eQuator.co.id – Pontianak-RK. Penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) 2017 di Kalbar sudah final. Ketapang tertinggi nilai UMK-nya sebesar Rp2.172.500, naik Rp165.577 dibandingkan tahun 2016.
“Ada beberapa kabupaten seperti di Ketapang dan Kapuas Hulu yang menetapkan upah sektoral tinggi dibandingkan daerah lainnya,” ungkap Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kalbar, Muhammad Ridwan, ditemui di Kantor DPRD Kalbar, Senin (28/11).
Ia menjelaskan, penetapan upah itu berpedoman pada regulasi PP 78 tahun 2015 tentang pengupahan. Formulanya, upah minimum provinsi (UMP) tahun berjalan ditambah inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
“Jadi bukan masalah rendah atau tingginya upah minimum itu. Tapi itu adalah rujukan yang digunakan dalam pengupahan, dan semuanya merujuk pada hal itu,” terangnya.
Lanjut dia, dilarang mengurangi atau menurunkan upah sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor peraturan 01/MEN/1999 tanggal 12 Januari 1999 tentang Upah Minimum sebagaimana telah diubah dengan keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-226/MEN/2000 tentang Upah Minimum. “Keputusan ini mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2017. UMP tahun 2017 ditetapkan dan diumumkan secara serentak pada 1 November 2016 lalu,” papar Ridwan.
Menyusul Ketapang, di posisi kedua Kayong Utara yang UMK-nya naik Rp162.325 dibanding tahun lalu. UMK di sana Rp2.130.000. Diikuti posisi ke tiga Kabupaten Kapuas Hulu sebesar Rp2.028.000, meningkat Rp244.000 dibandingkan tahun 2016.
Di luar tiga besar tersebut, berturut-turut Sambas Rp2.022.800, Sintang Rp2.025.000, Bengkayang Rp2.013.450, Landak Rp2.000.920, Kota Singkawang Rp1.991.529, Sanggau Rp1.973.425, Kota Pontianak Rp1.972.000, Melawi Rp1.948.500, Sekadau Rp1.931.000, Kubu Raya Rp1.907.040, dan Mempawah Rp1.901.005.
Menurut Ridwan, terdapat 14 Provinsi yang mematuhi acuan Penetapan UMP berdasarkan PP Nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan. “Provinsi Kalbar, termasuk 14 kabupaten kota di Kalbar, yang mematuhi aturan penetapan UMP, dan tahun 2017 juga tetap merujuk pada formula PP 78 tahun 2015,” tegasnya.
Memang, formula penetapan UMP 2017 sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan belum diterapkan semua daerah. Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), 4 provinsi menetapkan UMP diluar ketentuan itu. Yakni, Aceh, Kalimantan Selatan, NTT, dan Papua.
Untuk NTT, UMP 2017 sebesar Rp 1.525.000 atau hanya naik 7,02 persen dari sebelumnya Rp 1.425.000 (UMP 2016). Sementara UMP Aceh, Kalsel dan Papua masing-masing naik 18,01 persen, 8,29 persen dan 9,39 persen. Besaran kenaikan UMP keempat provinsi itu tidak sesuai dengan formula kenaikan UMP sesuai PP 78/2015, yaitu 8,25 persen.
Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker Haiyani Rumondang menyatakan, laporan kenaikan UMP di empat provinsi tersebut tidak dibarengi dengan penjelasan dari pemda bersangkutan. Sehingga, belum diketahui apa landasan hukum atau acuan lain yang digunakan gubernur setempat saat menetapkan kenaikan UMP.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Hanif Dhakiri melalui surat edaran (SE) akhir Oktober lalu meminta seluruh gubernur menetapkan UMP sesuai formula PP. Formula tersebut mengisyaratkan kenaikan UMP sebesar 8,25 persen berdasar pada hasil kalkulasi angka inflasi 3,07 persen dan pertumbuhan ekonomi nasional 5,18 persen yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS).
”Untuk UMP di 30 provinsi lainnya menetapkan UMP sesuai dengan formula PP 78/2015,” ujar Haiyani di kantor Kemenaker Jakarta, seperti dilansir Jawa Pos, Senin (28/11).
Kemenaker sempat mengancam memberikan sanksi bagi provinsi yang tidak menetapkan UMP sesuai PP/78 2015. Sanksi itu merujuk pada UU Pemda yang menyebut bahwa daerah harus mendukung program strategis nasional. Dengan demikian, meskipun kenaikan UMP ada yang lebih tinggi dari formula PP 78/2015, empat provinsi itu tetap dianggap tidak patuh dengan ketentuan pemerintah pusat.
Terkait UMP empat provinsi yang tidak sesuai PP, Haiyani akan segera berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Sementara soal kenaikan UMP Aceh, Papua dan Kalsel yang diatas 8,25 persen, Haiyani mengaku tidak mendapat penjelasan detail dari pemerintah daerah bersangkutan.
”Kalau tidak ada acuan (menetapkan UMP, Red) akhirnya menjadi tidak jelas,” terangnya.
Haiyani mengatakan, sebenarnya ada 4 provinsi lain yang menetapkan kenaikan UMP 2017 diatas 8,25 persen. Yakni, Gorontalo (8,27 persen), Maluku (8,45 persen), NTB (10 persen) Maluku Utara (17,48 persen). Namun, berbeda dengan Aceh, Papua dan Kalsel, keempat provinsi itu tengah melakukan pentahapan pencapaian kebutuhan hidup layak (KHL).
Formulasinya, 8,25 persen ditambah KHL di masing-masing daerah. ”Mereka menjelaskan itu (pentahapan KHL) dalam laporannya,” ungkapnya.
Di sisi lain, secara besaran angka absolut UMP 2017 DKI Jakarta menjadi yang tertinggi dibanding provinsi lain. Sementara untuk presentase, Aceh paling tinggi menaikan UMP, yakni 18,01 persen atau menjadi Rp 2.500.000 dari sebelumnya Rp 2.118.500.
Irjen Kemendagri Sri Wahyuningsih mengatakan, pihaknya masih menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang sanksi menyangkut kelalaian yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Termasuk di dalamnya kelalaian dalam menjalankan program strategis nasional.
“Sudah selesai harmonisasi di Kemenkumham, cuma ada beberapa hal yang di Sekretariat negara,” ujarnya.
Terkait apa sanksi bagi kepala daerah yang melanggar program nasional, Sri mengatakan hal itu akan bergantung pada hasil penyelidikan. Sebab, sebelum dijatuhkan sanksi, ada mekanisme klarifikasi yang menjadi hak kepala daerah memberi penjelasan. Sebagaimana akan diatur dalam Rancangan PP, sanksi yang diberikan berjenjang. Mulai dari teguran, bimbingan khusus, hingga pemberhentian.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengapresiasi gubernur yang tidak menggunakan PP 78/2015 sebagai acuan menetapkan UMP 2017. Menurutnya, itu sejalan dengan keinginan buruh yang menolak penetapan UMP dengan menggunakan PP tersebut.
”Kami akan mogok nasional pada 2 Desember untuk menuntut pencabutan PP itu,” ujarnya. Buruh menolak penerapan PP karena dianggap tidak sesuai dengan kondisi real di lapangan.
Laporan: Isfiansyah
Editor: Mohamad iQbaL