eQuator.co.id – Samarinda-RK. Pengeboman Gereja Oikumene di Samarinda pada Ahad (13/11) mengagetkan publik Kaltim. Bukan hanya pertama kali di Bumi Kalimantan, peristiwa itu menguak fakta lain. Kaum radikal yang nekat menebar teror diduga telah lama berdiri di provinsi ini. Penelusuran Kaltim Post menyesap jauh ke dalam kelompok itu.
Juhanda (33) adalah orang yang meledakkan bom molotov di gereja tersebut. Sejumlah saksi mata menyebutkan, pria itu datang mengendarai sepeda motor dengan nomor pelat H 2372 PE, kode untuk Semarang, Jawa Tengah. Juhanda yang memiliki panggilan Jo masuk ke tempat parkir gereja di Jalan Ciptomangunkusumo, Kelurahan Sengkotek, Kecamatan Loa Janan Ilir.
Saat itu, jemaat dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) baru selesai ibadah. Jemaat Kristen Toraja kemudian masuk untuk bersiap beribadah. Di luar, Jo menyalakan sebuah bungkusan. Beberapa anak-anak sekolah minggu sedang bermain di dekatnya. Tiba-tiba, tiga ledakan keras terdengar.
Warga segera berkumpul dan melihat empat anak terluka. Empat sepeda motor ikut rusak berat di bagian depan. Di sekitar lokasi, penuh serpihan pasir baik di dinding serta tiang luar gereja bercat putih. Diduga, pasir dipakai dalam bom molotov untuk memperkuat efek api.
Seorang pria gondrong berbadan kurus yang berlari keluar dari halaman gereja menarik perhatian. Samuel Tulung (43), warga yang melihat sosok Juhanda tersebut, segera mengejarnya. Warga ikut memburu sementara sebagian lainnya membantu anak-anak yang terluka.
Setelah dikepung, Juhanda terdesak hingga terjun ke Sungai Mahakam. Pelariannya terhenti di tengah sungai ketika warga mengejarnya dengan perahu. Samuel mengatakan, Juhanda sempat melawan dengan memegang paha warga ketika hendak diangkat ke perahu.
“Tapi, dia sudah kehabisan tenaga,” ucap Samuel. Warga memberi Juhanda bogem mentah di atas kapal sebelum membawanya ke Mapolresta Samarinda.
Di dalam gereja, jemaat Kristen Toraja tetap beribadah hingga selesai. Di depan rumah ibadah itu, ramai warga datang melihat petugas yang sudah memeriksa lokasi.
KELOMPOK RADIKAL
Sejam setelah ledakan, polisi mendatangi sebuah bangunan bercat putih, sekitar 200 meter dari TKP. Juhanda, menurut catatan kartu penduduknya, tinggal di gedung tersebut. Berukuran 40 meter persegi, bangunan itu dulu dikenal sebagai masjid.
Rumah itu beratap kerucut dengan sebuah pengeras suara. Tidak ada tanda bulan dan bintang di pucuk atap. Kepolisian membawa tiga orang lagi dari lokasi itu. Satu di antaranya diketahui bernama Gofar. Warga mengenalnya sebagai imam masjid.
Adapun Juhanda alias Jo, dikenal sebagai penjaga masjid (marbot). Dia tinggal di kamar belakang. Biliknya berukuran 3×4 meter. Di dekat pintu, berdiri rak penuh dengan buku. Seluruh pustaka itu, beberapa di antaranya novel religi, telah dibawa polisi.
Selain menjadi marbot, Jo menjaga keramba ikan nila di belakang masjid. Ikan hasil keramba dijual di dalam akuarium di depan masjid.
Dikenal sebagai masjid, bangunan itu tak memiliki plang nama. Warga sekitar bahkan jarang yang beribadah di tempat itu. Jamaah masjid justru datang dari luar Kelurahan Sengkotek.
