Rumitnya Tangani Limbah Infectious Cair

Bak penampungan Awal, Bak sendimentasi dan Pompa air dan Dosin Pump. Rakyat Kalbar

eQuator.co.id – Mencari tahu detail pengolahan limbah, Rakyat Kalbar menelusuri dua rumah sakit besar: RSUD dr. Soedarso yang terletak di tapal batas Pontianak-Kubu Raya dan RSU Santo Antonius di Jalan KH Wahid Hasyim, Pontianak. Antonius pernah dikomplain warga setempat.

Ambrosius Junius dan Iman Santosa, Pontianak

Polusi udara dan suara merupakan keluhan dari masyarakat sekitar akibat aktivitas di RSU St. Antonius. Hal tersebut diakui Riyad, warga Jalan Merdeka, Gang Kasuari 1, Pontianak.

Komplain pertama adalah bisingnya suara generator set (Genset). Pun demikian bau yang berasal dari limbah rumah sakit.

“Dulu pembakaran sampah juga, asapnya sangat mengganggu sekali,” ungkap Riyad, di kediamannya, Selasa (15/11).

Warga sempat resah. Hal ini akhirnya dilaporkan ke Ketua RT 01/RW 02 Kelurahan Mariana, Pontianak, Abdul Samad. Bersama Sang Ketua RT, masyarakat mendatangi otoritas di RSU Antonius untuk berdialog dan menyampaikan keluhan.

“Respon mereka (pengurus RS) bagus. Sebelumnya tempat pembakaran sampah dekat dengan pemukiman warga, sekarang sudah dipindahkan. Begitu juga dengan generator, sekarang sudah pakai peredam,” puji Riyad.

Rumah pria berusia 44 tahun itu dengan tembok RSU Antonius berbatas parit. Menurut dia, selama 15 belas tahun tinggal di situ, baru sekali saja merasa terganggu.

“Sekarang tidak ada lagi gangguan, abu-abu sisa pembakaran pun sudah tidak lagi,” pungkasnya.

Hal serupa disampaikan Fery. Dulu dia merasa terganggu, karena limbah rumah sakit tersebut mengeluarkan bau. Kini tidak lagi. Bahkan, RSU Antonius membantu penerangan di Gang Kasuari 1.

“Sekarang tidak ada lagi, mereka sudah perbaiki itu semua sejak kita datangi waktu itu. Ada lampu juga mereka.pasang untuk.menerangi gang ini,” ungkap pria berusia 50 tahun itu.

Ketua RT 01/RW 02 Kelurahan Mariana, Abdul Samad, membenarkan. Menurut ingatannya, komplain dari masyarakat terjadi sekitar sembilan tahun lalu.

“Dulu warga sini melapor ke saya, dan saya langsung melaporkan keluhan warga ke kelurahan,” terang pria berumur 49 tahun itu di rumahnya yang terletak di Gang Kasuari 2, Jalan Merdeka, Pontianak.

Samad sejak tahun 2005 menjadi Ketua RT. Kata dia, keluhan warga waktu itu mencakup asap hasil pembakaran, bau yang tidak sedap, dan limbah yang masuk ke parit dekat kediaman penduduk.

“Setelah kita datangi, langsung ditanggapi pihak rumah sakit, sekarang tidak ada lagi gangguan seperti itu,” terangnya.

Memang, dari awal, pembuatan rumah sakit harus satu kesatuan. Mulai dari pembangunan gedung dan faktor penunjang seperti generator, lahan parkir, hingga pengelolaan limbah infectious (berisiko mengandung penyakit menular) maupun non infectious.

Kepala Bagian Umum RSU Santo Antonius Pontianak, Daud SKM menerangkan, limbah infectious terdiri dari padat dan cair. Sedangkan non infectious berupa limbah rumah tangga, seperti sisa makanan maupun kertas bekas administrasi perkantoran.

“Lebih spesifik, kami mengelola limbah infectious baik yang padat maupun cair. Untuk limbah non infectious atau sampah rumah tangga, disediakan bak sampah dari Dinas Kebersihan Kota,” tuturnya mengawali perbincangan dengan Rakyat Kalbar, di kantornya, Sabtu (12/11).

RSU Antonius menyediakan empat tempat sampah yang terdiri dari tempat sampah infectious, sampah khusus, sampah non medis (domestik), dan tempat sampah pasien beserta keluarganya.

