eQuator.co.id – Tantangan terbesar pemerintah adalah terus meningkatkan tax ratio (rasio pajak) yang kini belum beranjak dari level 11 persen. Rasio setoran pajak berbanding kue ekonomi tersebut idealnya bisa mencapai 15 persen.
Salah satu upaya pemerintah adalah melakukan reformasi perpajakan. Selasa (20/12), pemerintah merilis tim reformasi perpajakan yang terdiri atas berbagai kalangan. Mulai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pelaku usaha, pengamat atau ahli, hingga lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF).
Menkeu Sri Mulyani Indrawati menuturkan, tim itu juga akan memperkuat Ditjen Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Dari sisi perpajakan, tim tersebut berperan dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan menaikkan kepercayaan terhadap pengelolaan basis data atau administrasi pajak. Selain itu, tim akan meningkatkan integritas dan produktivitas aparat pajak. Di sisi lain, untuk kepabeanan dan cukai, tim berupaya meningkatkan integritas dan akuntabilitas pelayanan dan pengawasan kepabeanan dan cukai.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut melanjutkan, tim itu akan mengemban tugas selama empat tahun, yakni mulai tahun depan hingga 2020. Rencananya, pada Februari 2017, secara terperinci tim tersebut menyampaikan prioritas dan langkah-langkah yang dijalankan.
’’Kami akan cukup open-minded mengenai prioritas setiap kuartal sehingga memberikan kesempatan kepada tim untuk konsolidasi selama sebulan ini,’’ papar Sri Mulyani di gedung Ditjen Pajak, belum lama ini.
Mengenai upaya reformasi perpajakan, Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih menuturkan, sebaiknya upaya itu berfokus pada dua aspek konkret, yakni tarif dan volume alias jumlah WP. Dia menguraikan, hanya 10 juta di antara total 28 juta WP OP terdaftar yang rutin melaporkan SPT (surat pemberitahuan) pajak tahunan. Dari jumlah tersebut, hanya 900 ribu yang mengaku kurang bayar. Pihaknya meyakini potensi kurang bayar WP OP itu bisa digali.
’’Suami-istri kerja, itu pasti kurang bayar. Jadi, potensi yang 9 jutaan tersebut (10 juta WP dikurang 900 ribu WP, Red) harusnya digarap pemerintah,’’ ujarnya.
Kemudian, mengenai tarif, Lana menuturkan, potensi penerimaan PPN (pajak pertambahan nilai) sebenarnya cukup besar. ’’Masih ada ruang yang bisa digarap pemerintah untuk mengejar PPN dengan memastikan bahwa PPN yang dipungut benar-benar dibayarkan ke pemerintah,’’ imbuhnya.
SEMUA WAIT AND SEE
Yang menarik di dunia perbankan. Tahun ini, bankir-bankir mulai beranjak dari masa penuh kelesuan. Proses konsolidasi dilakukan untuk memperbaiki kinerja pertumbuhan kredit yang melambat sejak 2015. Tahun depan perbankan mencoba berlari untuk meraih pertumbuhan kredit dua digit.
Kinerja korporasi tahun depan diproyeksi memiliki prospek yang lebih baik. Hal tersebut ditunjukkan dengan permintaan kredit korporasi yang mulai meningkat pada tahun ini meski tidak secepat pertumbuhan segmen mikro dan komersial.
Corporate Secretary PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Ryan Kiryanto menyatakan, tantangan perbankan saat ini adalah ketika kondisi korporasi membaik, pertumbuhan kredit dari segmen itu malah masih rendah.
’’Sebab, banyak korporasi yang menggunakan dana sendiri untuk berekspansi,’’ katanya.
Korporasi tahun ini lebih konservatif. Mereka melakukan investasi dengan dana gironya sehingga tidak memiliki kebutuhan besar terhadap utang-utang baru. Kalau pun ada spending, korporasi hanya meningkatkan pencairan kredit lama yang sebelumnya diterima dari bank.
Ekonom Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih menuturkan, aksi self-financing itu dilakukan karena dunia usaha masih melihat kondisi global yang dipenuhi ketidakpastian. Tahun depan, ketika jajaran kabinet dan arah kebijakan Presiden AS Donald Trump terlihat lebih jelas, ada agresivitas dari korporasi mengenai investasi baru dan permintaan kredit.