“Ada beberapa warga di sini yang menjadi jamaah, tetapi itu pun pendatang,” terang seorang warga yang enggan namanya dikorankan.
Menurut perempuan berkerudung tersebut, kegiatan di dalam masjid tertutup. Mereka biasanya jamaah mengadakan pengajian pada Minggu atau Senin malam. Jamaah biasanya datang ke masjid untuk menunaikan salat Magrib dan Isya. Pengajian dimulai setelahnya.
Ceramah maupun pembacaan ayat suci Alquran hanya terbatas di dalam masjid. Tidak memakai pengeras. Pintu masjid ditutup.
Sumber Kaltim Post yang sempat mengikuti kegiatan di dalam masjid bercerita, beberapa hal membuat warga enggan beribadah di tempat itu. Amalan di situ disebut berbeda dengan majelis pada umumnya. Sebagai contoh, tak ada zikir bersama selepas salat wajib.
Seorang perempuan lain, yang sempat beberapa kali ikut pengajian mengatakan, para ustaz di masjid tersebut berkali-kali menyeru ”Isy kariman au mut syahidan”. Jika diartikan dalam bahasa Indonesia: hidup mulia atau mati syahid. Persis seperti kalimat yang tertulis di kaus Juhanda ketika mengebom.
“Sering diserukan dalam beberapa pertemuan. Saya memutuskan keluar,” ujar perempuan dua anak tersebut.
Kegiatan di situ diduga telah berlangsung dua tahun. Sama persis setelah Juhansyah mulai tinggal di Kelurahan Sengkotek. Ketua RT 04 Kelurahan Sengkotek, M Abdul Malik, mengatakan bahwa Jo datang pada 2014. Dia dibawa seseorang yang biasa akrab disapa Pak Pri, warga Kelurahan Harapan Baru, Loa Janan Ilir. Abdul hanya tahu, Jo tiba-tiba menjadi marbot di masjid tersebut.
Dia mengaku, menerima informasi warga baru dari Polsekta Samarinda Seberang. “Jadi, tidak lapor langsung ke saya,” ungkapnya.
Namun, warga disebut telah lama menduga kelompok Juhanda adalah barisan radikal. Namun, tak ada bukti yang menguatkan tengara itu.
“Kami tidak bisa apa-apa. Tapi, saya selalu berkoordinasi dengan aparat keamanan,” ujarnya.
Mengenai masjid tanpa nama, Abdul mengatakan, dulu rumah ibadah itu bernama Al Mujahiddin. “Saat saya pindah ke sini pada 1999, masjid sudah ada,” ungkapnya.
Pada 2010, masjid direnovasi para jamaah hingga kemudian tanpa nama seperti sekarang. Menurut rencana, kelurahan mengadakan rapat untuk membahas pengambilalihan masjid.
“Mungkin untuk memberantas sel radikal. Ini adalah kali kedua Sengkotek dijadikan markas kaum radikal,” ujarnya.
Siapa Pak Pri yang disebut-sebut membawa Jo ke Sengkotek? Dia memiliki nama Supriyadi. Seorang ustaz yang tinggal di RT 29, Kelurahan Harapan Baru, Loa Janan Ilir. Menurut warga, Pri sudah diamankan kepolisian. Di Harapan Baru, dia tinggal di rumah bangsal bersama istri dan anak-anaknya. Sang istri, ketika Kaltim Post datang, sedang di rumah. Namun, dia menolak menerima media ini.
Supriyadi sebelumnya menggelar pengajian di rumahnya. Setelah mendapat komplain dari warga, pengajian dipindah. Diduga, pengajian Ustaz Pri itulah yang selama ini berjalan di masjid tempat tinggal Jo di Kelurahan Sengkotek.
Juhanda bukan orang baru di kelompok ekstrem. Pria yang lahir di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, itu pernah dipidana pada 4 Mei 2011 dengan hukuman 3 tahun 6 bulan kurungan. Dia bebas pada 28 Juli 2014 sebelum datang ke Samarinda. Juhanda diketahui terlibat teror bom Puspitek di Serpong, Tangerang Selatan. Dia turut menjadi terduga pelaku Bom Buku di Jakarta pada 2011.
