eQuator.co.id – Mata Catur Wahyu Setiawan mulai terlihat berkaca – kaca. Hidungnya juga mulai terlihat memerah memendam kesedihan. Kedua tangan pemuda berusia 21 tahun itu juga menggengam erat jeruji besi gerbang markas Komando Strategi Cadangan Angakatan Darat (Makostrad), di Gambir, Jakarta Pusat, siang kemarin (13/12).
Itu adalah bentuk ekspresi kekecewaan Catur setelah mendengar pengumuman dari pengeras suara bila total 10 ribu tiket pertandingan final Piala AFF antara Indonesia dan Thailand di Stadion Pakansari, Bogor, Jawa Barat, malam nanti, sudah habis terjual. “Saya hampir pingsan setelah mendengar pengumuman itu,” kata Wahyu.
Menurutnya, dengan modal Rp 500 ribu, dia bersama satu orang temannya, Fahmi Amiruddin bertolak dari Banjarnegara, Jawa Tengah, pada Senin (12/12) malam. Itu setelah usaha mereka untuk mendapatkan tiket lewat online berujung gagal. Mereka memutuskan untuk langsung ke Jakarta untuk bisa mendapatkan tiket secara ofline.
Tapi, apa daya, kegagalan sudah di depan mata, impian besar untuk menyaksikan pertandingan Boaz Solossa dan kawan-kawan pun menguap sudah. Meski begitu, Wahyu dan Fahmi mengatakan bahwa mereka tidak akan segera kembali ke Purbalingga. “Kami akan tetap ke Pakansari. Karena panitia berjanji akan memfasilitasi layar besar untuk nonton bareng di sana,” bilangnya.
Memang, antusias mayarakat Indonesia yang sangat besar untuk menyaksikan langsung pertandingan final tersebut membuat banyak drama semacam kisah Wahyu di atas terjadi. Achmad Fuad (55) adalah salah satu yang memiliki cerita yang tidak kalah ngenes, karena harus menjalani perjalanan darat selama 18 jam dari Palembang, Sumatera Selatan.
Agar bisa sampai di Jakarta, Fuad mengaku bahwa dia bersama rekan-rekannya harus melepaskan sejumlah barang berharga mereka. Ada yang menggadaikan cicin pernikahan, ada juga yang meminjam uang di tetangga.
“Sementara saya gadaikan sepeda motor dengan harga satu juta. Ini semua hanya untuk bisa mendukung timnas dari atas tribun,” harapnya.
Belum cukup di situ, dia bersama 12 rekannya harus rela enggan makan dan minum sejak semalam penuh agar antrian tiket mereka tidak bermasalah.\ “Karena kami takut, saat sudah berada dalam antrian dan perut terasa mules. Bisa-bisa jatah kami dalam antrian bisa bubar,” jelas ayah satu anak itu. “Tapi, alhamdulillah, saya bisa dapat tiga tiket,” ucapnya.
Fuad adalah salah satu yang beruntung dari puluhan pembeli tiket yang harus pingsan kehabisan oksigen akibat berdesak-desakan dalam antrian. Bahkan, ada ratusan pembeli yang harus terinjak-injak oleh kaki peserta lain yang sama-sama berusaha untuk masuk dalam lokasi terletaknya loket penjualan tiket.
Sebagai catatan, penjualan tiket ofline di markas militer yang mulai dibuka sejak Pukul 08.00 Wib itu, memang sudah dipadati oleh para pembeli sejak malam hari sebelumnya. Awalnya, proses penjualan tiket yang dikawal oleh puluhan prajurit TNI itu berjalan tertib dengan tersedianya enam loket di halaman Markas Komando Garnisum, yang kebetulan bersebalahan dengan Makostrad.
Dengan sistem buka tutup, setiap loket melayani sepuluh pembeli yang sebelumnya sudah diberikan nomor antrian. Sayang, kondisi yang tertib itu hanya bertahan selama 30 menit. Tapi, setelah itu, semua berubah menjadi tak terkendali setelah para pembeli di bagian belakang mencoba merangsek maju ke barisan depan.
Walhasil, mereka yang berada di barisan paling depan harus terjepit di antara tembok pembatas dan sepatu lars para petugas keamanan. “Sepertinya panitia belum siap untuk melaukan penjualan ofline. Tidak adaya pagar pembatas antara pembeli membuat semuanya menjadi kacau,” keluh Gatra Destranta, salah satu suporter yang selama satu jam harus berada dalam lautan manusia.
Meski begitu, ada juga sebagian pesar pembeli tiket yang mendapat berkah dengan adanya penjualan tiket di markas militer itu. Terutama para pembeli perempuan dan para lanjut usia. Para aparat memang tidak mengenal sistem urut kacang dengan tetap mendahulukan para wanita dan lansia itu meski datang belakangan.
Atika, seorang siswi berusia 17 asal Bogor adalah salah satu yang mendapat akses istimewa itu. Meski berada dalam antrian paling belakang, Atika yang menggunakan seragam sekolah itu langsung diberikan akses cepat menuju loket pembelian. “Saya memang sudah tahu kalau siswa berseragam memang akan diperlakukan khusus. Jadi, saya sengaja datang dengan seragam sekolah,” papar dia.
Sementara itu, Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi mengatakan bahwa, mereka yang tidak kebagian tiket tidak perlu berkecil hati. Karena, panitia sudah berencana untuk menyediakan empat layar besar di sekitar Stadion Pakansari, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, bersamaan dengan pertandingan.
“Bukan hanya layar besar, kami juga akan sediakan puluhan gerobak bakso untuk penonton di sana,” janji Edy. (/Jawa Pos/JPG)