Berkomuter pada Jam Sibuk Kota-Kota di Jepang

Lampu Merah, Kereta di Matsuyama Harus Stop

KERETA SANTUN. Naik kereta di Matsuyama penumpang tak perlu berdesakan. Selalu ada kursi, bahkan sering sepi penumpang. Maharani Wanodya-Jawa Pos

eQuator.co.id – Rush hour (jam sibuk) di Matsuyama sangat jauh berbeda dengan kota-kota besar lain di Jepang. Lebih adem ayem.

Maharani Manodya, Jepang

Setiap pagi tak tampak antrean superpanjang di stasiun, bahkan stasiun besar seperti Dogo dan JR Matsuyama sekalipun. Malah kadang di luar rush hour tak ada satu pun penumpang yang menunggu kereta di stasiun yang lebih kecil.

Maklum, meski merupakan kota terbesar di Pulau Shikoku, luas Matsuyama ’’hanya’’ 428,86 km2. Jadi, di Matsuyama mau ke mana-mana terasa dekat. Apalagi, beberapa stasiun kecil berada sangat dekat dengan area permukiman.

Penduduk setempat juga lebih suka jalan kaki atau naik sepeda pancal. Saya membuktikan sendiri. Jalan kaki melewati tiga stasiun saja hanya memakan waktu tak sampai 15 menit!

Iyotetsu mengoperasikan lima jalur trem setiap hari. Satu trem hanya memiliki satu gerbong sehingga kapasitas angkutnya sangat terbatas. Hal tersebut tak menjadi masalah karena trem datang dengan jadwal yang pasti. Ada yang selang lima menit, ada juga yang masa tunggunya 20 menit.

Jalur dan jam menentukan jeda waktu keberangkatan trem. Pada jam-jam produktif, yaitu di atas pukul 09.00, trem berangkat setiap lima menit. Saat malam, mulai pukul 20.00, jedanya semakin lama. Bahkan, di atas pukul 22.00 hanya ada dua hingga tiga kali keberangkatan.

Selama tiga hari di Matsuyama untuk menonton konser band rock Oldcodex, saya sudah menjajal semua rute. Menumpang trem paling pagi hingga paling akhir jadi kegiatan sehari-hari saya.

Ada dua tipe trem yang dioperasikan Iyotetsu. Tipe pertama adalah trem listrik yang sudah modern. Eksteriornya saja sudah menunjukkan tahun pembuatannya. Yang kedua trem bergaya vintage, lengkap dengan lantai kayu. Semua saya coba.

Naik trem di Matsuyama, rasanya jelas beda dengan di Tokyo, Osaka, atau Nagoya. Bukan karena saya selalu dapat seat, lho. Tapi, karena unsur tradisional dan kearifan lokalnya.

Walaupun lari di jalur khusus, trem tetap patuh pada lampu lalu lintas. Kalau lampu menyala merah, trem akan berhenti. Berdampingan dengan mobil dan sepeda motor lainnya. Di Indonesia pengguna jalan harus mengutamakan laju kereta. Trem di Matsuyama sebaliknya, menghormati pejalan kaki. Jika ada yang menyeberang, trem akan sabar menunggu.

Masinis pun tak kenal lelah mengabarkan kepada penumpang ke mana kereta akan berbelok, baik ke kanan maupun kiri. Saat lampu lalu lintas menyala merah pun, sang masinis akan mengumumkannya dan meminta penumpang bersabar sebentar. Ketika lampu hijau, dia akan mengatakan bahwa kereta bisa kembali meluncur. Saya jadi berpikir, apa dia tidak cepat haus karena tak henti-henti berbicara.

Setiap kali trem meninggalkan stasiun, suara merdu announcer perempuan akan terdengar. Dia mengumumkan ke mana tujuan selanjutnya. Penumpang yang hendak turun di stasiun selanjutnya diimbau untuk menekan bel yang terdapat di setiap kusen jendela dan dekat pintu naik-turun. Yah, semacam kalau kita naik angkot di Indonesia. Minus berhenti di sembarang tempat.

Begitu tiba di stasiun, sang masinis akan berdiri di dekat pintu keluar, mempersilakan penumpang yang akan turun untuk memasukkan koin senilai 160 yen. Tak lupa dia berterima kasih kepada penumpang yang sudah menggunakan jasa Iyotetsu. Benar-benar santun.

’’Kalau sudah jauh-jauh ke Matsuyama, kamu harus coba naik Botchan Ressha juga,’’ saran Tsushio Kaho, kawan saya sesama penggemar Oldcodex.

Kaho yang merupakan penduduk asli Matsuyama bilang, Botchan Ressha adalah salah satu trademark kota berpenduduk 516 ribu jiwa itu. ’’Wisatawan yang datang ke sini selalu ingin naik kereta legendaris itu,’’ cetusnya.

Shibata Hitoshi dari Matsuyama City Industrial Economy menuturkan, nama Botchan Ressha terinspirasi dari novel karya sastrawan ternama Jepang, Natsume Souseki, yang diterbitkan pada 1905. ’’Nama Botchan Ressha diambil dari nama karakter utama dalam novel Botchan, yaitu Botchan,’’ jelasnya.

Sebelum menyandang nama Botchan Ressha, kereta tersebut adalah moda transportasi milik Iyotetsu yang kali pertama meluncur pada 1888. Iyotetsu mengandangkan kereta bertenaga uap itu pada 1931 setelah kelahiran kereta listrik.

