Pengajak Rush Money Ditangkap

Bina Pengguna Medsos

RUSH MONEY. Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Boy Rafli Amar, dalam konferensi pers penangkapan penyebar isu rush money di kantornya, Sabtu (26/11). Miftahulhayat-Jawa Pos

eQuator.co.id – Jakarta—RK. Polri menangkap seorang pelaku penghasutan rush money bernama Abu Uwais alias AR beberapa waktu lalu. Abu Uwais melalui media sosialnya diketahui mengajak melakukan rush money atau pengambilan uang bersama-sama dengan mempertontonkan sejumlah foto pengambilan uang dan beberapa status.

Kadivhumas Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar menjelaskan, dalam ajakan itu ada foto dimana AR memperlihatkan uang yang ditata sedemikian rupa hingga membentuk angka 212 yang diartikan aksi demo 2 November.

”Ada beberapa status ajakan untuk mengambil uang bersama-sama itu,” paparnya.

Dalam salah satu status itu, dia juga sempat mengajak untuk mengambil uang dari bank komunis. Boy menuturkan bahwa semua status itu diduga merupakan pelanggaran pidana undang-undang Informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) pasal 28 ayat 2.

”Dia diduga menyebarkan kebencian dan rasa permusuhan,” terang di.

Status AR, lanjutnya, dipastikan telah menjadi tersangka dalam kasus tersebut. Namun, kepolisian tidak menahan tersangka karena pertimbangan kemanusiaan.

”AR ini memiliki anak yang masih kecil,” paparnya.

Lagi pula, AR juga merupakan seorang guru di sebuah sekolah SMK kawasan Pluit. Boy mengatakan, selama proses hukum berlangsung, AR dikenai wajib lapor.

”Kasusnya tetap diproses,” jelasnya.

Boy menjelaskan, dengan kasus tersebut, dapat dipastikan pembinaan terhadap masyarakat pengguna medsos begitu penting. Agar kesadaran hukumnya dalam menggunakan medsos juga tumbuh. ”Tidak hanya menegakkan aturan hukum, tapi harus juga mendidik,” paparnya.

Sementara Karopenmas Divhumas Polri Kombes Pol Rikwanto menjelaskan bahwa sebenarnya makin tidak kondusifnya medsos itu cukup menyulitkan. Pasalnya, banyak sekali terjadi dugaan pelanggaran pidana.

”Tapi, penanganannya cukup sulit, banyak akun yang dicek identitasnya ternyata palsu,” ujarnya.

Menurutnya, sudah saatnya tidak hanya kepolisian yang bergerak untuk menangani makin liarnya medsos. Tapi, semua lembaga pemerintahan juga perlu berperan aktif. ”Kan ini tidak hanya soal penegakan hukum,” ungkapnya.

Sementara itu, pakar hukum siber Megi Margiyono dari Indonesia Online Advocacy (IDOLA) mengatakan bahwa kasus penyebaran berita bohong (hoax) rush money melalui media sosial dengan tersangka Abu Uwais harus ditelaah dengan cermat. Penyidik, lanjutnya, harus dapat membuktikan tersangka memang benar menyebarkan berita bohong atau sekedar mengajak orang lain untuk menarik uangnya dari bank.

“Kalau menyebarkan hoax ya kan dia membuat berita bohong atau menyebarkan berita yang dibuat-buat sendiri. Tapi kalau lihat dari statusnya tersangka dia sepertinya juga mengajak orang saja untuk menarik uangnya dari bank. Tapi harus dibuktikan,” kata Megi kepada Jawa Pos melalui sambungan telepon, kemarin.

Megi menjelaskan bahwa pelaku penyebaran hoax rush money yang sempat menggemparkan masyarakat tersebut tidak hanya dapat dijerat dengan UU ITE, namun juga dengan UU tentang Perbankan. “Karena ini juga terkait dengan perbankan nasional,” ujarnya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa selain kasus hoax rush money di media sosial, kasus pelanggaran melalui media sosial atau cyber crime baik skala kecil maupun besar di tanah air sudah tidak dapat lagi terhitung jumlahnya. Aparat penegak hukum, menurutnya masih terkesan membiarkan banyak kasus-kasus cyber crime terjadi.

Namun, Megi mengatakan bawha hal tersebut dikarenakan kasus cyber crime memang sangat sulit untuk diberantas. Ditambah dengan pelaku jenis pelanggaran tersebut yang dapat berasal dari berbagai kalangan dan profesi. “Semua orang bisa melakukan ini. Saya kira polisi masih kewalahan menghadapinya,” ujarnya.

Menyambung, Media specialist dari Kemenkopolhukam Galuh Pangestu mengatakan bahwa Indonesia harus segera menyiapkan sistem peringatan dini yang diharapkan dapat menangkal isu-isu negatif yang datang dari media sosial. Sistem peringatan dini menggunakan media komunikasi unutuk penanganan konflik di Indonesia sebenarnya sudah ada, yakni di dalam UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan.

“Namun pada penerapannya sistem peringatan dini nasional masih dalam tahap rencana dan belum berjalan secara terintegrasi,” kata Galuh.

Galuh menuturkan bawha model sitem peringatan dini di Indonesia sebaiknya merupakan sebuah sistem peringatan dini yang bersinergi dengan sistem peringatan dini komunitas seperti dengan LSM dan jaringan kehumasan pemerintah yang ada di daerah-daerah. Selain itu, pemberian sanksi yang diimbangi dengan pemberian apresissi dari pemerintah kepada masyarakat terkait pengunaan media sosial perlu dipertibangkan.

“Jika pemerintah telah memberikan punishment atau hukuman pada spoilers atau pelaku hate speech, pemerintah juga perlu mempertimbangkan untuk memberikan reward pada masyarakat atau institusi yang aktif mengajak dan menjaga perdamaian melalui media sosial,” sarannya. (Jawa Pos/JPG)