eQuator.co.id – Tersangka pembunuh pengajar seni budaya di SMAN 7 dan SMAN 3 Pontianak, Higinus Dhichy Putra, terancam hukuman maksimal. Pasalnya, polisi menyimpulkan dia telah merencanakan untuk menghabisi nyawa Ahmad Irwanda.
Ocsya Ade CP, Pontianak
Pembunuhan berencana yang dituduhkan Polresta Pontianak kepada Diki, biasa Higinus Dhichy Putra dipanggil, itu diperkuat dengan 27 adegan reka ulang. Kepolisian menghadirkan tersangka dan para saksi di lokasi kejadian, Indekos Manda, Jalan Ilham, Gang Ilham 2, Pontianak Kota, Kamis (15/12) siang. Tepatnya di depan kamar 09.
Rekonstruksi perkara ini dipimpin langsung Kasat Reskrim Polresta Pontianak, Kompol Andi Yul Lapawesean. Tentu dengan disaksikan tim pengacara tersangka pembunuhan bermotif asmara itu: Alfonius Girsang, Yohannes Nenes, Ferdinandus Herri, Christoph Purba, dan Suarmin. Jaksa dari Kejari Pontianak, Adityo Utomo, pun hadir.
Selain tersangka Diki, pemuda asal Bengkayang kelahiran 11 Januari 1993, dua saksi korban pun terlihat di sana untuk memperagakan setiap adegan pembunuhan. Mereka adalah Rosalina alias Ocha dan Denni. Sementara, posisi korban Ahmad Irwanda yang karib disapa Wanda digantikan anggota Sat Reskrim Polresta.
Dari awal, wajah Ocha yang merupakan kekasih Wanda tampak murung. Lirikan matanya sinis saat melihat wajah tersangka Diki, mantan pacarnya itu.
“Saya benci lihat dia (Diki, red),” tuturnya.
Meski demikian, ia tak menaruh dendam. Wanita berparas ayu penghuni Indekos Manda kamar 09 ini hanya meminta Diki dihukum seberat-beratnya.
Dalam rekonstruksi, terungkap bahwa korban sempat menuduh Diki mencuri laptop Ocha. Diki juga sempat menodongkan senjata yang digunakan untuk menusuk Wanda ke arah saksi Denni ketika ia mencoba melerai perkelahian berujung kematian tersebut.
“Saya sempat melerai, tapi dia (Diki, red) tunjukkan pisau kepada saya, ancam saya. Saya keluar dan bilang warga bahwa ada yang ditusuk. Warga kemudian tak berani masuk karena dia bawa pisau,” tutur penghuni kamar indekos 06 yang tinggal bersama pacarnya itu.
Sebelum hingga reka ulang ini berakhir, sejumlah polisi bersenjata lengkap berjaga-jaga di lokasi. Warga setempat pun memadati indekos tersebut.
Sebenarnya, kata Kasat Reskrim Polresta Pontianak, Andi Yul Lapawesean, tidak ada fakta baru yang terungkap dari rekonstruksi pembunuhan yang terjadi pada Selasa, 29 November 2016, ini. Semua adegan sesuai keterangan dalam BAP tersangka dan para saksi.
Ia menerangkan, antara Diki, Wanda, serta Ocha, memang sering cekcok akibat asmara. Diki masih bawa perasaan meski sudah putus dengan Ocha dan mantan pacarnya itu menjalin tali kasih dengan Wanda. Mungkin karena Diki dan Ocha telah melakoni hubungan asmara selama enam tahun.
“Percekcokan itu kerap terjadi dua minggu sebelum terjadinya pembunuhan ini. Ancaman-ancaman memang sudah ada sebelumnya, baik melalui media sosial, SMS maupun pertemuan di kala mereka cekcok,” tutur Andi Yul usai memimpin reka ulang.
Memang, selama cekcok dan pengancaman yang dilakukan Diki, ia tidak pernah menodongkan pisau atau senjata lainnya. Pengancaman itu baru sebatas verbal saja.
“Tetapi, Rosalina sempat melihat tersangka membawa pisau saat percekcokan yang terjadi sebelumnya di salah satu pangkalan bus di Pontianak. Jadi, pisau itu memang sama dengan yang digunakan tersangka untuk menikam korban,” terangnya.
Artinya, menurut Kasat Reskrim, pisau tersebut memang sudah disiapkan tersangka. Walhasil, pembunuhan ini jelas sudah direncanakannya.
“Makanya kita kenakan tersangka pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, subsider pasal 338 KUHP tentang pembunuhaan dan serta pasal 351 KHUP tentang penganiayaan. Dia terancam hukuman penjara paling lama 20 tahun,” tegas Andi.
Hanya saja, salah seorang kuasa hukum tersangka Diki, Yohanes Nenes mengatakan, timnya melihat sejumlah bagian reka ulang harus disamakan persepsinya. “Ada beberapa adegan yang masih harus diuji di Pengadilan nanti. Jadi kita tetap menjunjung tinggi proses hukum, praduga tak bersalah. Kita lihat proses ini akan berjalan sampai dimana,” ujarnya.
Menurut dia, keterangan bertolak belakang antara kliennya dan saksi korban dalam reka ulang merupakan hal biasa. Wajar.
“Nantinya di persidangan, kami akan menghadirkan saksi yang meringankan tersangka,” terang Nenes.
Berkaca dari kasus ini, Nenes meminta pemerintah lebih memperhatikan aturan untuk indekos-indekos di wilayah Pontianak. Sebab, kata dia, di indekos yang menjadi lokasi pembunuhan itu, para penghuninya bebas membawa siapapun ke dalam kamar.
“Jangan sampai kos itu tempat buat kumpul bebas, tempat kumpul orang yang tak jelas status hubungannya,” tukasnya.
Pemilik indekos pun, lanjut dia, harus bisa menata tempat usahanya. Jangan hanya memikirkan untung semata.
“Saya sangat menyesalkan kos tempat kejadian itu sangat bebas. Karena itu bisa menjadi pemicu. Itu salah satu contoh, tidak menutup kemungkinan bisa terjadi di tempat kos lain,” cetus Nenes. (*)