’’Ya, semua masih wait and see (menunggu). The Fed tahun depan kayak apa, Trump juga mau ngapain,’’ ujarnya.
Menurut Lana, jika perbankan ingin pertumbuhan kredit lebih cepat pada tahun depan, bank harus mampu bersaing dengan industri keuangan lain yang menjadi sumber pembiayaan korporasi tahun ini. Sebab, korporasi tidak hanya melakukan aksi self-financing dari gironya, tetapi juga menambah utang lewat penerbitan obligasi.
’’Medium-term notes (MTN) juga, mereka banyak yang pilih itu. Jadi, memang kenyataannya bunga bank dan suku bunga BI 7-Day (Revers) Repo Rate yang turun enam kali tahun ini belum cukup menarik untuk mendongkrak demand kredit,’’ ungkapnya.
Hingga Oktober lalu, kredit tumbuh 8,5 persen. Sementara itu, suku bunga deposito turun 129 basis points (bps) dan suku bunga kredit merosot 62 bps. Jika rasio kredit macet membaik pada tahun depan, penurunan suku bunga bisa terus berlanjut. Namun, Bank Indonesia (BI) juga harus memperhatikan risiko ketidakpastian global. Misalnya yang datang dari Bank Sentral AS.
Gubernur BI Agus Martowardojo menuturkan, BI melihat The Fed mungkin menaikkan suku bunga acuan tiga kali pada tahun depan. Namun, semua itu baru sebatas prediksi.
’’Tahun depan semoga kredit bisa tumbuh 10 sampai 12 persen. Oktober lalu, NPL (non-performing loan) cukup bertahan (3,2 persen, Red) dan kami berharap lebih terkendali pada semester kedua 2017,’’ ungkapnya.
Semester kedua 2017 merupakan momen ketika perbankan selesai merestrukturisasi kredit. Kondisi perekonomian juga mulai membaik sehingga pada saat itulah momen kenaikan permintaan kredit terjadi. Nasabah juga mulai memikirkan investasi baru dan aktivitas self-financing berkurang. Sebab, pada akhirnya, korporasi yang melakukan self-financing membutuhkan likuiditas giro.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Makro Ekonomi BI Juda Agung menilai pada 2017 Indonesia dihadapkan pada risiko kenaikan inflasi dari komponen administered price seperti LPG dan tarif tenaga listrik (TTL). Maka, bank melihat seberapa jauh penurunan suku bunga berlanjut pada tahun depan.
’’Sebenarnya hal itu (suku bunga, Red) terus mengalami penyesuaian, menurun. Khususnya, kalau NPL membaik, ruang penurunan suku bunga tersebut bisa dimanfaatkan,’’ jelasnya.
Dia mengakui, 2016 adalah tahun konsolidasi, baik dari sisi fiskal, korporasi, maupun perbankan. Konsolidasi korporasi pada tahun ini akan menghasilkan laporan dan neraca keuangan yang lebih baik pada akhir 2016.
Utang membaik dan utilitas kredit lebih maksimal sehingga meningkatkan confidence bank untuk menyalurkan kredit. Jadi, beberapa bank yang belum banyak menyentuh sektor korporasi pada tahun ini akan lebih berani bermain di sektor tersebut.
Sementara itu, sektor mikro juga akan membantu pertumbuhan kredit. Hanya, bank harus lebih me-maintain nasabahnya sehingga risiko NPL bisa dihindari. Sebab, selama ini kredit mikro identik dengan risiko kredit macet yang tinggi.
’’Kami berpengalaman di sektor tersebut. Kedepan mikro terus berkembang karena potensinya masih besar,’’ ungkap Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Asmawi Syam.
Jika ingin kinerja membaik, lanjut dia, penting bagi bank untuk konsisten dalam perannya di sektor tersebut. Tanpa konsistensi, bank hanya akan mendapatkan NPL tinggi dari nasabah mikro. Bank harus mampu memahami karakteristik nasabah mikro dan melihat peluang nasabah itu. Sebab, nasabah mikro tidak hanya bisa ditawari kredit, tetapi juga produk perbankan lain yang mendatangkan fee based income (FBI). (*/bersambung/Jawa Pos/JPG)