Pusat-Daerah Minim Koordinasi, Di Kalbar Tak Ada Uji Tera Lagi

SERTIFIKASI LAWAS. Salah satu dispenser di SPBU Kota Pontianak masih menggunakan stiker tera lama berlogo Pemerintah Provinsi Kalbar, Senin (19/12). Padahal, terhitung Oktober 2016, mereka tidak lagi melayani pelaksanaan uji tera. Iman Santosa-RK

eQuator.co.id – Setakat ini, mencuat kekhawatiran bahwa pada tahun depan komoditi ekspor —contohnya Crude Palm Oil (CPO)— dari Kalimantan Barat bisa saja ditolak pembeli karena tak bersertifikasi. Pasokan BBM ke SPBU pun dapat dihentikan sebab penyedia layanan tak bisa memperpanjang perizinan mereka. Sertifikasi dimaksud biasa disebut uji tera.

Hal itu tidak sesepele kedengarannya. Sebagai informasi, tera berarti cap pengujian yang dibubuhkan oleh instansi pemerintah terkait di timbangan, takaran, dan ukuran, yang dipakai dalam perdagangan. Tanpa pengesahan dari jawatan tera berarti alat timbangan apapun, misalnya di pasar-pasar, tak bisa dipastikan kebenarannya. Dan, di Kalbar, tidak ada lagi lembaga yang punya kewenangan untuk melakukan uji tera tersebut maupun peneraan ulang.

Masalah ini sebenarnya berawal dari diterbitkannya Undang-Undang nomor 23/2014 tentang pemerintah daerah. Regulasi tersebut memberikan pelimpahan kewenangan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah tingkat kota dan kabupaten yang salah satunya tanggung jawab untuk melaksanakan uji tera dan tera ulang. UU tersebut mulai diberlakukan paling lambat dua tahun sejak ditetapkan, tepatnya Oktober 2016.

Akibatnya, pelaksanaan kewenangan kemetrologian legal yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah provinsi tidak lagi bisa dilakukan per Oktober 2016. Sementara, untuk pemerintah tingkat kota dan kabupaten di Kalimantan Barat, ternyata tidak ada satupun yang memiliki kesiapan untuk melaksanakan layanan kemetrologian.

Sepi. Itu pantauan Rakyat Kalbar pada Rabu (14/12) di Kantor Unit Pelayanan Kemetrologian Pontianak, Jalan Gusti Sulung Lelanang. Beberapa pegawai berseragam dinas aparatur sipil negara (ASN) yang berada di bawah naungan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kalbar itu tampak santai, tanpa kesibukan.

Pelaksana UPTD Kemetrologian di tingkat Kota Pontianak inipun masih tergabung di kantor Disperindagkop-UKM (Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah) setempat. Kantornya hanya berupa ruangan berukuran sekitar 4×4 meter. Sampai saat ini, UPTD Metrologi Legal Pontianak tersebut belum bisa melakukan uji tera sendiri.

Dian Anggraeni, Kepala UPTD Metrologi Legal, Disperindagkop-UKM Pontianak, mengaku pihaknya masih menunggu terbitnya Surat Keterangan Kelayakan Pelaksanaan Tera dan Tera Ulang (SKKPTU) yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. “Stiker tanda teranya saja sudah dikembalikan dari Pemprov ke pusat, tidak ada dengan kami, jadi tidak bisa melakukan tera,” jelas Dian.

Menurut dia, stiker tersebut tidak sembarangan karena hanya dikeluarkan oleh Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri).

Ia menegaskan bahwa proses untuk mendapatkan SKKPTU tidak mudah. Setelah melengkapi segala kebutuhan menjalankan UPTD Metrologi Legal, pihak Pemerintah Kabupaten/Kota harus mengajukan permohonan rekomendasi. Setelah itu, pemerintah pusat akan mengirimkan tim untuk menilai kesiapan sebuah UPTD Metrologi Legal di daerah. Jika tim survei menganggap syarat telah dipenuhi, barulah SKKPTU bisa keluar dan operasional UPTD dapat mulai berjalan.

“Nah, yang saya tahu, untuk Kalbar, surat rekomendasi saja itu baru satu UPTD yang mengajukan. Itupun nggak tahu surveinya lolos atau tidak,” tukas Dian.

Ditambahkannya, saat ini, belum ada UPTD tingkat kota/kabupaten di Kalbar yang dibentuk. “Perlu anggaran tidak sedikit, karena alat-alatnya tidak murah, belum lagi sarana prasarananya,” terang dia.

Dian menilai Pemprov harus segera mendorong terbentuknya UPTD Metrologi Legal di kota/kabupaten se-Kalbar. Agar proses pelayanan Kemetrologian Legal tidak perlu jauh-jauh ke daerah lain.

“Kalau misalnya seperti di Kubu Raya sudah siap, nanti Pontianak bisa berkerja sama, Pemda to Pemda, buat kontrak untuk pelayanan tera ulang,” ujarnya.

Sepengetahuan dia, baru dua daerah yang mendapat gelontoran DAK (Dana Alokasi Khusus) guna pembangunan UPTD Metrologi Legal. Yakni, Singkawang dan Kubu Raya.

Sementara ini, untuk semua permohonan tera UTTP (Ukuran Takaran Timbangan dan Perlengkapannya) di Kota Pontianak harus diajukan ke Disperindagkop-UKM Kota Pontianak. Kemudian permohonan itu direkap dan diteruskan ke Balai Standardisasi Metrologi Legal (BSML).

