Khawatir Inkonsistensi Regulasi Hambat Industri

Mengeker Prospek Ekonomi dan Bisnis 2017 (4)

Ilustrasi : Internet

eQuator.co.id – Industri pertambangan mineral dan batu bara (minerba) tahun depan terkerek oleh tren meningkatnya harga komoditas. Dibutuhkan konsistensi regulasi untuk menjaga kecenderungan positif dari bisnis berbasis sumber daya alam tersebut.

 

Industri minerba memang lekat dengan tumpang-tindih dan inkonsistensi kebijakan. Karena itu, para pengusaha berharap perbaikan regulasi bisa menjadi agenda utama.

Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menyatakan, diperlukan kebijakan-kebijakan yang mendukung agar sektor minerba kembali tumbuh.

’’Kita (industri, Red) sih bergantung kebijakan pemerintah ya. Kalau memang kebijakan pemerintah itu mendukung, ya tentu bisa (menjadi motor pertumbuhan ekonomi). Sebab, Indonesia memiliki potensi yang cukup besar,’’ ujarnya kepada Jawa Pos, Senin (26/12).

Hendra berharap kebijakan yang sedang digodok tidak menghambat investasi di sektor minerba. Dengan begitu, pelaku usaha minerba akan tetap memiliki kepercayaan diri terhadap prospek industri minerba di tanah air.

Terkait dengan relaksasi ekspor konsentrat yang berlaku mulai awal tahun depan, pihaknya belum bisa berkomentar banyak. Sebab, meski relaksasi aturan tersebut diharapkan memberikan sinyal positif bagi industri minerba, ada beberapa detail dan syarat yang masih perlu dikaji lebih lanjut.

’’Ada detail yang harus dicermati dulu seperti syarat izin ekspornya harus diubah. Persyaratan-persyaratan itu juga bisa menimbulkan masalah hukum,’’ katanya.

Belum lagi, regulasi tersebut bakal menaikkan bea keluar. Dikhawatirkan, bukannya industri minerba tumbuh, adanya regulasi itu malah bisa menghambat.

’’Detail-detail ini justru bisa menghambat,’’ ungkapnya.

Hendra menjelaskan, pemegang kontrak karya (KK) masih tercatat sebagai kontributor utama di industri pertambangan mineral.

Pemerintah optimistis kinerja sektor minerba lebih cerah pada tahun depan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menegaskan bahwa perbaikan tata kelola minerba harus terus dilakukan. ’’Pengelolaannya harus makin efisien dan manfaatnya dapat dirasakan rakyat secara adil dan merata,’’ tuturnya di Jakarta pekan lalu.

Jonan menambahkan, pemanfaatan sumber daya mineral tidak bisa dieksploitasi dan dijual secara mentah-mentah. ’’Kita selalu mau hilirisasi. Industri turunannya banyak. Sebaiknya begitu. Entah hasil tambang diolah di dekat pasar atau di dekat tambangnya. Mana yang lebih efisien,’’ jelasnya.

Investasi di bidang pertambangan, lanjutnya, mempunyai tantangan kompleksitas penanganan dan kepastian hukum. Untuk memberikan kepastian berusaha, pemerintah tetap menghargai kontrak yang ada.

’’Pemerintah tetap menghargai kontrak yang ada. Kontrak akan dihargai sampai waktunya selesai. Jika tidak diatur, bakal mengikuti peraturan perundangan yang ada,’’ terang Jonan.

Sepanjang 2016, amandemen terhadap 4 KK dan 11 perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) telah ditandatangani. Amandemen 21 KK dan 36 PKP2B sedang diselesaikan. Hingga saat ini, 13 KK dan 32 PKP2B rampung diamandemen.

Mantan menteri perhubungan tersebut meminta seluruh proses renegosiasi diselesaikan dengan cepat. ’’Sesuai Undang-Undang No 4 Tahun 2009, beberapa aspek harus disesuaikan. Kita akan dorong supaya lebih cepat selesai,’’ tegasnya.

Mengenai penataan IUP (izin usaha pertambangan), Kementerian ESDM telah menerbitkan Permen ESDM No 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan IUP Minerba. Regulasi itu diharapkan dapat mempercepat proses evaluasi terhadap penerbitan IUP dan kuasa pertambangan (KP) yang belum diubah menjadi IUP dengan batas waktu penyampaian rekomendasi selambatnya 2 Januari 2017. Sampai saat ini, IUP yang telah dinyatakan clear and clean (CnC) mencapai 6.335 IUP di antara total 9.721 IUP.

Peningkatan nilai tambah (PNT) mineral dilakukan melalui kewajiban pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri atau smelter. Pembangunan smelter tersebut diharapkan mampu menambah nilai jual komoditas dan meningkatkan investor dalam ataupun luar negeri.

