Kedewasaan Menerima Hukum Diuji

Kerahkan Daya dan Upaya Redam Potensi Konflik

Basuki Tjahaja Purnama

eQuator.co.id – Gelar perkara terbuka terbatas kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi ujian berat bagi kedewasaan masyarakat. Mampukah masyarakat menerima hasil apapun dari gelar perkara yang digagas Presiden Jokowi. Namun, yang pasti bila kerusuhan muncul akibat kekecewaan pada proses hukum, kerugian akan diderita semua pihak.

Beberapa hari belakangan, isu aksi demonstrasi lanjutan pada 25 November makin menguat. Sebab, tenggat waktu penyelidikan kasus Ahok akan berakhir pada 18 November mendatang. Saat ini, gerakan-gerakan untuk mengajak demo pada 25 November itu mulai muncul di media sosial.

Presiden Joko Widodo mengisyaratkan tidak sepakat apabila massa berdemonstrasi lagi karena kasus Ahok. ’’Kita harapkan sudah tidak ada demo lagi. Menghabiskan energi,’’ ujarnya saat menghadiri Silatnas Ulama Rakyat di Ancol, Jakarta Utara, kemarin (12/11).

Secara terbuka, Jokowi kembali menegaskan posisinya dalam kasus Ahok kepada para ulama. Dalam setiap kasus hukum, termasuk Ahok, Jokowi menyatakan netral. ’’Saya tidak mau mengintervensi masalah hukum. Serahkan saja kepada hukum,’’ tegas mantan Wali Kota Solo itu.

Dia menuturkan, sebelum aksi demo 4 November pun proses hukum terhadap Ahok sudah berjalan. Saksi-saksi maupun ahli sudah dimintai keterangan. Ahok selaku terlapor juga sudah dimintai keterangan. ’’Namanya proses, memerlukan waktu. Kok pada nggak sabaran,’’ lanjutnya.

Dia mengimbau masyarakat agar menunggu proses hukum yang sedang berjalan. Dari situ, hasilnya akan ketahuan. Tidak perlu sampai memaksa aparat hukum melakukan sesuatu sesuai keinginan. Sebab sudah ada regulasi yang mengatur semua itu.

Kekuatan massa yang akan mengikuti aksi yang direncanakan 25 November mendatang memang sangat berpatokan pada hasil gelar perkara terbuka terbatas. Kadivhumas Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar menuturkan, untuk prediksi kondisi dan situasi rencana aksi 25 November setidaknya, akan sama dengan Aksi Damai 4 November. ”Pola pengamanan juga sama, persuasif dan preventif,” terangnya.

Polri akan berupaya untuk bisa menjelaskan hasil proses hukum atau gelar perkara tersebut. Boy menegaskan, pada semua ulama dan masyarakat, hasil ini harus dijelaskan sebaik-baiknya. ”Targetnya, tidak ada prilaku anarkis saat aksi,” ungkap mantan Kapolda Banten tersebut.

Bagaimana caranya memenuhi rasa keadilan dalam gelar perkara? Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komisaris Jenderal (Komjen) Ari Dono Sukmanto mengungkapkan, Bareskrim berupaya semaksimal mungkin memproses seadil-adilnya. Namun begitu, rasa keadilan itu sebenarnya relatif. ”Adil untuk saya, belum tentu adil untuk kamu. Maka, keadilan yang hakiki itu kami serahkan pada Tuhan,” ujarnya.

Maka, untuk bisa memberikan rasa keadilan, harus ada transparansi dengan gelar perkara yang sifatnya terbuka. Namun, dengan pertimbangan gelar perkara adalah kegiatan internal penyidik, maka ditambahkan sifat terbatas. Transparansi ini nanti bisa dimunculkan dengan adanya pengawas internal, seperti Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam), Divisi Hukum dan Inspektorat. ”Ada juga dari eksternal dari Kompolnas dan Ombudsman,” ujarnya.

Apakah ada perwakilan dari Majelis Ulama Indonesia? Ari menuturkan bahwa semua saksi pelapor dan terlapor akan diundang dalam gelar perkara tersebut. Sehingga, bisa terlibat untuk mengawasi jalannya gelar perkara. ”Kalau masyarakat umum, nanti setelah gelar perkara langsung diinformasikan,” ujarnya.

Namun begitu, gelar perkara untuk menentukan adanya pidana atau tidak biasanya dilakukan tiga kali. Gelar perkara tahap satu, dua dan tiga. Setelah itu semua dijalani dan penyidik merasa perkara itu sudah terang. ”Maka, akan ada rekomendasi penaikan status,” ungkapnya.

