Mesti Dipersiapkan dari Sekarang, Bonus Demografi Jangan Jadi Bencana

ilustrasi : internet

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Empat tahun dari sekarang, ledakan populasi penduduk produktif usia 15-65 tahun bakal terjadi di Indonesia. Jika Indonesia tidak mempersiapkannya dari sekarang, maka puncak bonus demografi yang terjadi pada 2020-2035 akan menjadi masalah serius bagi keberlangsungan bangsa.

“Kalau tidak siap pemudanya, maka bukan akan jadi keuntungan tapi menjadi bencana buat kita. Karena banyak orang yang akan bergantung dari subsidi pemerintah,” kata Kepala Bidang Kepemudaan pada Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Provinsi Kalbar Charles, baru-baru ini.

Untuk itulah, kata Charles, sejak beberapa tahun terakhir ini pemerintah pusat melalui Kemenpora RI meluncurkan program Forum Kewirausahaan Pemuda (FKP). Di mana tujuannya untuk membentuk karakter kemandirian pemuda.

“Organisasi ini hanya sarana latihan mereka, yang tujuannya mereka akan jadi apa ke depan untuk menghidupi dirinya,” ujarnya.

Pemuda diharapkan menjadi wirausaha, sehingga tidak tergantung dengan orang. Bahkan syarat bagi sebuah negara maju, salah satunya harus memiliki wirausahawan minimal dua persen dari total penduduk. Sementara Indonesia masih diposisi 1,65 persen. FKP bisa jadi salah satu solusinya.

“Cuman kalau bicara wirausaha muda ini identik yang modalnya tidak ada. Mau minjam ke bank, apa jaminannya,” sebut Charles.

Supaya pemerintah tahu berapa jumlah wirausaha muda, makanya pemerintah menginisiasi FKP. J

“Jadi tahu kemana kami bantu, jangan-jangan yang dibantu tidak ada niat berusaha, itu kan sama saja buang garam di laut,” pungkasnya.

Setelah FKP terbentuk, pemerintah selanjutnya akan mendorong terbentuknya Lembaga Permodalan Kewirausahaan Pemuda (LPKP). Di mana sumber modal yang diperoleh dan dikelola di LPKP berasal dari CSR-CSR perusahaan, BUMN, maupun bank-bank. Hanya saja diakui Charles, pembentukan LPKP ini tidak mudah. Pasalnya, pemerintah sendiri harus berusaha memberi keyakinan kepada para perusahaan swasta dan BUMN agar mau menyalurkan CSR ke LPKP.

“Karena kadang-kadang kita mau nyalurkan CSR-nya, mereka bilang ‘kenapa sih diatur-atur?’,” ungkapnya.

Dispora, lanjut dia, mesti jelaskan bahwa konsentrasi ke depan adalah pemuda. Bonus demografi ini kalau tidak mempersiapkan sejak sekarang akan menjadi masalah serius di masa datang. Akhirnya, dunia usaha juga akan kena imbasnya. Terjadi banyak pengangguran dan ekonomi jadi tidak bagus. “Nah, mau menyamakan persepsi ini, kita harus jelaskan dulu, bentuk CSR-nya, penyalurannya, siapa yang menyalurkan,” paparnya.

Charles menjelaskan, permodalan yang dikelola LPKP tidak hanya terbatas hanya untuk FKP. Tapi dengan adanya FKP, pihak swasta dan BUMM punya gambaran kemana CSR-nya akan disalurkan.

“Begitu swasta nanya, kita siap datanya, ini orangnya, ini usahanya. Ketika FKP terbentuk 14 kabupaten/kota, kita lebih mudah, kita perlu kepercayaan,” tuturnya.

Dan permasalahannya sekarang respon daerah kurang untuk membentuk FKP. Mengingat di Kalbar baru tiga daerah yang telah membentuk FKP, yakni Pontianak, Kubu Raya, dan Mempawah. Selebihnya belum ada wirausahawan pemuda yang mengusulkan pembentukan.

“Kita tidak target harus tahun berapa, kita mengharapkan mereka yang membentuk, kita hanya fasilitasi, kita dorong. Kalau harapan kita sih bisa secepatnya terbentuk. 2017 FKP selesai, 2018 LPKP terbentuk,” terangnya.

Charles mengatakan, pemerintah tidak bisa melakukan intervensi dan memaksa wirausahawan pemuda di daerah untuk segera membentuk FKP. Dispora juga tidak mungkin memaksakan diri untuk menunjuk beberapa pemuda di daerah untuk mengisi beberapa jabatan FKP daerah. Tentu itu akan hanya sebagai legalitas semata.

“Apa lah artinya kita bentuk organisasi, tapi orangnya tidak ada. Hanya ketua, sekretaris, bendahara, mungkin kita bisa tunjuk, kalau mau kejar target, tapi apa artinya, makanya harapan kami mereka yang punya inisiatif,” tukasnya.

“Kalau pemerintah bergerak sendiri tidak maksimal. Artinya ketika bonus demografi terjadi, jangan malah pemuda kita tidak berbuat apa-apa,” timpal Charles.

 

Laporan: Fikri Akbar

Editor: Arman Hairiadi