“Kalau regional kita itu di Banjarmasin. Jadi BSML ini yang melaksanakan ketika kota atau kabupaten belum bisa memberikan pelayanan di masa transisi dan stagnasi,” ungkap Dian.

Senada, Eddyanto, Kepala Unit Pelayanan Metrologi Pontianak. Ia membenarkan instansi yang dipimpinnya itu tak beroperasi lagi.

“Sejak Oktober sudah nggak ngapa-ngapain. Cuma, karena pegawai negeri, ya wajib masuk,” bebernya. Selama dua bulan ini, instansinya hanya mengurusi administrasi semata.

Sebenarnya, sebelum Oktober 2016, Pemprov melayani hampir seluruh permohonan uji tera karena perlengkapan yang dimiliki terbilang lengkap. Namun, karena penarikan stiker atau cap tera, uji tera tidak bisa dilakukan. Tak bisa dipaksakan karena tidak memiliki legitimasi hukum tanpa stiker atau cap tera tersebut.

Padahal, menurut Eddyanto, sampai saat ini Unit Kemetrologian Legal Kota/Kabupaten di Kalbar belum ada yang siap. Uji tera terpaksa dilakukan oleh BSML Banjarmasin.

Ia menganalisa, yang terjadi saat ini sebenarnya hanya permasalahan koordinasi antara pusat dan daerah yang tidak maksimal. Ia menilai penerapan UU ini mengesampingkan kesiapan kabupaten dan kota.

“Kalau pusat punya komunikasi yang baik, tentu kejadian seperti ini tidak terjadi,” ujarnya. Eddyanto menyesalkan kurangnya koordinasi dengan pihak Kemetrologian Pemprov terkait perubahan pemberlakuan regulasi yang mengatur kewenangan uji tera tersebut.

Meski begitu, ia meyakini kebijakan pelimpahan kemetrologian ke pemerintah kabupaten dan kota sudah seharusnya. Karena segala unit yang sifatnya pelayanan memang harus lebih dekat dengan masyarakat. Yang kembali disesalkan adalah pemerintah pusat yang kurang memperhatikan kesiapan daerah.

Menurut dia, pelaksanaan UU ini merupakan tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri. Namun, kementerian itu seperti melempar tanggung jawab kepada Kementerian Perdagangan yang menaungi urusan Kemetrologian Legal.

“Istilahnya ini cuma kebijakan di atas kertas, kemudian diterapkan. Semuanya saling lempar,” ungkap Eddyanto.

Ia pun menegaskan bahwa untuk di Kota Pontianak dan Singkawang harusnya tidak ada kata tidak siap. Sebab, dua Pemkot ini tinggal menerima pelimpahan aset dan sumber daya manusia (SDM) dari Pemprov. Tapi, diakuinya administrasi semacam ini tidak sederhana.

“Pengalihan ini menunggu, khususnya SK dari BKN (Badan Kepegawaian Nasional) untuk pengalihan dari pegawai Pemprov menjadi pegawai Pemkot,” jelas Eddyanto.

Imbuh dia, “Karena SDM penera ini tidak bisa sembarangan, ada orang khususnya”. Karena itu penyerahan personil, peralatan, dan perlengkapan kemetrologian, belum bisa dilakukan.

Kelengkapan kemetrologian memang spesifik dan tidak dijual bebas. Membutuhkan anggaran tidak sedikit. Selain itu, tenaga SDM pun tidak sembarangan. ASN yang dilatih untuk menjadi petugas tera harus berlatar belakang teknik dan mengikuti pelatihan khusus yang bisa sampai setahun lamanya. Namun, kata Eddyanto, hal tersebut tidak menjadi alasan.

“Semua sangat tergantung komitmen dari pengampu kebijakan di kota dan kabupaten,” tegasnya.

Ia menyoroti banyak pemerintah daerah belum mengerti pentingnya kemetrologian ini. Selain cakupan kerjanya yang luas, kemetrologian punya peran sebagai wujud perlindungan terhadap konsumen.

“Bahkan dari jaman penjajahan saja, sudah ada yang namanya jawatan timbangan,” ungkap Eddyanto.

Ditambahkannya, banyak permasalahan yang harus dibenahi dalam masa transisi ini. Misalnya, ketika suatu daerah yang belum siap melakukan tera kan harus menumpang pelaksanaan tera ke daerah lain.

“Retribusinya mau pakai yang daerah mana? Lalu yang membiayai petugasnya siapa? Ini harus disepakati, dan itu tidak semudah mengucapkannya,” tukasnya.

Walhasil, ia berharap kepala daerah tingkat kota dan kabupaten segera membentuk unit pelayanan kemetrologian di daerah masing-masing. Pelayanan kemetrologian ini dibutuhkan, mulai dari pedagang eceran yang pasti menggunakan timbangan, hingga perusahaan sawit atau perusahaan besar lainnya yang melibatkan alat ukur dalam transaksinya.

“Kalau sampai 2017 nanti belum bisa juga kabupaten dan kota ini melakukan layanan, khawatirnya akan banyak yang merasa kesulitan,” papar Eddyanto.

Ia mencontohkan para pelaku perdagangan luar negeri. Komoditi ekspor mereka pasti akan ditolak jika tidak memiliki sertifikat tera.

“Begitupun misalnya tangki-tangki SPBU yang tidak ditera, pasokan BBM ke SPBU tersebut bisa jadi akan dihentikan,” pungkasnya.

 

Laporan: Iman Santosa

Editor: Mohamad iQbaL