Sementara Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menjelaskan, kedewasaan dalam menerima proses hukum memang sedang diuji. Masyarakat memiliki kebebasan berpendapat, tapi kuncinya akan dengan damai dan bertanggungjawab. ”Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Malahan, akan ditindak oleh aparat keamanan,” ujarnya.

Untuk mengantisipasi potensi konflik dan kekerasan terjadi dalam aksi 25 November, maka setiap peserta demo harus benar-benar memahami tujuan dari aksi tersebut. ”Jangan sampai hanya dimobilisasi atau ikut-ikutan orang saja,” terangnya.

Dia menuturkan, dengan aksi yang santun dan taat hukum. Maka, demonstrasi itu tentu akan berjalan jauh lebih baik. ”Berbeda pendapat tidak masalah, tapi tetap harus saling menghargai,” ungkapnya.

Sementara Pengamat Intelijen dan Terorisme Wawan Hari Purwanto menuturkan, potensi kerusuhan dalam aksi 25 November itu tentu ada. Pasalnya, bisa jadi ada ketidakpuasan yang dirasakan. ”Namun, seberat-beratnya ketidakpuasan itu tentu tidak lantas kiamat. Semua tetap harus menjalankan hidupnya,” terangnya.

Dia menuturkan, kunci utamanya pada keadilan yang harusnya ditunjukkan kepolisian dan kedewasaan dari masyarakat. ”Kalau polisi fair, tentu semua akan obyektif dalam menilai,” paparnya.

Masyarakat sendiri, akan jauh lebih baik bila dengan putusan apapun tetap taat hukum. Dia menuturkan, jangan sampai masalah ini menimbulkan masalah yang jauh lebih besar. ”jangan lantas menganggu ketertiban masyarakat,” ungkapnya.

Yang pasti, kalau masyarakat merasa penyelesaian kasus ini tidak sesuai dengan harapan. Tentu akan ada dampak psikologis. Misalnya, berkurangnya rasa kepercayaan pada pemerintah. ”Tapi kan masih ada proses hukum yang bisa ditempuh. Misalnya, dengan melaporkan untuk kasus lainnya,” ujarnya.

Di sisi lain, Kepolisian tentu harus mampu untuk mengandalikan kemungkinan kerusuhan. Keamanan itu harus terkendali. ”Misal ada kerusuhan, tentu harus dilokalisir agar tidak menyebar. Perlu ada semacam peringatan bila mendeteksi adanya kerusuhan,” paparnya.

Ditemui di kesempatan terpisah, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fadli Zon mengingatkan agar Presiden Jokowi untuk berhati-hati dalam menentukan sikap paska demonstrasi 4 November. Safari yang dilakukan Jokowi belakangan ini, khususnya ke instansi TNI dan Polri dapat menjadi buah simalakama bagi pemerintah maupun bangsa hanya karena kesan atau sinyal yang salah.

“Misalnya bertemu dengan pasukan TNI atau Polri, itu bagus. Tapi tidak perlu dikomentari, seperti pasukan siap digerakan dalam darurat. Itu artinya memberi sinyal yang salah. Maksudnya apa? Masa tentara disuruh melawan rakyat?” ujar Fadli di Kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, kemarin.

Dia menyarankan Jokowi harus tahu duduk persoalan terkait kasus Ahok dengan tuntutan para demonstran. “Persoalan utamanya itu adalah penistaan agama yang dilakukan saudara Ahok. Sudah ada keputusan MUI, kemudian tuntutan masyarakat secara nyata. Jadi jangan bergeser kemana-mana,” tuturnya.

Selain itu, dia uga meminta agar Jokowi bertanggung jawab dengan pernyataannya soal adanya aktor politik yang menunggangi aksi demonstrasi 4 November lalu. Pasalnya, sampai saat ini aktor politik yang dimaksud oleh sang presiden tersebut belum terungkap.

“Ini kan sudah delapan hari dari tanggal 4 November. Mana aktor intelektualnya? Tolong disebut siapa aktor intelektualnya. Atau ya diralat saja kalau memang salah ngomong,” tandasnya.

Saat disinggung soal dirinya dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bersama tiga angota dewan lainnya terkait keterlibatannya dalam demonstrasi 4 November, Fadli menjelaskan bahwa dirinya tidak melakukan pelanggaran apapun. “Kami tidak melakukan pelanggaran, konstitusi, etika, dan UU. Ngggak ada sama sekali. Etika mana yang dilanggar. Kami diundang (MKD, Red) dan kami datang,” imbuhnya. (idr/byu/dod)