Sepanjang 2016, terdapat penambahan 2 unit smelter yang beroperasi di Kalimantan Barat dan Maluku Utara. Total, 7 unit smelter telah beroperasi. Pada 2017, akan ada tambahan 6 unit smelter baru.

Di bagian lain, kemampuan pasokan batu bara domestik (domestic market obligation/DMO) terus meningkat setiap tahun. Prognosis pasokan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri sebesar 90,55 juta ton sampai Desember 2016 dengan total produksi 434 juta ton. Jumlah itu meningkat jika dibandingkan pada 2015 yang pemenuhan kebutuhan batu bara dalam negerinya sebesar 86,81 juta ton. Pada 2017, ditargetkan jumlah DMO sebesar 121 juta ton.

Di samping peningkatan pasokan batu bara domestik, pemerintah terus mengawasi pengelolaan lahan bekas tambang sebagai komitmen terhadap perlindungan lingkungan. Reklamasi lahan bekas tambang menjadi kesatuan proses pertambangan yang wajib dilaksanakan pelaku usaha pertambangan.

’’Sejak 2012, luas lahan yang direklamasi cukup luas. Pada akhir 2016, lahan bekas tambang seluas 6.700 Ha telah direklamasi. Tahun depan direncanakan lahan bekas tambang seluas 6.800 Ha direklamasi,’’ ungkapnya.

Selain itu, pengawasan pemerintah di sektor minerba terlihat dari diterbitkannya tujuh regulasi dalam bentuk Peraturan Menteri ESDM (Permen ESDM) sepanjang 2016.

Menanti Dampak Relaksasi Ekspor

Pemerintah telah sepakat memberikan relaksasi ekspor konsentrat mulai awal tahun depan. Keputusan relaksasi tersebut berlaku setelah kegiatan ekspor berakhir pada 12 Januari 2017 sesuai dengan PP Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelaksana Kegiatan Usaha Mineral dan Batu Bara (Minerba).

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengungkapkan, perusahaan pertambangan yang bisa mendapatkan relaksasi ekspor itu hanyalah yang berstatus izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Artinya, untuk perusahaan tambang yang masih berstatus kontrak karya (KK), relaksasi tidak akan diberikan.

Berdasar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, status kontrak karya memiliki batas waktu ekspor sampai lima tahun sejak aturan tersebut diterbitkan. ’’Karena di UU Minerba itu yang IUPK tidak ada batas waktu. Tapi, yang KK ada,’’ ujarnya. Skema perubahan kontrak karya menjadi IUPK pun terbilang tidak banyak. ’’Jadi, tidak ada masalah,’’ katanya.

Relaksasi ekspor tersebut hanya berlaku untuk konsentrat. Pemerintah sepakat mineral mentah lainnya seperti bijih nikel tetap dilarang untuk diekspor. Kebijakan itu berlaku untuk semua. Termasuk BUMN. Pemerintah beralasan bahwa perusahaan-perusahaan tambang tersebut tetap wajib melakukan program hilirisasi.

Jonan menjelaskan, kementerian terkait, yakni Kementerian ESDM, Kemenko Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian BUMN, telah sepakat pada aturan tersebut. Namun, revisi aturan itu tetap harus menunggu persetujuan presiden.

Tetapi, pemerintah masih belum memutuskan tarif bea keluar ekspor konsentrat. Menurut Jonan, itulah kewenangan Kementerian Keuangan. Yang jelas, revisi aturan tersebut diselesaikan pemerintah agar bisa diterapkan mulai tahun depan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memastikan perusahaan pertambangan yang telah mendapatkan IUPK tetap diwajibkan membangun fasilitas pemurnian atau smelter. ’’Mereka harus berkomitmen bahwa smelter akan dibangun dalam lima tahun. Setiap tahun harus ada progres yang harus dicapai,’’ tuturnya.

Darmin memaparkan, dalam pasal revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 77 Tahun 2014 tentang Mineral dan Batu Bara, tercantum bahwa perusahaan kontrak karya yang ingin melakukan ekspor mineral mentah harus berubah status menjadi IUPK. Tetapi, dalam lima tahun mendatang, perusahaan dengan IUPK itu tetap harus menyelesaikan pembangunan smelter untuk pemurnian. Pembangunan tersebut dapat dilakukan bertahap sesuai dengan yang tertulis dalam Peraturan Menteri ESDM.

’’Ada komitmen tertulis bahwa dia akan mematuhi. Berapa persen per tahunnya ada di Permen ESDM. Tapi, setiap tahun sampai tahun kelima harus 100 persen. Kalau tidak (dilakukan, Red), pada tahun pertama ada sanksinya,’’ tegasnya.

Darmin menyatakan, jika komitmen pembangunan smelter dalam lima tahun itu telah dilakukan, perusahaan pertambangan tersebut bisa mengekspor konsentrat. Dengan catatan, mereka tidak melalaikan kewajiban pembangunan smelter. (*/bersambung/Jawa Pos/JPG)