eQuator.co.id – Pontianak-RK. Akhirnya tahap dua kasus korupsi meubeler Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak dilimpahkan penyidik Tipikor Sat Reskrim Polresta ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Pontianak, Kamis (17/11) pukul 09.00.
Polisi menyerahkan empat tersangka, Dulhadi selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Fahrizandi selaku Ketua Panitia Lelang, Hamdani dan Richard penyedia jasa dan barang. Mereka diserahkan oleh polisi yang mengenakan kaos turn back crime.
Penyerahan empat tersangka atau terduga korupsi ini langsung diterima bagian pidana khusus Kejari Pontianak. Tak hanya para tersangka, barang bukti berupa dokumen terkait pengadaan, kemudian sampel meubeler seperti kursi, meja dan tempat tidur serta item lainnya yang tidak sesuai, juga diserahkan kepada kejaksaan.
Delapan jaksa disiapkan Kejari Pontianak untuk menangani perkara korupsi di IAIN Pontianak. Keempat tersangka yang tiba di Kejari Pontianak didampingi tiga penasihat hukumnya, langsung dilakukan pemeriksaan ulang oleh para jaksa.
Terutama berkaitan dengan BAP, benar atau tidaknya keterangan yang ada. Tak hanya itu, dibalik pemeriksaan ulang, Kejari Pontianak juga melakukan negosiasi. Dalam arti kata, menawarkan/meminta kepada para tersangka untuk mengembalikan kerugian negara.
“Kita minta kepada mereka (tersangka) untuk mengembalikan kerugian negara Rp522 juta itu,” kata Yanuar Rezha, Kasipidsus Kejari Pontianak di kantornya, kemarin.
Permintaan pengembalian uang negara ini bertujuan untuk membuat negara tidak rugi. Namun Yanuar hanya memberikan kesempatan kepada keempat tersangka pada hari itu juga (kemarin). “Selama saya menjadi Kasipidsus, saya lebih memfokuskan membuat negara tidak rugi,” katanya.
Rheza mengungkapkan, setelah menjalani proses pemeriksaan hingga sore hari, akhirnya empat tersangka sepakat mengganti kerugian negara sebesar Rp522 juta. “Dibayar cash. Sudah kita simpan di kas Kejari Pontianak, besok (hari ini) akan diserahkan ke kas negara. Semuanya mengembalikan (empat tersangka,” katanya.
Terkait penahanan, empat tersangka korupsi IAIN itu tidak masuk jeruji. Mereka hanya menjadi tahanan tahanan kota dan tidak boleh keluar dari Kota Pontianak. Pertimbangan jaksa menjadikan keempat tersangka sebagai tahanan kota, karena mereka tokoh masyarakat dan tenaga pendidik (dosen). Keahliannya dibutuhkan, kemudian juga kooperatif selama proses hukum berjalan.
Keempat tersangka, Dulhadi, Fahrizandi, Hamdani dan Richard melanggar pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor Nomor 31 tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001. Ancaman maksimal 20 tahun penjara.
“Kalau tidak ada menerima uang, kita akan melihat jabatan atau penyalahgunaan wewenang. Bisa saja mereka terjerat pasal 3 Undang-Undang Tipikor,” tegasnya.
Terpisah, Syahri, SH, penasihat hukum Dulhadi dan Fahrizandi melakukan jumpa pers di salah hotel di Jalan Gajahmada, Pontianak Selatan. Dia mengatakan, dua kliennya itu tak pantas dijadikan tersangka, harusnya hanya saksi saja.
“Tidak ada tujuan atau niat untuk memperkaya diri sendiri maupun orang lain. Hanya kesalahan administrasi saja (menandatangani dokumen),” kata Syahri.
Diakuinya, ditemukan kesalahan adminiatrasi oleh BPK RI pada tahun 2013. Dimana ada rekomendasi dari BPK RI untuk memberikan teguran keras kepada kliennya, yaitu Dulhadi (PPK) dan Fahrizandi (Ketua Panitia Lelang). Kemudian menegur pihak ketiga untuk mengembalikan kerugian negara dengan cara mengganti barang sesuai spek/kontrak.
“Klien kita sudah ditegur secara keras, pihak penyedia jasa dan barang juga sudah ditegur. Jadi sudah semuanya rekomendasi BPK dilakukan. Harusnya klien kami saksi bukan tersangka,” katanya.
Apabila kepolisian atau jaksa menjerat pasal tiga yang berkaitan dengan jabatan sehingga terjadi penyalahgunaan jabatan, Syahri menegaskan, kliennya tidak memiliki tujuan atau pun sengaja memperkaya diri sendiri dan orang lain. “Tidak ada niat. Jika ada niat, tentu menerima aliran uang korupsi. Inikan tidak. Jika ada niat memperkaya orang lain, klien kami saja tidak tahu, bahkan tak kenal dengan pihak ketiga. Ingat ada kalimat tujuan dengan sengaja pada pasal 3,” beber Syahri.
Permintaan jaksa meminta mengembalikan kerugian negara terhadap empat tersangka, Syahri mengatakan, bisa saja itu dikembalikan. Tetapi bukan kliennya yang mengembalikan. “Wajib mengembalikan kerugian negara, terhadap yang melakukan penyelewengan (bersalah), bukan klien kita. Kalau klien kita gak ada menerima, disuruh mengembalikan, tak adil kan,” tegas Syahri. (zrn)