Tempat sampah infectious untuk aktivitas medis seperti selang infus, kateter urin, kantong urin, pampers, sarung tangan, pembalut wanita, kapas alkohol, dan kantong darah. Limbah yang terkontaminasi dengan cairan tubuh ini dibungkus plastik berwarna kuning.

Tempat sampah khusus untuk sisa aktivitas medis akan diisi dengan botol infus, spuit (alat suntik bekas pakai) tanpa jarum, dan alat-alat laboratorium. Walaupun sampah ini tidak terkontaminasi dengan cairan tubuh, tetap dianggap dan dikategorikan limbah berbahaya sehingga dibungkus dengan plastik bening.

“Meskipun dua sampah ini ditempatkan dan dibungkus berbeda, keduanya sama-sama dimusnahkan dengan cara pembakaran. Menggunakan Incenerator,” terang Daud.

Kemudian, tempat sampah non medis (domestik) merupakan sampah sisa dari aktivitas perawat ruangan. Contohnya kertas, plastik, plastik pembungkus spuit/set infus, kemasan makanan dan minuman plus sisanya, serta plastik pembungkus obat. Sampah ini tidak terkontaminasi dengan cairan tubuh pasien. Dibungkus dengan plastik berwarna hitam.

Sedangkan tempat sampah pasien diadakan untuk menampung semua sampah dari pasien maupun pengunjungnya. Sampah ini dibungkus dengan plastik berwarna hitam dan diletakkan di depan kamar perawatan. Agar tidak tercampur, tempat sampah pasien diletakkan terpisah dengan tempat limbah dari aktivitas perawat.

Daud melanjutkan, limbah infectious yang padat dikumpulkan dari setiap ruang perawatan atau ruang operasi pada pagi dan sore, untuk kemudian dibawa ke Incenerator. Dibakar pada suhu 1000-1200 °celcius.

“Abu hasil pembakaran tersebut langsung dimasukkan ke tempat sampah yang telah disediakan oleh dinas kebersihan. Jika dilihat, debu itu seperti jelaga dan memang dari pakar maupun dinas kebersihan sendiri menganggapnya sudah aman. Sudah jadi sampah biasa,” terangnya.

Pembakaran limbah (burner) ini berlangsung tiga tahap. Burner 1 dan 2 untuk pembakaran sampah. Burner 3 untuk membakar lagi sisa dua pembakaran sebelumnya. Dibantu blower (peniup).

Kata Daud, yang harus diperhatikan adalah perawatan alat pembakaran itu. Jika terjadi kerusakan di salah satu komponen pembakar maupun blowernya, jelaga bisa keluar berterbangan kemana-mana.

Pun kalau incenerator rusak, asap yang dikeluarkan berwarna hitam. Seharusnya, berwarna putih.

“Untuk memastikan debu hasil pembakaran tersebut sudah aman, kita bekerja sama dengan Sucofindo milik BUMN, badan pengawas yang legal dari pemerintah. Ini khusus melakukan pemeriksaan emisi,” jelas Daud.

Imbuh dia, “Ada juga dari badan lingkungan hidup (BLH) Kota Pontianak. Kita sendiri juga berkala memeriksanya”.

Yang rumit adalah penanganan limbah infectious cair. Prosesnya lumayan panjang.

Sumber limbah berasal dari cucian pakaian, wastafel, dapur, kamar mandi/wc, ruang operasi, laboratorium, dan patologi klinik. Limbah yang bersumber dari lantai satu hingga lantai empat ini masuk secara kolektif ke bak penampungan awal. Untuk dialirkan ke bak sedimentasi.

Dari bak sedimentasi masuk ke Anaerob Baffle Reactor (ABR). Di sini, diisikan bakteri yang bisa mengurai senyawa sehingga limbah dipendam dalam jangka waktu tertentu.  Secara otomatis, Anaerob filter akan memompanya ke Dosin Pump yang diiinjeksi dengan bahan kimia yakni PAC dan Costic Soda.

Dulu, Clorin digunakan. Tapi sekarang, dijelaskan Daud, menggunakan sinar ultraviolet.

“Karena pakai Clorin ada standardisasi yang tidak bisa kita penuhi. Misalnya jika kandungan kaporit dan clorinnya tinggi, ikan akan mati. Dan jika kandungan terlalu rendah, bakterinya yang tinggi,” jelasnya.

