Kriminalisasi Guru Akibat Keliru Mendefinisikan HAM

Ilustrasi NET

eQuator.co.id – Mempawah-RK. Guru yang menegakkan disiplin terhadap murid-muridnya, malah dilaporkan sejumlah orangtua ke penegak hukum. Kriminalisasi guru ini sebagai akibat pemaknaan yang keliru terhadap definisi Hak Asasi Manusia (HAM).

“Tindakan disiplin dari guru, yang dahulu dianggap biasa-biasa saja, kini dinilai melanggar HAM,” kata H Ria Norsan, Bupati Mempawah saat Diskusi Panel Perlindungan Profesi Guru dan Hak Anak dalam Mewujudkan Sekolah Ramah Anak di Gedung PGRI Mempawah, baru-baru ini.

Maraknya kriminalisasi dari orangtua murid ini, menurut Norsan, menjadi dilema bagi guru. “Di satu sisi harus menegakkan disiplin dan tata tertib sekolah. Di sisi lain, khawatir dituduh melakukan kekerasan terhadap anak,” katanya.

Dilema tersebut, tambah dia, menjadikan guru kurang tergas terhadap anak didiknya yang nakal atau melanggar tata tertib sekolah. “Guru memilih untuk membiarkannya ketimbang tersangkut masalah hukum,” ujar Norsan.

Hal ini, menurut Norsan, berdampak pada semakin rendahnya wibawa guru dihadap peserta didik, khususnya di kalangan murid-murid nakal. “Mereka (murid nakal, red) akan seenaknya melanggar tata tertib sekolah, toh tidak akan dihukum,” ujarnya prihatin.

Pada akhirnya, tambah dia, bukan tidak mungkin, guru mencari aman. Tidak ambil pusing dengan urusan sikap, perilaku, etika, dan sopan santun anak didiknya, meskipun batinnya mungkin menolak.

Gurupun datang ke sekolah hanya mengajarkan atau menyampaikan materi hingga selesai jam pelajaran, kemudian pulang. “Intinya hanya menggugurkan kewajibannya,” kata Norsan

Proses pendidikan yang seharusnya meliputih tiga ranah, yakni Sikap, Pengetahuan dan Keterampilan, kata Norsan, menjadi hanya lebih domiman kepada ranah Pengetahuan. “Akibatnya, banyak anak pintar, tetapi sikap dan perilakunya kurang baik,” ucapnya.

Dampaknya, tambah dia, jumlah kenakalan semakin meningkat dan mengkhawatirkan. Masuk kategori tindakan kriminalitas, seperti mencuri, merampok, menganiaya, memerkosa, bahkan sampai membunuh.

“Hal ini tentu tidak dapat dibiarkan. Ini adalah pekerjaan besar yang harus dipikirkan dan dicari solusinya antaraorang tua, sekolah, pemerintah, dan masyarakat,” tutur Norsan.

Setiap orangtua, menurut Norsan, pasti berharap anaknya merasa nyaman di sekolah. Sekolah diharapkan menjadi rumah kedua dan guru menjadi orangtua siswa di sekolah.

Karena itu, jika ada masalah pada anak, orangtua jangan cepat emosional dan reaktif. “Lebih baik pelajari terlebih dahulu kejadian sebenarnya dan mencari solusi damai serta kekeluargaan. Kecuali apa yang dilakukan guru benar-benar tindak pidana. Intinya harus ada komunikasi yang baik, antara guru dengan orangtua siswa,” papar Norsan.

Di sisi lain, Norsan juga berharap guru terus meningkatkan kompetensi kepribadian. Lantaran guru merupakan ujung tombak pembelajaran yang intens berinteraksi dengan siswa.

Kompetensi kepribadian, jelas Norsan, berkaitan erat dengan sikap, ucapan, dan perbuatan guru ketika mengajar. Hal ini sangat tergantung pada tingkat kematangan emosional guru.

“Adalah benarnya kalau guru itu manusia biasa yang bisa emosi. Tetapi di situlah perlunya pengendalian diri. Ini konsekuensi sebagai guru yang harus memiliki kesabaran ekstra ketika berhadapan dengan siswa,” pesan Norsan.

Terkait permasalahan ini, Norsan menyambut baik diskusi panel untuk menyamakan persepsi dan pemahamanan antara guru, PGRI, aparat hukum danmasyarakat dalam upaya perlindungan hukum terhadap profesi guru dan perlindungan anak.

Dengan jaminan perlindungan itu, guru akan merasa aman dan nyaman melaksanakan tugasnya. “Sepanjang tindakan yang dilakukan dalam koridor penegakan disiplin bagi siswa. Begitu juga para siswa, menjadi tahu dan memahami hak-hak dan kewajibannya di sekolah,” pungkas Norsan.

 

Laporan: Ari Shandy

Editor: Mordiadi