PERSEMBUNYIAN TERORIS
Pengamat terorisme di Indonesia, Ali Fauzi Manzi, sudah memprediksi pengeboman di Samarinda. Dia sempat bertandang ke Kota Tepian pada 9 November 2016. Kala itu, dia menjadi narasumber focus group discussion (FGD) untuk mencegah paham radikalisme khusus ISIS di Kaltim.
“Saat FGD, ada yang bertanya kepada saya. Apakah akan ada aksi (pengeboman) di Kaltim? Saya jawab, potensi itu ada,” bebernya.
Dia menyampaikan bahwa jaringan pelaku pengebom Gereja Oikumene akan melakukan aksi di Samarinda. “Ini naluri saya saat itu. Saya memang pernah jadi pelaku (pengeboman), jadi paham,” kata mantan kepala instruktur perakitan bom Jamaah Islamiyah di Jawa Timur itu.
Ia menganalisis, ada sejumlah penyebab sehingga Juhanda berani mengebom gereja. Pelaku pernah dihukum karena kasus serupa sehingga menjadi teroris kambuhan. Selain itu, kata dia, Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) mengeluarkan fatwa.
“Anggota ISIS yang tak bisa datang ke Suriah, diminta mengirimkan harta. Kalau tak bisa mengirimkan harta, maka ‘bermain’ di daerah masing-masing,” kata Ali menirukan pesan ISIS.
Menurutnya, kata bermain ditujukan kepada para anggota membuat rencana pengeboman. “Pelaku bom gereja di Samarinda terdoktrin itu,” jelasnya. “Tapi sayang, pelaku blunder. Lokasi pengeboman tak jauh dari tempat tinggalnya,” sambungnya.
Adik kandung dari teroris Amrozi dan Ali Imron itu menilai, aksi pelaku sangat tidak berpengalaman dan memiliki kemampuan pas-pasan. Hal itu memudahkan pelacakan mereka.
“Sangat jarang teroris beraksi di daerah tempat tinggalnya,” beber dia.
Tanda-tanda bahwa pelaku tak berpengalaman adalah Juhanda kabur ke sungai setelah meledakkan bom. “Perkiraan saya, pelaku sengaja ditangkap polisi dan dipenjara. Dia hanya menargetkan supaya dapat perhatian ISIS global,” paparnya.
Meski kurang pengalaman, Ali meyakini Juhanda tidak sendiri saat bergerak. Sejumlah orang mengetahui aksi pengeboman yang terorganisasi. Kelompok Juhanda hanya tidak rapi melakukan serangan.
Dia menduga, di balik serangan bom terdapat jaringan tersembunyi di Kaltim yang menyimpan teroris. “Orang (teroris) tidak akan lari ke Kaltim kalau tidak ada jaringan. Di Kaltim ada jaringan yang sengaja dibentuk untuk bisa melindungi para teroris,” bebernya.
Namun, Ali belum bisa menjelaskan terperinci nama dan bentuk organisasi tersebut. “Yang pasti, sudah terbentuk sejak Bom Bali I (2002). Aparat tahu, tapi tak paham detail. Mereka mengistilahkan kelompok bawah tanah. Pergerakannya tak terlihat,” jelas dia.
Menanggapi aksi tersebut, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Polisi Agus Rianto mengatakan, kasus teror bom di Samarinda kemungkinan ditarik ke Jakarta. Hal ini didasari fakta bahwa tersangka merupakan terpidana teroris dan diduga kuat memiliki jaringan di daerah lain.
Untuk sementara waktu, Densus 88 Polda Kaltim dipercaya untuk penyelidikan awal. “Lebih lanjut ditangani Mabes,” ucap Agus. (Kaltim Post/JPG)