Pemenuhan Hak Anak Masih Memprihatinkan

ilustrasi : internet

eQuator.co.id – Jakarta–RK. Pemenuhan hak-hak anak masih menjadi masalah besar di Indonesia. Masih banyak anak yang harus bekerja untuk menyambung hidup. Lingkungan pun semakin ekstrem, menuntut perlindungan moral yang semakin besar bagi buah hati.

Masalah tersebut menjadi bahasan utama dalam diskusi yang diselenggarakan UNICEF di Jakarta, Senin (28/11). Diskusi itu diselenggarakan untuk memperingati Hari Anak pada 20 November lalu serta HUT Ke-70 Badan PBB untuk Anak-Anak tersebut pada 12 Desember mendatang.

Dalam pembukaan diskusi, Perwakilan UNICEF untuk Indonesia Gunilla Olsson menayangkan video. Video tersebut menggambarkan kehidupan dua anak Indonesia. Yakni, Nindy, seorang anak SD yang tinggal di Jakarta, dan Christina yang tinggal di wilayah Papua.

Video tersebut menunjukkan kegiatan sehari-hari mereka. Mulai berangkat ke sekolah hingga pulang ke rumah. ’’Saya tidak tahu apa perasaan Anda. Tapi, yang saya rasakan setelah menyaksikan ini adalah rasa ketidakadilan,’’ kata Olsson dalam Activate Talks: For Every Child yang diselenggarakan di Erasmus Huis, Jakarta, kemarin.

Olsson mengategorikan Nindy sebagai contoh anak-anak kota. Nindy bisa menikmati sarapan enak. Berangkat ke sekolah diantar orang tua. Sebaliknya, Christina hanya bisa minum air dan berjalan sendiri ke sekolah. Pulang sekolah pun, Christina harus mulai membantu orang tua, sedangkan Nindy bisa bermain bersama teman-temannya.

’’Perbedaan itu belum seberapa,” ucap Olsson. ’’Bayangkan bagaimana jauhnya perbedaan dengan anak-anak yang tidak bisa bersekolah, anak dengan disabilitas, anak yang harus membantu orang tuanya mencari uang, sampai anak yang harus merawat orang tua sakit,’’ ungkapnya.

Dengan kondisi seperti itu, masa depan anak-anak di Indonesia maupun belahan dunia lainnya bisa terancam. Semakin banyak keterbatasan yang mereka hadapi, semakin besar potensi dan impian mereka tak terpenuhi. Karena itu, masyarakat dan pemerintah harus menempatkan anak-anak di tengah rencana kebijakan jangka panjang mereka.

’’Pada agenda 2030 dan Sustainable Development Goals (SDGs), pemimpin dunia ingin mengakhiri isu kelaparan, penyakit, kematian dini, eksploitasi, dan degradasi lingkungan. Hal tersebut bisa dicapai hanya jika anak-anak ditempatkan di pusat dalam upaya tersebut,’’ jelasnya.

Pendapat Olsson itu disetujui Azrul Ananda yang menjadi salah seorang pembicara dalam diskusi tersebut. Pemrakarsa berbagai acara anak muda terbesar di Indonesia itu menilai bahwa setiap anak memang perlu mendapat kesempatan yang sama. Karena itu, dalam event yang dia selenggarakan, dirinya berusaha keras untuk memberikan standar yang sama.

’’Dari pengalaman saya bikin event, yang penting harus konsisten. Kalau membuat acara di Surabaya dan Jakarta dengan standar sedemikian rupa, artinya di Papua pun harus sama,’’ ujar komisioner kompetisi basket pelajar terbesar di tanah air DBL Indonesia itu.

Pria yang juga menjabat direktur utama PT Jawa Pos Koran tersebut menuturkan, permasalahan bagi kebanyakan anak muda di Indonesia adalah kurangnya kesempatan. Baik kesempatan meraih pendidikan maupun menggali potensi mereka. Pemuda kaya maupun miskin yang tidak punya kesibukan positif bisa saja terancam oleh gaya hidup negatif.

’’Anak yang punya banyak waktu luang bisa saja terjebak dalam kegiatan negatif. Jadi, yang saya lakukan adalah membuat kegiatan anak muda sebanyak-banyaknya,’’ ungkapnya.

Azrul pun mengajak semua masyarakat membuat kegiatan-kegiatan yang mengisi waktu anak muda secara positif. Sebab, kemampuannya pun terbatas. Menurut dia, jika saja satu orang punya inisiatif mengadakan kegiatan yang menyibukkan 100 orang, itu menjadi kontribusi yang baik.

’’Misalnya, dari 100 orang yang ikut itu hanya dua yang berhasil tertular, itu sudah bagus. Sebab, dua orang tersebut nanti mengajak ratusan orang lagi,’’ ungkapnya.

Sementara itu, Yenny Wahid membenarkan bahwa kegiatan positif merupakan salah satu penangkal kenakalan remaja. Di sisi lain, peran keluarga bakal menjadi perisai paling utama untuk menangkal adanya pengaruh buruk dari lingkungan. Hal tersebut hanya bisa dilakukan jika orang tua memberikan contoh agar mereka punya nilai benar yang bisa dipegang.

’’Anak-anak itu peniru yang luar biasa hebat. Jangan tanya kenapa mereka punya perilaku seks atau kekerasan yang buruk jika orang tuanya atau orang dewasa di lingkungannya juga masih sibuk tawuran,’’ jelasnya.

Acara juga dihadiri CEO sekaligus pendiri Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB) Sherley Mega Sandiori. Sherley baru saja menjadi pemenang Asia Innovation Challenge Third Regional High Level Conference dengan program bantuan akses untuk Kepulauan Seribu. Ada pula penampilan Sanggar Anak Akar yang membawakan lagu-lagu ciptaan mereka seperti Nyanyian Para Saksi dan Ciptaan. (Jawa Pos/JPG)