eQuator.co.id – Pontianak-RK. Beredarnya informasi bahwa infak disebut sebagai praktik Pungli telah menuai kontroversi. Entah benar atau tidak Satgas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) merilis kabar itu, yang pasti sejumlah kalangan di Kota Pontianak menolak hal tersebut.
Ditemui di ruang kerjanya, Kepala MAN 1 Pontianak, Dr. H. Nana Kusnadi MPd bertanya dasar menggolongkan infak sebagai pungli. “Inikan belum ada surat resminya. Kalau benar, kita menunggu sosialisasinya. Nanti kita tanya alasannya apa,” ujar Nana, ditemui di sekolah yang dia pimpin, Jalan H. Haruna Pontianak, Sabtu (3/12).
Bagi Nana, infak itu merupakan sarana melatih siswa untuk beramal. Jika pada masa-masa menuntut ilmu saja dilarang, bagaimana nantinya ketika mereka terjun ke masyarakat.
“Yang mungkin nggak boleh itu, kalau infak dipatok (jumlahnya),” tuturnya.
Ia menjelaskan, di MAN 1 Pontianak, penarikan infak ditangani langsung oleh siswa. Bukan oleh pihak sekolah. Menurut dia, melarang infak sama artinya melupakan sejarah.
“Madrasah didirikan itu dari masyarakat, jadi madrasah itu milik masyarakat,” terang Nana.
Terlebih, pengelolaan madrasah berbeda dengan pengelolaan sekolah umum. “Di sekolah umum itu ada BOS dan BOSDA, kalau di madrasah hanya ada BOS,” bebernya. Belum lagi, pendanaan dari dinas pendidikan tidak bisa diperoleh madrasah yang berada di bawah naungan Kementerian Agama.
Sebenarnya, lanjut Nana, tidak masalah 58 poin itu digolongkan sebagai Pungli. Asalkan, pemerintah mampu memberikan fasilitas yang memadai untuk sekolah.
“Ketika kami perlu ini, kami perlu ini, semua ada,” jelasnya.
Tapi, nyatanya, sampai saat ini, pemerintah belum bisa memenuhi semua yang dibutuhkan sekolah untuk mendukung proses belajar mengajar. Nana mencontohkan kebutuhan membeli sajadah. Kata dia, tidak ada dalam anggaran.
Begitupun misalnya ada siswa, guru, atau orangtua siswa, yang meninggal dunia. Sebagai bela sungkawa biasanya dikumpulkanlah infak.
“Tentu, hal seperti inikan nggak mungkin diambil dari anggaran,” tegasnya.
Toh, dalam pelaksanaannya, infak tersebut tidak pernah ditentukan jumlahnya. “Dapatnya berapa, ya itu yang kita serahkan,” tambah Nana.
Menurut Nana, jika ingin menetapkan infak sebagai Pungli, pemerintah seharusnya berkoordinasi terlebih dahulu dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengkajinya.
“Kalau MUI juga akhirnya melarang, ya apa boleh buat. Tapi rasanya tidaklah, masa orang beramal dan beribadah dilarang,” tutupnya.
Senada, Kepala Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Pontianak, H. Hamdani Sulma. Menurut dia, hal tersebut belum disosialisasikan ke pihaknya. Namun, Hamdani menilai, 58 poin yang disebut dalam kategori Pungli di bidang pendidikan itu mesti dikaji lebih dalam.
Ia mencontohkan, baju seragam sekolah. Dalam hal ini, pihak sekolah ingin mempermudah dan menolong siswa.
“Harganya pun hampir di seluruh sekolah tidak ada lebih tinggi dari yang dijual di pasar-pasar,” ungkap Hamdani.
Selain itu, uang komite sekolah pun masuk dalam daftar Pungli. Padahal, uang komite dasarnya kesepakatan dan tidak dikelola sekolah. Yang mengaturnya adalah orangtua siswa. Sampai saat ini, Komite masih memungut dan dari ketua komite belum ada perintah penghentian, begitu juga dari Kementerian Agama.
“Kalau umpamanya komite tidak ada di sekolah, seperti di sekolah kami ini dimana guru honornya ada 9 orang, TU (tata usaha) ada 10, saya yakin dan percaya, kalau ini termasuk jenis Pungli, maka proses mengajar mengajar akan terganggu,” bebernya.
Dan, khusus infak yang disebut masuk kategori Pungli, ia menjelaskan bahwa infak itu bahasa dan perintah agama. “Itu saya masih perlu bertanya dengan yang menerbitkan 58 item itu, menurut mereka Pungli itu apa sebenarnya,” tutur Hamdani.
