sekarang saya seperti patah kaki,” kenangnya.

Bahkan, saking sayangnya, Sumi yang sempat bekerja di mall diminta berhenti kerja oleh Pa’i. “Soalnya pulang kerja jam 11 sampai 12 malam. Saya khawatir dan takut karena rawan,” bebernya.

Bahkan kadang Pa’i tidak bsia tidur jika Sumi belum pulang ke rumah. “Makanya saya minta dia berhenti kerja. Daripada saya tidak tidur. Saya juga tidak mengizinkan dia keluar malam,” ungkapnya.

Untuk kasus pembunuhan yang menimpa putri bungsunnya, Pa’i menyatakan, menyarahkan sepenuhnya proses hukum kepada aparat.

“Kalau bisa, Ari dihukum sebagaimana dia memperlakukan anak saya. “Dia itu halus mainnya dan sadis,” ucapnya disusul tetesan air mata.

Sementara di dalam rumah, Sang Ibu, Jahara (48) masih syok. Istri Pa’i itu bahkan tak mau bertemu kedua abang Sumi. “Badannya lemas,” kata Pa’i.

Sumi memiliki dua saudara bernama Hendri dan Yandi Susanto. “Sumi tidak ada kegiatan. Sehari-harinya di rumah,” ungkap Hendri.

Ia mengisahkan, adiknya mengenal Ari sejak awal 2015. “Pacaran satu tahun, lalu putus di awal tahun 2016. Kemudian nyambung lagi baru-baru ini,” ujarnya.

Hendri tidak menyangka Ari tega menghabisi nyawa sang adik. “Dulu waktu pacaran sama adik saya, dia bersikap baik. Main di rumah saya dan baik kepada keluarga. Kadang-kadang makan di rumah,” bebernya.

Sementara sejumlah keluarga Sumi yang menemani Pa’i di teras rumah menginginkan pelaku mendapat balasan yang setimpal. “Pelaku itu harus dihukum mati,” pinta pria yang enggan namanya dikorankan itu.

Laporan: Deska Irnansyafara & Iman Santosa, Pontianak