Ultraviolet ini sekarang umumnya digunakan pada pengolahan air bersih di perusahaan penyedia air galon. Pemeriksaan komponen secara berkala dilakukan. Khusus alat penyinar ultraviolet diganti enam bulan sekali.

Setelah penyinaran dengan ultraviolet, limbah masuk ke kolam airasi di tempat terbuka untuk dialirkan ke kolam indikator yang berisi ikan. Setelah yakin ikan tidak mati, barulah dialirkan ke parit terdekat.

Di sisi lain, Direktur SDM dan Umum, RSU Antonius, dr. Karida Salim MM menerangkan, pada intinya semua cairan tubuh atau sisa organ tubuh setelah operasi dari pasien dianggap infectious dan sangat berbahaya. “Biasanya diserahkan kepada keluarga pasien untuk dikebumikan. Jika tidak diambil keluarga, langsung dibawa ke Incenerator untuk dimusnahkan,” jelasnya.

Namun demikian, sisa operasi seperti tumor tidak diserahkan kepada keluarga karena memang sifatnya sangat berbahaya. Langsung dimusnahkan bersama sampah dari kamar operasi.

Sedangkan limbah dari ruang bersalin seperti ari-ari pada umumnya diambil oleh keluarga pasien. Namun, ada juga keluarga pasien tidak membawa atau mengambil ari-ari dan diserahkan kepada pihak rumah sakit untuk mengurusnya.

“Biasa ada petugas untuk menguburkan ari-ari di tempat yang sudah disediakan, dan tentu saja sudah ada kesepakatan dengan pihak keluarga,” tandas Karida.

Di tempat lain, Syarifah, Kepala Instalasi dan Sanitasi RSUD Soedarso menjelaskan manajemen limbah di sana. Ia membenarkan pengolahan limbah di rumah sakit memang harus dilakukan dengan seksama.

Menurut Syarifah, sampah-sampah medis di Soedarso sudah dikemas dalam kemasannya masing-masing sejak dari ruangan tempat dilakukannya tindakan medis. “Sampai di sini kita sudah tidak boleh bongkar-bongkar lagi,” jelasnya.

Masing-masing limbah biasanya dikemas dalam bungkus berbeda. Untuk sampah tajam disimpan dalam safety box, sampah infectious (berisiko menularkan penyakit) dalam kantong plastik kuning. Sedangkan untuk sampah non infectious dikemas dalam kantong plastik hitam.

“Jadi sudah terbaca dari kantong-kantongnya,” tutur Syarifah.

Penanganan masing-masing sampah pun berbeda-beda. Untuk sampah non infectious misalnya, pihak RSUD bekerja sama dengan Dinas Kebersihan Kota Pontianak.

“Kita diberi dua kontainer sama mereka, diangkut pas malam hari,” ungkapnya.

Untuk sampah infectious dan sampah tajam, pihak rumah sakit sendiri yang memusnahkannya. “Seperti bekas pampers, atau yang terkena cairan tubuh seperti selang infus, squid, botol infus, itu kita musnahkan sendiri,” terang Syarifah.

Untuk jaringan tubuh baik sisa operasi, pemotongan ataupun tindakan medis lainnya, pihak rumah sakit akan menyerahkannya kepada pasien untuk ditanam. Meski begitu, terkadang ada keluarga pasien yang takut membawanya. Walhasil, sampah berupa jaringan ini biasanya dibakar dengan mesin incenerator.

Terkait jumlah sampah yang setiap hari dikelola oleh RSUD Soedarso, Syarifah tidak bisa memastikan. Menurutnya, jumlah sampah akan selalu berbanding lurus dengan jumlah pasien di rumah sakit.

“Tapi, sebagai gambaran, untuk sampah infectious saja sehari itu kita memusnahkan sekitar 20-30 kilogram,” bebernya.

Dengan jumlah tersebut, mesin incenerator di RSUD Soedarso membutuhkan solar sekitar 20 liter perhari. Biasanya, pembakaran dilakukan setiap pagi.

Masih dikatakan Syarifah, permintaan untuk pengolahan sampah medis dari klinik dan rumah sakit lain ada, namun untuk saat ini belum bisa dipenuhi pihaknya.

“Keterbatasan personil, keterbatasan anggaran juga, saat ini di pengolahan ini kita cuma berlima. Tiga mengelola limbah cair, dua limbah padat,” bebernya. (*)