Dari dulu, lanjut dia, sejak MAN 2 bernama PGA (pendidikan guru agama), sudah berjalan yang namanya infak setiap Jumat. Siswa mengumpulkan dana yang digunakan untuk operasional kegiatan di masjid.
“Jadi, kalau infak dikatakan Pungli, tidak tahulah saya memikirkannya. Seperti halnya kalau ada orangtua murid meninggal dunia dimana para pelajar mengumpulkan sumbangan atau infaq,” ujarnya.
Hamdani memaparkan, satu sisi tentunya pihak sekolah ingin mengajarkan kepada siswa mengenai pendidikan karakter. Maksudnya, mengajarkan anak-anak untuk peka dengan kondisi lingkungannya dan dermawan. Sedangkan di sisi lain malah dilarang.
“Kita berharap hal ini mudah-mudahan bisa diseleksi lagi, yang mana Pungli, seperti apa Pungli itu. Kalau saya berpendapat, Pungli itu memungut untuk kepentingan pribadi atau di atas ketentuan,” ucapnya.
Karena itu, jika benar Satgas Saber Pungli menyatakan 58 poin tersebut masuk kategori Pungli, penetapannya terlalu tergesa-gesa. “Kalau saya nilai ini belum final. Yang 58 poin itu adalah hal-hal yang ditemukan di sekolah, seperti membeli buku, infaq, beli baju. Belum tentu termasuk Pungli,” demikian analisa Hamdani.
Sementara itu, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Kalbar dengan tegas menolak keras apabila infak dikategorikan sebagai Pungli. Wakil Ketua Baznas Kalbar, H. Muhammad Basri Har mengatakan infak, sedekah, bagian dari syariat Islam.
“Berinfak yang baik dari yang kamu peroleh. Jadi, kalau sudah perintah ya hukumnya wajib,” ujar Basri ditemui di Kantor Baznas Kalbar, Senin (5/12).
Ia tidak setuju jika infak dan sedekah dikatakan sebagai Pungli. Penolakannya ini bukan karena pihaknya yang mengelola infak dan sedekah.
“Infak dan sedekah itu disalurkan kepada yang berhak. Jadi Baznas ini merupakan lembaga yang mengumpulkan zakat, infak, dan sedekah, untuk dikembalikan lagi kepada yang berhak,” tegasnya.
Menurut Basri, infak dengan Pungli tidak boleh disamakan. “Pungli itu suatu kegiatan yang sudah ada anggarannya lalu dipungut biaya lagi,” terangnya.
Sedangkan infak itu kewajiban muslim yang punya harta untuk membantu para dhuafa. “Karena mampu, muslim tersebut mau berinfak, berzakat. Ini sangat tidak pas dikatakan Pungli. Kalau infak dikatakan Pungli, tentunya umat Islam yang suka berinfak menjadi turun semangatnya untuk beramal,” tutup Basri.
Pun demikian dikatakan Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kalbar, H. Syahrul Yadi. Secara institusi ia belum bisa berpendapat, tapi menurutnya, sudah jelas di dalam Alquran memerintahkan sedekah, infak, hadiah, dan wakaf, untuk menjadikan umatnya pemurah.
“Infak itu perintah Tuhan. Menghilangkan infak berarti menghilangkan perintah Allah,” tegas Syahrul, dihubungi via seluler, Minggu (4/12).
Meski begitu, ia mengingatkan bahwa niat berinfak haruslah karena Allah. “Semua baik, sepanjang niat itu benar dan menggunakannya benar. Sebagai umat kita diperintahkan menjadi pemurah,” tegasnya. Jika memang infak masuk kategori Pungli, Syahrul berharap kebijakan itu dibicarakan bersama.
Sayangnya, Ketua Tim Saber Pungli Kalbar, Kombes Pol Suyata belum bisa dikonfirmasi. Meskipun belum tampak apa saja yang telah dikerjakan timnya, siapa saja yang ditangkap karena telah melakukan Pungli, pria yang juga menjabat sebagai Irwasda Polda Kalbar tersebut sepertinya super sibuk.
Empat kali awak koran ini mendatangi kantornya di Polda Kalbar. Dalam dua kali usaha konfirmasi pada Selasa (6/12) pagi dan siang, ia dikabarkan sedang rapat.
Begitupun saat didatangi kembali pada Rabu (7/12) siang. Asistennya mengatakan Suyata sedang rapat tanpa memberi kepastian kapan bisa diwawancarai. Pada sore harinya, kantor tersebut kembali didatangi, asistennya kembali menyatakan bahwa Suyata sedang sibuk mempersiapkan Rakor dan meminta Rakyat Kalbar untuk datang kembali hari ini (Kamis, 8/12).
Laporan: Isfiansyah dan Iman Santosa
Editor: Mohamad iQbaL