eQuator.co.id – Industri keuangan nonbank (IKNB) mesti bisa memanfaatkan momentum pemulihan ekonomi tahun depan. Saat ada harapan ekonomi bertumbuh, di situ ada potensi yang bisa digali dengan lebih maksimal.
Jasa asuransi menghadapi kesulitan pertumbuhan premi sejak 2015. Premi lebih banyak didapat dari nasabah existing yang melakukan pembaruan pada polisnya atau menambah polis sehingga asuransi mendapatkan premi baru dari pembelian produk tersebut. Merangkul nasabah baru menjadi kesulitan paling besar.
Pada 2016 ini, industri keuangan berlomba-lomba mengembangkan teknologi yang mampu memudahkan penetrasi produknya. Hal itu juga dilakukan oleh industri asuransi. Dengan potensi pemilik ponsel pintar yang mencapai sepertiga total populasi, industri asuransi melihat adanya ceruk pasar yang bisa dimanfaatkan dengan lebih maksimal tahun depan.
”Walaupun kontribusi premi dari layanan digital masih rendah, yang terpenting traction-nya (daya tariknya, Red) meningkat terus,” kata CEO Adira Insurance Indra Baruna.
Layanan melalui financial technology (fintech) asuransi selama ini rata-rata berisi informasi seputar produk asuransi, keuntungan berasuransi, kanal pembelian produk, cara klaim, dan lain-lain. Intinya, mempermudah layanan asuransi kepada nasabah.
Hal itu membutuhkan investasi yang tidak sedikit dari industri asuransi. Namun, arah perkembangan konsumsi kelas menengah yang lekat dengan teknologi menjadi potensi yang sayang kalau disia-siakan.
Data Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) menyebutkan, pengguna internet tersebar di seluruh Indonesia. Perinciannya; Sumatera 15,7 persen; Sulawesi 6,3 persen; Kalimantan 5,8 persen; Bali dan NTB 4,7 persen; Maluku dan Papua 2,5 persen; serta Jawa paling mendominasi dengan kontribusi 65 persen.
Pola konsumsi masyarakat itu ingin yang serbacepat. IKNB pun harus bisa menanggapi kebutuhan tersebut agar pertumbuhan pengguna ponsel barbanding lurus dengan literasi dan inklusi keuangan masyarakat. Selain itu, pengembangan teknologi bermanfaat untuk mengurangi peran agen.
”Agen diperlukan untuk produk-produk yang butuh konsultasi seperti produk investasi (unit link, Red) yang perlu disurvei secara detail. Namun, digitalisasi diperlukan untuk mengurangi peran agen,” lanjut Indra.
Literasi tidak hanya bisa dikembangkan lewat media online, tapi juga secara offline. Presiden Direktur Prudential Indonesia Jens Reisch mengatakan bahwa pihaknya telah mendirikan taman literasi keuangan di Jakarta. Di taman tersebut, ada fasilitas permainan edukatif yang bisa meningkatkan pemahaman masyarakat pada inklusi keuangan.
”Kami mempunyai tanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat Indonesia mengenai pentingnya perencanaan keuangan,” ujarnya.
Upaya peningkatan literasi keuangan itu bukan tanpa sebab. Menurut data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) per kuartal II 2016, baru sekitar 19 juta warga Indonesia yang terlindungi asuransi jiwa individual. Jumlah itu cuma mencakup 7,5 persen dari 255 juta populasi Indonesia.
Dari sisi kinerja, asuransi mengalami kendala pada hasil investasi, terutama pada unit link. Sebab, pada 2015, indeks harga saham gabungan (IHSG) cenderung bearish dengan angka di bawah 5.000. Kini industri asuransi, dana pensiun, dan fund manager bisa berharap pada sentimen-sentimen yang mampu meningkatkan kinerja investasi tahun depan.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Julian Noor mengungkapkan, industri asuransi cenderung mengikuti perkembangan perekonomian. ”Kami masih sangat bergantung pada sektor properti dan kendaraan. Tahun depan semoga bisa tumbuh di atas 10 persen,” ujarnya.
Di sisi lain, multifinance baru saja mendapat angin segar dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Melalui Surat Edaran OJK No 47/SEOJK.05/2016 tentang Besaran Uang Muka (Down Payment) Pembiayaan Kendaraan Bermotor bagi Perusahaan Pembiayaan dan Surat Edaran OJK No 47/SEOJK.05/2016 tentang Besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor untuk Pembiayaan Syariah, otoritas telah memberikan kelonggaran buat pembiayaan kendaraan bermotor.
Anggota Dewan Komisioner dan Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK Firdaus Djaelani mengatakan, beleid tersebut ditujukan kepada perusahaan multifinance yang mampu mengelola kualitas piutang pembiayaan dengan baik. Untuk multifinance dengan non-performing financing (NPF) di bawah 1 persen, besaran uang muka atau down payment (DP) boleh ditetapkan minimal 5 persen.