Pada Oktober 2001 Botchan Ressha kembali dioperasikan. Namun, bukan kereta asli yang kini terparkir permanen di Baishinji Park. Yang digunakan sekarang adalah replikanya. Tenaga penggeraknya bukan lagi uap, melainkan diesel.

Cerita mereka sukses bikin saya penasaran. Akhirnya, setelah menjajal rute trem reguler Iyotetsu, saya kembali ke Stasiun Dogo. Pukul 09.45 saya tiba di stasiun yang menjadi tempat pemberangkatan awal Botchan Ressha itu.

Tiket saya beli di toko omiyage (suvenir) di stasiun. Sekali naik Botchan Ressha, tarifnya 800 yen (sekitar Rp 96 ribu) atau empat kali lipat trem biasa yang hanya dikenakan 160 yen. Walaupun harus berkorban yen lebih banyak, toh tampaknya tak ada yang keberatan. Kapan lagi bisa naik kereta ala zaman Meiji ditemani abang kondektur ganteng selama perjalanan?

Layaknya kereta kuno, interior Botchan Ressha didominasi kayu. Bahkan, tempat duduknya pun terbuat dari kayu. Demi kenyamanan penumpang, Botchan Ressha hanya mengangkut sesuai kapasitas tempat duduk.

Jendelanya lebar, tapi posisinya agak tinggi. Jadi, untuk menikmati view Kota Matsuyama yang cantik, penumpang harus menegakkan posisi duduk dan menjulurkan leher. Penumpang Botchan Ressha pun bisa merasakan sensasi jadi selebriti yang ditunggu-tunggu publik. Sebab, sepanjang perjalanan, banyak yang (biasanya anak-anak dan wisatawan) melambaikan tangan. Bukan menyapa penumpangnya sih, tapi keretanya. Hehehe….

Sebenarnya rute yang ditempuh Botchan Ressha sama dengan trem jalur 5, yaitu berangkat dari Stasiun Dogo. Hanya, perhentian akhir Botchan Ressha adalah Komachi, dua stasiun lebih jauh dari trem jalur 5 yang berujung di Stasiun JR Matsuyama.

Sebagai kereta wisata, Botchan Ressha tidak berhenti di semua stasiun. Jam operasionalnya pun terbatas, mulai pukul 09.30 hingga 16.00. Sekali jalan, kereta berwarna hijau-merah itu dikawal tiga awak. Satu sebagai masinis, dua lainnya menjadi kondektur.

Tugas kondektur di Botchan Ressha tak sekadar mengecek tiket saat penumpang naik. Mereka juga merangkap sebagai guide. Saat kereta melintas di lokasi-lokasi tertentu, sang kondektur akan menceritakan keistimewaan spot itu.

Ketika kereta berhenti di Stasiun Okaido yang terletak tepat di depan distrik perbelanjaan Okaido, misalnya. Distrik itu menjadi salah satu destinasi favorit wisatawan yang ingin berburu makanan dan shopping.

Pintu masuk menuju Matsuyama Castle pun hanya 50 meter dari Okaido. Istana yang dibangun Katou Yoshiaki pada 1603 itu berdiri gagah di puncak Katsu-yama (Gunung Katsu) yang berada di pusat Kota Matsuyama.

Saking asyiknya melihat ke kiri dan ke kanan, tak terasa perjalanan saya bersama Botchan Ressha berakhir. Perjalanan mulai stasiun pertama hingga terakhir hanya membutuhkan waktu setengah jam.

Di Stasiun Komachi, penumpang yang bertahan hingga akhir, termasuk saya, mendapat suguhan pemandangan unik. Yaitu, proses putar balik Botchan Ressha untuk ganti rute pulang ke Stasiun Dogo. Berhubung Botchan Ressha adalah kereta jadul, mekanisme putar baliknya tak sesimpel kereta modern pada umumnya. Tak cukup masinis pindah posisi dari ujung ke ujung.

Tahap pertama, lokomotif dipisahkan dari gerbong. Lalu, teknisi yang stand by di Komachi akan mengendurkan baut yang terpasang di bagian tengah bawah sehingga lokomotif  bisa naik beberapa senti di atas rel. Bagian itu berfungsi sebagai penopang saat lokomotif didorong memutar oleh masinis, kondektur, dan sang teknisi.

Kondektur yang satu lagi tak berpangku tangan. Dia bertugas mendorong gerbong dari oriba (tempat turun) penumpang ke noriba (tempat naik) di Stasiun Komachi yang letaknya terpisah sekitar 25 meter.

Lokomotif yang sudah diputar melaju di rel sebelah untuk kemudian dipasangkan kembali ke gerbong. Siap dipacu menuju Stasiun Dogo.

Sadar bahwa aktivitas dorong-mendorong yang mereka lakukan jadi objek bidikan lensa wisatawan, sang masinis dan para kondektur tidak merasa jengah. Sebaliknya, mereka malah melambaikan tangan diiringi senyum ramah.

Bagi pemburu inspirasi seperti saya, datang ke Matsuyama adalah keputusan bijak. Banyak ide baru yang mengalir hanya dengan tinggal tiga hari di sana. Siap diaplikasikan saat pulang ke Indonesia.

Pulang dari Matsuyama, saya jadi berandai-andai. Jika suatu saat nanti trem dihidupkan kembali di Surabaya, saya mau banget naik. Apalagi jika ada trem khusus yang menyusuri lokasi-lokasi historis dan objek wisata populer di Surabaya, dipandu kondektur yang ganteng. (*/Jawa Pos/JPG)