eQuator.co.id – Ketidakpastian masih menggelayuti perekonomian dunia tahun depan. Saat perdagangan internasional dan investasi global belum bisa diharapkan, permintaan domestik akan menjadi tumpuan.
Ada sejumlah risiko ekonomi yang sudah menghadang di depan mata. Kenaikan suku bunga The Fed masih membikin galau pasar keuangan dunia. Dampak nyata keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa atau Brexit juga bakal lebih terasa.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menjelaskan, dari sisi global, perkembangan ekonomi dan politik negara-negara maju akan berdampak bagi ekonomi domestik. Salah satunya, ekonomi Amerika Serikat (AS) yang dihadapkan pada tatanan baru setelah Donald Trump terpilih pada pilpres November lalu.
’’Hasil pemilu AS tidak hanya berpengaruh terhadap ekonominya, tapi juga merembet ke ekonomi global. Ketidakpastian terhadap ekonomi AS diproyeksi masih cukup tinggi, sejalan dengan kebijakan Trumpnomics,’’ paparnya.
Selain itu, rencana kenaikan FFR (fed fund rate) menjadi risiko pertama ekonomi global pada tahun depan. Jika merujuk pada data pengangguran di AS, kemungkinan bank sentral Amerika menaikkan kembali FFR masih sangatlah tinggi. Dengan tingkat pengangguran di AS yang trennya terus menurun hingga menyentuh 4,9 persen, prospek pemulihan ekonomi Negeri Paman Sam bakal membuat The Fed mengetatkan kebijakan moneter.
Kenaikan suku bunga The Fed diperkirakan tidak berhenti hingga akhir 2016. ’’Kenaikan suku bunga The Fed tentu bakal membuat dolar AS menguat terhadap sejumlah mata uang dunia, termasuk rupiah. Hal itu meningkatkan risiko bagi kegiatan ekonomi yang menggunakan transaksi dolar, termasuk utang luar negeri yang akan terkena dampak dari kebijakan ini,’’ ujar Enny.
Meski demikian, dampak nilai tukar tersebut diprediksi tidak sebesar tahun lalu. Sebab, pemerintah Indonesia sudah menyiapkan langkah-langkah untuk menghadapi risiko tersebut.
Dampak Brexit juga dikhawatirkan berlanjut. Sejumlah ekonom khawatir negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa mengikuti langkah Inggris. ’’Jika begitu, ekonomi dunia bakal makin rapuh dan rumit. Apalagi, perkembangan ekonomi di negara berkembang belum menunjukkan perbaikan,’’ katanya.
Dengan belum bisa diandalkannya ekspor dan impor karena ekonomi global yang belum menentu, konsumsi domestik masih akan menjadi andalan. Terlebih, pemerintah tengah menyiapkan paket kebijakan perpajakan yang lebih bersahabat. Dengan rezim perpajakan yang lebih baik, daya dongkrak ekonomi domestik diharapkan lebih meningkat.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyatakan hal serupa. Meski pihaknya optimistis ekonomi Indonesia tahun depan bisa mencapai 5,1–5,2 persen, pencapaian pertumbuhan itu bergantung pada efektivitas kebijakan pemerintah dan keberhasilan reformasi ekonomi dalam dua tahun terakhir.
Di sisi eksternal, kata Josua, risiko terbesar bagi perekonomian Indonesia diperkirakan masih berasal dari Tiongkok dan AS. Dalam menghadapi kondisi perekonomiannya yang terus turun, pemerintah Tiongkok dihadapkan pada dua pilihan. Yakni, tetap mendorong pertumbuhan ekonomi atau menerapkan kebijakan ekonomi yang cenderung ketat untuk mengurangi dampak peningkatan kredit macet. Kebijakan ekonomi AS ditentukan pada akhir Januari tahun depan, tepatnya setelah inaugurasi Donald Trump.
Bila kebijakan-kebijakan ekonomi Trump pada saat kampanye direalisasikan, yaitu proteksionisme terhadap perdagangan Meksiko dan Tiongkok, perdagangan internasional ikut terpengaruh. ’’Selain itu, kebijakan fiskal yang ekspansif dari Trump berpotensi mendorong inflasi pada tahun depan sehingga berikutnya memengaruhi arah kebijakan suku bunga AS,’’ jelasnya.
Dia juga memprediksi The Fed masih menaikkan suku bunga AS sebesar 75 basis point pada tahun depan. Selain itu, tahun depan ada beberapa agenda politik di kawasan Eropa seperti pemilu Prancis dan Jerman. ’’Semua itu berpotensi mendorong ketidakpastian di pasar global dan volatilitas di pasar keuangan,’’ ungkapnya.
Untuk tantangan domestik, Josua mengungkapkan bahwa ada beberapa hal yang perlu diwaspadai. Misalnya, belum optimalnya pendapatan negara dari pajak seiring dengan perlambatan ekonomi Indonesia dan masih rendahnya basis pajak. Di sisi lain, pemerintah berencana meningkatkan porsi anggaran belanja, khususnya infrastruktur. ’’Akibatnya, defisit anggaran cenderung makin lebar dan mendekati ambang batas yang ditetapkan,’’ tandasnya. (Jawa Pos/JPG)