”Kebijakan DP rendah itu diharapkan dapat memberikan dorongan terhadap peningkatan pertumbuhan piutang pembiayaan,” kata Firdaus.
Dia pun mengingatkan perusahaan multifinance yang memiliki kualitas piutang sudah baik untuk terus menjaga kinerja. Dengan begitu, pertumbuhan pembiayaan pada multifinance bisa lebih cepat tahun depan.
Peran OJK memang lebih dibutuhkan oleh IKNB tahun depan. Industri dana pensiun, misalnya, kini tengah menanti peluncuran aturan yang akan memberikan dana pensiun opsi baru untuk mengelola dana hari tua bagi para pekerja.
”Peraturan OJK tentang manfaat lain sedang disusun. Tahun depan bisa lebih tinggi pertumbuhan aset (dana pensiun, Red),” ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) Bambang Sri Muljadi.
Data OJK menyebutkan, aset dana pensiun hingga Oktober 2016 sebesar Rp 236,01 triliun atau tumbuh 18,73 persen secara year on year (yoy). Pada Oktober 2015, total aset dana pensiun masih sebesar Rp 198,77 triliun. Soal dana pensiun, selain peraturan, masih dibutuhkan pula peningkatan literasi. Sebab, masih banyak kalangan masyarakat yang belum mempersiapkan hari tua dengan baik. Soal itu, industri tidak bisa hanya bergantung kepada OJK. Mereka juga harus aktif meningkatkan upaya edukasi kepada masyarakat.
Terakhir, industri fintech juga harus didorong dari segi literasi dan peraturan. Fintech kini tengah menanti peluncuran aturan dari OJK tentang peer-to-peer lending. Aktivitas peer-to-peer lending sendiri sudah mulai difasilitasi industri. Namun, jumlahnya masih terbatas.
Fintech yang kini beroperasi sebenarnya sudah cukup memiliki kinerja yang baik dan masih mengikuti aturan OJK tentang batasan non-perfoming loan maksimal 5 persen. CEO Deputy PT Digital Alpha Indonesia (uangteman.com) Rio Quiserto mengatakan, NPL uangteman.com masih berada di bawah 3 persen. Artinya, industri fintech mampu mengelola risiko dengan baik.
”Selain edukasi, kami berusaha memberikan layanan cepat tapi tetap prudent dalam memilih nasabah,” ujarnya.
CEO & co-founder uangteman.com Aidil Zulkifli menambahkan, pihaknya menjamin akan memenuhi regulasi dari otoritas. Kendati fintech masih tergolong baru di Indonesia, dia yakin bahwa pelaku industri mempunyai komitmen yang kuat untuk menaati peraturan yang bakal berlaku. Sebab, fintech harus didukung karena memiliki potensi besar.
”Tanpa peraturan, kami nggak bisa jalan dengan baik. Kami punya banyak ide, mulai dari pinjaman syariah sampai pinjaman kepada UMKM. Kami masih dalam tahap mempelajari pasar,” tutur dia.
Pihak OJK menuturkan, literasi keuangan masih menjadi isu yang terus dibahas. Berdasar penelitian OJK pada 2013, tingkat literasi keuangan masyarakat masih 59 persen.
”Ya, kami masih berusaha untuk meningkatkan itu ya,” ungkap anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Kusumaningtuti S. Soetiono.
KURANGI BELANJA IMPULSIF
Di sisi lain, perlu diingat, memilih produk keuangan adalah hal yang sangat personal. Semua bergantung kebutuhan dan rencana masing-masing investor. Tidak ada yang bisa memprediksi produk investasi maupun asuransi apa yang lebih moncer. Sebab, semua kembali kepada karakteristik dan kebutuhan nasabah.
Ahmad Gozali, financial planner, menuturkan bahwa masyarakat sebaiknya tetap mendahulukan kebutuhan utama seperti membayar utang dan simpanan (saving) sebelum kebutuhan belanja. Konsumen juga perlu bijak dengan tawaran-tawaran yang menggiurkan dari situs-situs e-commerce. Belum lagi, tawaran promo industri keuangan untuk mendapatkan diskon besar.
”Tahun ini, tahun depan, makin lama belanja, semakin mudah. Hati-hati pada aktivitas belanja impulsif. Produk apa saja, tawaran apa saja, semuanya disesuaikan dengan kebutuhan,” ujarnya.
Memilih produk investasi, kata dia, tidak bisa hanya melihat segi keuntungan atau return yang besar. Nasabah juga harus mempertimbangkan risiko yang ada.
Karena itu, literasi tidak cukup berhenti pada inklusi saja. Menurut pria yang juga aktif menjadi penulis buku dan trainer di berbagai perusahaan tersebut, nasabah perlu memperhatikan perkembangan kondisi perekonomian.
Tujuannya, mereka bisa memutuskan produk keuangan yang paling tepat di tengah kondisi ekonomi yang fluktuatif. Apakah memilih reksa dana, saham, atau pun dana pensiun dan asuransi yang juga memiliki unsur investasi. (*/bersambung/Jawa Pos/JPG)